Go Ihsan - Kerusuhan berbasis konflik SARA kembali terjadi di Tanah
Air. Setahun lalu konflik serupa terjadi di Tolikara, belahan timur Indonesia.
Kali ini, konflik menjalar ke barat Indonesia, tepatnya Kota Tanjungbalai,
Sumatera Utara.
Kali ini, Kiblat.net mewawancarai Wakil Sekjen Majelis Ulama
Indonesia (MUI) Pusat untuk mengetahui lebih jauh kerusuhan di Tanjungbalai
yang terjadi pada Jumat, 29 Mei 2016 lalu. Berikut wawancara Kiblat.net bersama
Tengku Zulkarnaen pada Selasa siang, (02/08).
Kiblat.net: Bagaimana Kyai melihat kasus kerusuhan
Tanjungbalai ini?
Saya mendengar laporan bahwa yang ditangkap itu orang-orang
Islam semua. Kita tidak keberatan kalau anarkis ya ditangkap. Tapi kok
pemicunya itu, Meliana itu kok cuma sebagai saksi?
Dia kan melakukan pelecehan agama, maki-maki agama orang.
Kalau pemerintah tidak jeli, orang Islam diinjak terus bertambah parah
Indonesia ini nantinya.
Masalah Tanjungbalai ini sebenarnya hanya pemicu saja,
puncak gunung es. Yang jelas orang Islam di mana-mana selalu mengalami tiga kondisi.
Pertama kezaliman, kedua ketertindasan, ketiga ketidak berdayaan. Ini yang
sebetulnya harus diselesaikan oleh pemerintah. Sehingga kalau dibakar nantinya
tidak terbakar. Kalau yang tiga ini tetap ada di mana-mana nantinya akan mudah
terjadi (konflik, red). Sebab di mana-mana sudah tidak tahan.
Dulu etnis Cina ini hanya menguasai ekonomi di zaman orde
baru. Sekarang ekonomi sudah mereka kuasai 98 persen. kita beli apa-apa Cina
punya. Bikin roti tepungnya Cina, buat ban pabriknya Cina punya. Mau buat rumah
pelacuran germo-germonya dia semua. Itu baru ekonomi. Sekarang tanah 70 persen
milik Cina. Konglemerat-kongelomerat yang punya kebun sawit, Cina punya jutaan
hektar.
Sekarang merambah ke politik, DPR mereka sudah. setelah
partai politik dan DPR mereka kuasai, sekarang bupati gubernur mereka rebut,
sudah mau nyalon presiden pula Cina.
Jadi rakyat-rakyat ini merasa kita terzalimi, tertindas dan
sudah tidak berdaya. begitu datang pemicu, ya meledak lah. Seluruh Indonesia
begitu akan terjadi. Kalau yang tiga ini tidak diselesaikan oleh negara.
Kiblat.net: Jadi ini persoalan konflik SARA?
Saya kan ibu saya orang Cina, kakek nenek saya orang Cina.
Saya tidak rasis, saya berfikir rasional saja. Jangan sampai rakyat ini sudah
merasa terzalimi dia membabi buta. Itu saja saya ingatkan.
Sekarang mau apa kita, mau sekolah cina semua, rumah sakit
cina semua, mau kerja masuk bank cina semua?
Di Tanjungbalai itu Cina cuma satu sampai dua persen.
Sisanya orang Islam 98 persen. Mereka buat patung budda tiga meter besarnya.
Oh, ini hak demokrasi. Iya, tapi kan nggak pantas. Selain hak dipikir juga lah,
pakai akal waras.
Akal itu dipakai jangan asal mentang-mentang, asal berhak,
nanti orang tidak tahan. Di Bali, kita tahu sejak zaman dulu gubernurnya selalu
orang Bali. Kita tidak pernah protes, tidak pernah keberatan, karena memang
wajar merek gitu kok adatnya, agamanya. Tapi di Betawi bagaimana, gubernurnya
sekarang cina.
Kiblat.net: Bagaimana dengan toleransi, umat Islam yang
mayoritas di negeri ini selalu diminta untuk bertolelansi sementara umat
minoritas sering kebablasan?
Sekarang kita ini mana orang minoritas yang ditindas? Cina
itu tiap rumahnya ada hio, bakar dupa tiap hari. Itu kan baunya asap nyebar ke
samping. Tidak pernah kita protes itu. Ibu saya kan orang cina, kampungnya
Tiong, Bagansiapiapi. Setiap rumah Cina bakar hio, asapnya itu ke kanan kiri
orang Islam tidak ada yang protes. Kita ngerti kok, lakum dinukum
waliyadin.(Bagimu agamamu bagiku agamaku, red.)
Itu gereja setiap jam enam pagi jam enam sore bunyi itu
(lonceng, red), kita tidak pernah ribut. Itu hak mereka yang wajib kita
lindungi. Tidak ada orang Islam protes.
Kok tiba-tiba ada orang Cina datang ke masjid maki-maki
orang azan, ya terbakar orang. Kalau saya tidak mungkin silap, saya orang
sekolahan. Rakyat yang sudah terzalimi, tertindas dan sudah tidak berdaya tidak
punya jalan lain.
