Halloween party ideas 2015

Oleh: Kharis Nugroho, Lc.

Toleransi dalam Islam merupakan pembahasan yang cukup penting untuk dikaji, karen banyak di kalangan umat Islam yang memahami toleransi dengan pemahaman yang kurang tepat. Misalnya, kata “toleransi” dijadikan landasan paham pluralisme yang menyatakan bahwa “semua agama itu benar”, atau dijadikan alasan untuk memperbolehkan seorang muslim dalam mengikuti acara-acara ritual non-muslim, atau yang lebih mengerikan lagi, kata toleransi dipakai oleh sebagian orang ‘Islam’ untuk mendukung eksistensi aliran sesat dan program kristenisasi baik secara sadar maupun tidak sadar. Seolah-olah, dengan itu semua akan tercipta toleransi sejati yang berujung kepada kerukunan antar umat beragama, padahal justru akidah Islamlah yang akan terkorbankan.

Sebagai muslim, kita harus mengembalikan hakikat toleransi dalam kacamata Islam. Sebab, istilah toleransi ini - sebagaimana disebutkan dalam buku Tren Pluralisme Agama karya Dr Anis Malik Toha -, pada dasarnya tidak terdapat dalam istilah Islam, akan tetapi termasuk istilah modern yang lahir dari Barat sebagai respon dari sejarah yang meliputi kondisi politis, sosial dan budayanya yang khas dengan berbagai penyelewengan dan penindasan. Oleh karena itu, sulit untuk mendapatkan padanan katanya secara tepat dalam bahasa Arab yang menunjukkan arti toleransi dalam bahasa Inggris. Hanya saja, beberapa kalangan Islam mulai membincangkan topik ini dengan menggunakan istilah “tasamuh”, yang kemudian menjadi istilah baku untuk topik ini. Dalam kamus Inggris-Arab, kata “tasamuh” ini diartikan dengan “tolerance”. Padahal jika kita merujuk kamus bahasa Inggris, akan kita dapatkan makna asli “tolerance” adalah “to endure without protest” (menahan perasaan tanpa protes).
Sedangkan kata “tasamuh” dalam al-Qamus al-Muhith, merupakan derivasi dari kata “samh” yang berarti “jud wa karam wa tasahul” (sikap pemurah, penderma, dan gampangan). Dalam kitab Mu’jam Maqayis al-Lughah karangan Ibnu Faris, kata samahah diartikan dengan suhulah (mempermudah). Pengertian ini juga diperkuat dengan perkataan Ibnu Hajar al-Asqalani dalam Fath al-Bari yang mengartikan kata al-samhah dengan kata al-sahlah (mudah), dalam memaknai sebuah riwayat yang berbunyi, Ahabbu al-dien ilallahi al-hanafiyyah al-samhah. Perbedaan arti ini sudah barang tentu mempengaruhi pemahaman penggunaan kata-kata ini dalam kedua bahasa tersebut (Arab-Inggris).

Dengan demikian, dalam mengkaji konsep toleransi dalam Islam, penulis merujuk kepada makna asli kata samahah dalam bahasa Arab (yang artinya mempermudah, memberi kemurahan dan keluasan), dan bukan merujuk dari arti kata tolerance dalam bahasa Inggris yang artinya menahan perasaan tanpa protes. Akan tetapi, makna memudahkan dan memberi keluasan di sini bukan mutlak sebagaimana dipahami secara bebas, melainkan tetap menggunakan tolok ukur Al-Qur’an dan Sunnah.

Kalau kita mau melihat terbentuknya konsep toleransi antara Islam dan Barat, maka akan kita dapatkan bahwa motif terbentuknya konsep toleransi antar keduanya sangat berbeda. Konsep toleransi dalam Islam dibentuk oleh ajaran Islam itu sendiri baik berupa firman Allah (Al-Quran) ataupun sabda dan perilaku Rasulullah SAW (al-Hadits). Sedangkan Barat, dibentuk berdasarkan sejarah ataupun reaksi terhadap kondisi sosial dan politik.

Sebagai contoh, dalam sejarahnya, peradaban Barat (Western Civilization) pernah mengalami masa yang pahit, yang mereka sebut dengan “zaman kegelapan” (the dark age). Zaman itu dimulai ketika Imperium Romawi Barat runtuh pada 476 H dan mulai munculnya Gereja Kristen sebagai institusi dominan dalam masyarakat Kristen Barat sampai dengan masuknya zaman renaissance sekitar abad ke-14. Renaissance artinya rebirth (lahir kembali), karena masyarakat Barat merasa bahwa ketika hidup di bawah cengkeraman kekuasaan Gereja, mereka seolah mengalami kematian.

