KITA sering menyaksikan orang kaya, yang saking kayanya, ia merasa tak butuh lagi mendirikan shalat. Mereka bangga dengan harta yang dipunyai sehingga lupa pada Sang Mahapemberi harta. Orang-orang seperti ini mengira bahwa materi yang dimiliki adalah merupakan hasil kerja kerasnya sendiri, tanpa ada campur tangan pihak lain dalam hal ini Allah. Jadilah mereka golongan kufur yang tidak pernah bersyukur atas rezeki yang diperolehnya.
Di lain tempat, kita juga sering menyaksikan orang-orang miskin yang karena kemiskinannya merasa bahwa mereka terlalu sibuk dengan urusan perut sehingga tak butuh shalat. Toh shalat juga tak akan membantu mereka dapat uang atau makanan untuk mengganjal perut, begitu dalihnya. Hidup dihabiskan hanya untuk mencari pengganjal perut dari hari ke hari. Orang miskin tak perlu sok alim, itu semboyan yang sering dikatakan oleh orang-orang ini.
Sobat muslim, mungkin kamu pernah bertemu dengan salah satu tipe di atas. Atau bahkan mungkin kedua-duanya pernah kamu temui dalam kehidupan di sekitarmu. Sangat banyak orang yang kufur nikmat, tak peduli dari golongan miskin atau kaya stratanya. Kufur ya kufur saja tak perlu banyak dalih. Orang yang berada dalam kondisi kaya dan mapan, sering berada pada kondisi mengkhawatirkan ini. Dengan kekayaannya mereka tak lagi merasa butuh pihak lain termasuk Allah. Na’udzubillah.
Namun ada pihak yang jauh lebih mengenaskan yaitu ketika mereka enggan untuk mendekat pada Allah padahal kondisi diri dalam keadaan miskin. Sudahlah miskin, sombong pula. Itulah gambaran tepat bagi orang-orang yang tak mau tunduk dan mendekat pada Sang Mahakaya ketika diri dirundung kemiskinan di dunia. Mereka ini malah menyalahkan takdir karena dilahirkan dalam kondisi miskin. Kasihan sekali, miskin materi, diperparah lagi dengan miskin iman di hati.
Miskin atau kaya ada kalanya tidak bisa kita duga. Orang bilang roda selalu berputar, ada kalanya di bawah ada kalanya di atas. Miskin atau kaya tak bermakna apa-apa tanpa kita bisa mengambil hikmah di dalamnya. Tak berguna uang segepok bila ternyata kita kufur nikmat. Makin parah lagi ketika sudah miskin di dunia, tapi menjadi kandidat calon miskin di akhirat. Kok bisa? Karena orang miskin yang tidak bersabar terhadap kemiskinannya bahkan menyalahkan takdir, adalah orang-orang yang akan abadi dalam kemiskinan, dunia akhirat. Itulah kemiskinan yang mengerikan, tiada batas dan tepinya.
Sungguh kasihan bila kondisi ini sampai terjadi. Ketika diri merasa merana dan papa, manusia butuh sandaran. Ketika kita punya banyak keinginan tapi apa daya tak ada uang di tangan, kita butuh bantuan. Ketika begitu banyak keluh-kesah kita tentang kehidupan, kita butuh tempat mengadu. Ke mana lagi kita akan menuju bila bukan pada muara sejati yaitu Allah Rabbul Izzati? Dia-lah pemilik langit dan bumi, Dia juga pemilik kehidupan yang sedang kita jalani. Bila bukan pada-Nya kita kembali dan mengadukan diri, lalu pada siapa lagi?
Kita mungkin tak punya uang di dunia, tapi jangan sampai kita tak punya iman. Kita mungkin miskin harta di dunia, tapi jangan sampai kita miskin harta di akhirat. Karena di akhirat itulah tujuan perjalanan akhir manusia, untuk ditentukan tempat abadinya, di surga ataukah neraka. Maka sungguh celakalah orang-orang yang tak bisa mengambil hikmah dari kehidupannya, karena sesungguhnya miskin atau kaya bukanlah inti masalah. Yang utama adalah penyikapan kita sebagai manusia, mau memilih menjadi orang kufur atau bersyukur. Wallahu a‘lam. [riafariana/voa-islam.com]
Miskin atau kaya ada kalanya tidak bisa kita duga. Orang bilang roda selalu berputar, ada kalanya di bawah ada kalanya di atas. Miskin atau kaya tak bermakna apa-apa tanpa kita bisa mengambil hikmah di dalamnya. Tak berguna uang segepok bila ternyata kita kufur nikmat. Makin parah lagi ketika sudah miskin di dunia, tapi menjadi kandidat calon miskin di akhirat. Kok bisa? Karena orang miskin yang tidak bersabar terhadap kemiskinannya bahkan menyalahkan takdir, adalah orang-orang yang akan abadi dalam kemiskinan, dunia akhirat. Itulah kemiskinan yang mengerikan, tiada batas dan tepinya.
Sungguh kasihan bila kondisi ini sampai terjadi. Ketika diri merasa merana dan papa, manusia butuh sandaran. Ketika kita punya banyak keinginan tapi apa daya tak ada uang di tangan, kita butuh bantuan. Ketika begitu banyak keluh-kesah kita tentang kehidupan, kita butuh tempat mengadu. Ke mana lagi kita akan menuju bila bukan pada muara sejati yaitu Allah Rabbul Izzati? Dia-lah pemilik langit dan bumi, Dia juga pemilik kehidupan yang sedang kita jalani. Bila bukan pada-Nya kita kembali dan mengadukan diri, lalu pada siapa lagi?
Kita mungkin tak punya uang di dunia, tapi jangan sampai kita tak punya iman. Kita mungkin miskin harta di dunia, tapi jangan sampai kita miskin harta di akhirat. Karena di akhirat itulah tujuan perjalanan akhir manusia, untuk ditentukan tempat abadinya, di surga ataukah neraka. Maka sungguh celakalah orang-orang yang tak bisa mengambil hikmah dari kehidupannya, karena sesungguhnya miskin atau kaya bukanlah inti masalah. Yang utama adalah penyikapan kita sebagai manusia, mau memilih menjadi orang kufur atau bersyukur. Wallahu a‘lam. [riafariana/voa-islam.com]
Posting Komentar