Mereka ini marah bukan hanya karena masjid dimaki-maki. Itu
hanya pemicu. Mereka memang sudah marah betul, dendam. Mau cari makan susah,
mau sekolah tidak bisa, sakit mau berobat tidak ada. Itu yang masalah.
Orang-orang Tanjungbalai itu pencari ikan, pencari kerang.
Seluruh kapalnya Cina punya. Dia cuma jadi kuli. Kalau kerja dapat duit, kalau
tidak kerja tidak dapat duit.
Jadi Presiden Jokowi tidak usah mendesak-desak rakyat
mengatakan, jangan dibesar-besarkan. Ini sudah kejadian seluruh rakyat
Indonesia. Saya sudah keliling Indonesia, di mana-mana orang tambah melarat.
Bukan tambah baik kehidupan.
Kiblat.net: Jadi menurut Kyai bagaimana penyelesaiannya?
Ya tiga itu tadi. Ketidakadilan, ketertindasan, dan
ketidakberdayaan itu harus diselesaikan. Selama itu tidak diselesaikan
pemerintah, percayalah negeri ini akan hancur binasa.
Kiblat.net: Pascakerusuhan di Tanjungbalai, pengeras suara
masjid jadi sorotan dan diwacanakan akan diatur oleh pemerintah, bagaimana
menurut Kyai?
Itu menambah rakyat jengkel saja. Gereja tidak diatur bunyi
loncengnya. kenapa kita tidak ribut? Iini gara-gara Cina satu saja ribut,
diatur seluruh indonesia.
Dulu Sudarmono pernah mencoba itu, di zaman orde baru mau
mencoba. Tapi tidak bisa.
Coba kita lihat, di Jakarta, Ahok melarang potong korban di
masjid-masjid. Penjajah kafir Belanda kita lawan, Jepang kita lawan, apalagi
Cina-cina yang cuma satu dua persen ini. Nanti tidak tahan mereka kalau rakyat
sudah lepas kontrol.
Kalau masjid dilarang, saya tambah keras. Pasti melawan.
Azan kok dilarang. Kalau ngaji pakai kaset dilarang saya setuju. Tapi kalau
azan dilarang kita lebih baik bacok-bacokan saja, perang. Saya mimpin
perangnya, kalau dilarang azan pakai pengeras suara itu.
Sedangkan azan di Eropa saja yang selama ini dilarang sudah
diizinkan. Di Swedia, di Inggris sudah diizinkan pakai pengeras suara, mereka
tahu azan itu bagus. Cuma sebentar, tiga-dua menit.
Jadi tidak menyelesaikan masalah. Salah langkah presiden dan
anggota DPR kita kalau yang mau diatur itu adalah azannnya. Yang harus diatur
itu tiga itu, jangan serakah. Bagikan keadilan kepada rakyat.
Kita ini sudah kayak dijajah Cina, tanah dia punya, duit dia
punya. Sekarang kebijakan shalat pun mau diatur juga. Wah bahaya ini. Jangan
main-main api lah. Jangan mengalihkan masalah, masalahnya itu adalah
keserakahan etnis Cina. Dulu cuma menguasai ekonomi, sekarang mau menguasai
DPR, Gubernur. Semua mau mereka kuasai sampai orang Islam mau azan pun diatur.
Percayalah! Laranglah azan tidak boleh pakai pengeras suara.
Tidak akan ditaati.
Kiblat.net: Lalu bagaimana dengan langkah penegakan hukum
terkait pelaku kerusuhan di Tanjungbalai?
Meliana itu harus ditangkap sebagai tersangka penghinaan
agama. Kalau tidak, maka tidak akan bisa meredam. Semakin dendam malah iya.
Nanti ditekan di Tanjungbalai, meledak di tempat lain. Saya sebagai anak bangsa
prihatin kalau bangsa saya dihabisi.
Saya sering ke Tanjungbalai, ada satu gerakan Cina di sana,
mereka sengaja membeli tanah-tanah di dekat masjid dan mereka tidak mau jual.
Sehingga masjid tidak bisa dibesarkan, kanan kiri itu diapit Cina.
Coba periksa, hampir semua masjid di tanjung balai itu kanan
kiri depan belakang selalu dibeli Cina dengan harga tinggi dan tidak mau dijual
kepada masjid. Sehingga masjid tidak bisa dibesarkan. Kita sudah ada uang mau
melebarkan masjid mereka tidak mau jual.
Itu kasus di Tanjungbalai sudah bertahun-tahun. Arogannya
bukan main. Ini sudah jadi akumulasi dari arogansi cina dan menyebabkan emosi
masyarakat meluap. Terpancing sedikit saja luar biasa.
Kiblat.net: Terakhir, apa nasihat Kyai terkait kasus ini
agar tidak terulang di masa mendatang?
Pemerintah ini jangan mengatasi ranting-rantingnya, jangan
daun-daunnya saja. Tapi akar penyebab masalahnya. Kenapa warga geram terhadap
orang-orang etnis Cina? Itu yang harus diselesaikan, bukan orang diancam-ancam.
Tidak bisa orang diancam-ancam.
Bikin peraturan tidak akan menyelesaikan masalah, selama
tiga itu: kezaliman, ketertindasan, dan ketidakberdayaan itu tidak dihilangkan
dari bangsa Indonesia yang semakin miskin itu.(Sumber Kiblat.net)
Posting Komentar