Di “zaman kegelapan” inilah terjadi banyak penyelewengan dan penindasan kepada rakyatnya dengan mengatasnamakan agama. Penindasan yang terkenal paling jahat pada waktu itu adalah, apa yang dilakukan oleh institusi Gereja dengan nama Inquisisi. Inquisisi adalah hukuman terhadap kaum heretic (kaum yang di cap menyimpang dari doktrin resmi gereja). Karen Armstrong, mantan biarawati dan penulis terkenal, menggambarkan institusi inquisisi dalam sejarah sebagai berikut, “Sebagian besar kita tentunya setuju bahwa salah satu dari institusi Kristen paling jahat adalah Inquisisi, yang merupakan instrument terror dalam Gereja Katholik sampai dengan akhir abad ke-17. Metode inquisisi ini juga digunakan oleh Gereja Protestan untuk melakukan penindasan dan kontrol terhadap kaum Katolik di negara-negara mereka”.

Adapun bentuk kejahatannya, Robert Held dalam bukunya Inquisition, memaparkan bahwa ada lebih dari 50 jenis dan model alat-alat siksaan yang sangat brutal yang digunakan oleh institusi gereja pada waktu itu, seperti pembakaran hidup-hidup, pencukilan mata, gergaji pembelah tubuh, pemotongan lidah, alat penghancur kepala, pengebor vagina, dan berbagai alat dan model siksaan lain yang sangat brutal. Ironisnya lagi, sekitar 85 persen korban penyiksaan dan pembunuhan adalah wanita. Antara tahun 1459-1800, diperkirakan antara dua-empat juta wanita dibakar hidup-hidup di dataran Katolik maupun Protestan Eropa.

Dalam ajaran Yahudi, juga telah terjadi penyelewengan yang berujung kepada penindasan atas nama agama. Dalam Old Statement (Kitab Perjanjian lama), dinyatakan bahwa sikap mereka terhadap kelompok lain tidak hanya sebatas kebencian, pelaknatan dan pengingkaran. Namun mereka juga diperintah untuk membumihanguskan bangsa-bangsa lain, karena – menurut mereka – bangsa Yahudi adalah bangsa pilihan (the Chosen People). Pemusnahan semua kelompok lain, menurut mereka adalah merupakan perintah Tuhan.

Dari peristiwa penyelewengan dan penindasan atas nama agama inilah, kemudian pemikiran mengenai pentingnya toleransi di Barat mulai timbul. Adalah John Locke figur yang cukup terkenal dalam menelurkan ide toleransinya, yaitu dengan menjabarkan tiga pikiran mengenai pentingnya toleransi. Pertama, hukuman yang layak untuk individu yang keluar dari sekte tertentu bukanlah hukuman fisik melainkan cukup ekskomunikasi (pengasingan). Kedua, tidak boleh ada yang memonopoli kebenaran, sehingga satu sekte tidak boleh mengafirkan sekte yang lain. Ketiga, pemerintah tidak boleh memihak salah satu sekte, sebab masalah keagamaan adalah masalah privat. Tiga doktrin inilah yang kemudian membentuk doktrin toleransi di dunia Barat (negara-negara demokrasi Barat).

Adapun dalam Islam, toleransi (samahah) merupakan ciri khas dari ajaran Islam. Ketoleranan Islam mencakup berbagai segi, baik dari segi akidah, ibadah, maupun muamalah. Dari segi aqidah, Islam mempunyai kaidah dari sebuah ayat Al-Qur’an yaitu laa ikraaha fi al-dien (tidak ada paksakan dalam agama). Namun kaidah ini tidak menafikan unsur dakwah dalam Islam. Dakwah dalam Islam bersifat mengajak, bukan memaksa. Dari kaidah inilah maka ketika non-muslim (khususnya kaum dzimmi) berada di tengah-tengah umat Islam atau di negara Islam, maka mereka tidak boleh dipaksa masuk Islam bahkan dijamin keamanannya karena membayar jizyah sebagai jaminannya.

Dalam masalah Ibadah, Islam juga bersifat toleran. Maksudnya, pelaksanaan ibadah di dalam Islam bersifat tidak membebani. Hal tersebut bisa kita lihat ketika seseorang ingin berwudhu dan tidak ada air, maka Islam mempermudah cara berwudhu dengan cara tayamum. Di dalam shalat, ketika seseorang tidak mampu berdiri, maka boleh dengan duduk. Begitu juga puasa, ketika seseorang sedang sakit, maka boleh di qadha. Sifat mempermudah dan tidak membebankan seseorang inilah yang menjadi ciri khas bahwa Islam adalah agama yang toleran dari segi ibadah.

Adapun dalam muamalah, Islam menyuruh berbuat baik dalam bermasyarakat, baik itu kepada yang muslim atau non-muslim. Misalnya, ketika seorang muslim mempunyai tetangga non-muslim yang sedang membutuhkan bantuan, maka harus dibantu. Ketika diberi hadiah, maka harus diterima. Begitu juga ketika ada tetangga non-muslim sedang sakit, harus dijenguk. Itulah adab seorang muslim yang harus dijaga dalam rangka membangun kerukunan antar umat beragama.

Permasalahannya adalah, ketika muamalah dengan non-muslim ini masuk dalam ranah akidah dan peribadatan, maka banyak orang salah paham. Mereka mengira bahwa toleransi dalam masalah keikutsertaan acara-acara non-muslim diperbolehkan dengan tujuan untuk menciptakan kerukunan antar umat beragama. Padahal toleransi seperti ini di dalam syariat terdapat dalil-dalil yang melarang, baik itu dari Al-Qur’an, Al-Sunnah, maupun ijma ulama.

Ketika muamalah dengan non-muslim ini masuk dalam ranah akidah dan peribadatan, maka hal ini bisa dikategorikan dalam hal tolong menolong dalam dosa yang sudah jelas diharamkan. Allah SWT telah melarang perbuatan tersebut sebagaimana disebutkan di dalam salah satu ayat (yang artinya), Tolong menolonglah kamu dalam berbuat kebajikan dan takwa, dan janganlah tolong menolong dalam dosa dan permusuhan (Qs Al-Ma’idah 2). Dalam memahami ayat ini, Imam Ibnu Katsir menjelaskan dalam tafsirnya bahwa Allah memerintahkan orang beriman untuk tolong menolong dalam kebaikan dan meninggalkan kemungkaran. Allah juga melarang umat Islam saling tolong menolong dalam kebatilan, dosa, dan sesuatu yang haram. Ritual non-Muslim adalah suatu amalan batil yang diharamkan oleh Allah SWT yang menjadikan pelakunya berdosa. Oleh karena itu, keikutsertaan seorang Muslim dalam ritual non-Muslim termasuk dalam kategori tolong menolong dalam kebatilan, dosa, dan sesuatu yang diharamkan.

Selain itu, keikutsertaan ritual non-muslim dengan alasan toleransi juga tidak bisa dibenarkan secara syar’i karena seseorang tersebut tergolong telah mencampuradukkan antara yang hak dan yang batil. Allah berfirman (yang artinya), Dan janganlah kamu campuradukkan yang hak dengan yang batil, dan janganlah kamu sembunyikan yang hak itu, sedangkan kamu mengetahui (Q.S Al-Baqarah: 42). Imam al-Thabari menukil penjelasan Imam Mujahid (murid Ibnu Abbas) mengenai maksud ayat Dan janganlah kamu campuradukkan yang hak dengan yang batil adalah mencampuradukkan ajaran Yahudi dan Kristen dengan Islam.

Adapun toleransi antar umat beragama dalam muamalah duniawi, Islam menganjurkan umatnya untuk bersikap toleran, tolong-menolong, hidup yang harmonis, dan dinamis di antara umat manusia tanpa memandang agama, bahasa, dan ras mereka. Dalam hal ini Allah berfirman (yang artinya), Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil. Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan sebagai kawanmu orang-orang yang memerangimu karena agama dan mengusir kamu dari negerimu, dan membantu (orang lain) untuk mengusirmu. Dan barangsiapa menjadikan mereka sebagai kawan, maka mereka itulah orang-orang yang zalim (QS. Al-Mumtahanah: 8-9).

Banyak hal yang bisa kita ambil pelajaran dari ayat di atas dalam memahami sikap toleransi antar umat beragama yang benar dalam Islam. Dalam memahami ayat di atas, Imam Ibnu Katsir menjelaskan bahwa “Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu” maksudnya, Dia tidak melarang kamu berbuat baik kepada orang-orang kafir yang tidak memerangimu karena masalah agama, seperti berbuat baik dalam masalah perempuan dan orang lemah.

Selain itu, Imam al-Syaukani (1250 H) dalam Fath al-Qadir menyatakan bahwa maksud ayat ini adalah Allah tidak melarang berbuat baik kepada kafir dzimmi, yaitu orang kafir yang mengadakan perjanjian dengan umat Islam dalam menghindari peperangan dan tidak membantu orang kafir lainnya dalam memerangi umat Islam. Ayat ini juga menunjukkan bahwa Allah tidak melarang bersikap adil dalam bermuamalah dengan mereka.

Adapun sebab turunnya ayat ini sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Ahmad bin Hanbal dalam kitabnya al-Musnad dari Abdullah bin Zubair, Ia berkata: “Qatilah mendatangi putrinya Asma’ binti Abu Bakar. Namun Asma’ enggan menerima hadiah dan kedatangan perempuan (ibunya) itu ke rumahnya. Karena itu, Aisyah menanyakan permasalahan tersebut kepada Nabi SAW. Maka Allah menurunkan surat Al-Mumtahanah ayat 8-9. Oleh karena itu, Nabi memerintahkan Asma’ untuk menerima hadiah dan kedatangan ibunya ke rumahnya”.

Ini merupakan dalil bahwa berbuat baik kepada non-Muslim merupakan kewajiban, selama orang-orang non-Muslim itu tidak memerangi dan mengusir umat Islam dari negeri mereka, serta tidak membantu orang lain untuk mengusir umat Islam dari negeri mereka. Bahkan Rasulullah SAW mengancam terhadap umatnya yang berbuat zalim kepada non-Muslim yang sudah terikat perjanjian dengan umat Islam dengan ancaman tidak masuk surga. Rasulullah SAW bersabda (yang artinya), Barangsiapa yang membunuh non-Muslim yang terikat perjanjian dengan umat Islam, maka ia tidak akan mencium keharuman surga. Sesungguhnya keharuman surga itu bisa dicium dari jarak empat puluh tahun perjalanan (di dunia) (H.R Bukhari).

Oleh karena itu, Nabi SAW bermuamalah dengan orang Yahudi di Madinah dengan muamalah yang sangat baik. Dalam masalah perdagangan, Beliau SAW pernah menggadaikan baju perangnya kepada seorang Yahudi yang bernama Abu Syahm. Rasulullah juga menetapkan perjanjian antara kaum Muhajirin dan kaum Anshar dengan kaum Yahudi. Perjanjian itu antara lain berisi tentang perdamaian dengan kaum Yahudi, sumpah setia mereka, serta mengakui keberadaan agama (bukan kebenaran agama selain Islam) dan harta-harta mereka. Beliau SAW juga meminta jaminan kepada mereka untuk menepati perjanjian mereka. Namun demikian, sikap toleransi, harmonis, tolong menolong dan kerjasama antara umat Islam dengan non-Muslim di sini hanyalah dalam masalah muamalah keduniaan yang tidak berhubungan dengan permasalahan akidah dan ibadah.

Dari paparan di atas, sangat jelas sekali bagaimana ternyata pembentukan pola doktrin toleransi antara Islam dengan Barat amatlah berbeda. Doktrin toleransi dalam Islam tidaklah dibentuk oleh sejarah, melainkan merupakan bagian integral dari warisan Islam. Berbeda halnya dengan Barat yang doktrin toleransinya dibentuk oleh sejarah karena adanya abuse of power. Itulah sebabnya menyamakan doktrin toleransi Islam dengan doktrin toleransi yang ada di Barat tidaklah tepat.

Namun anehnya, saat ini proses overlapping doktrin toleransi mulai muncul ke permukaan sehingga mengakibatkan kerancuan dalam memahami makna toleransi yang benar menurut Islam. Dari sinilah maka tidak tepat kalau ada umat Islam yang menggunakan kata toleransi untuk mendukung eksistensi aliran sesat apalagi untuk mendukung gerakan kristenisasi, karena toleransi semacam ini adalah toleransi ala Barat yang tidak dibenarkan dalam Islam. Wallahu a’lamu bis-shawab.

*) Penulis adalah Alumnus Ma’had Tahfidz Al-Qur’an Isy-Karima Jawa Tengah.

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.