Go Ihsan - Dalam hatiku saya mengatakan bahwa semua itu bukan baru bagi
saya. Sekitar 60 persen atau lebih Yahudi di Amerika Serikat adalah dari
kalangan sekte ‘reform’ (pembaharu). Mereka ini ternyata telah melakukan
reformasi mendasar dalam agama mereka, termasuk dalam hal-hal akidah atau
keyakinan. “Sekte reform” misalnya, sama sekali tidak percaya lagi kepada
kehidupan akhirat. Saya masih teringat dalam sebuah diskusi di gereja Marble
Collegiate tahun lalu tentang konsep kehidupan.
mengapa kita harus menghindari hal-hal yang harus kita hindari? ” begitu pertanyaannya kala itu.
Pembicaranya
adalah saya dan seorang Pastor dan Rabbi dari Central Synagogue Manhattan.
Ketika kita telah sampai kepada isu hari Akhirat, Rabbi tersebut mengaku tidak
percaya.
Tiba-tiba
salah seorang hadirin yang juga murid muallaf saya keturunan Rusia berdiri dan
bertanya, “Jadi, jika Anda tidak percaya pada kehidupan setelah kematian,
mengapa Anda harus pergi ke rumah ibadat, mengenakan yarmukka, memberi amal,
dll? Mengapa Anda merasa perlu untuk bersikap jujur, bermanfaat untuk orang
lain? Dan
mengapa kita harus menghindari hal-hal yang harus kita hindari? ” begitu pertanyaannya kala itu.
Sang
Rabbi hanya tersenyum dan menjawab singkat, “Kami melakukan semua karena apa
yang harus kita lakukan,” ujarnya. Mendengar jawaban sang Rabbi, semua hadirin
hanya tersenyum, dan bahkan banyak yang tertawa.
Kembali
ke Karen, kita kemudian hanyut dalam dialog tentang konsep kebahagiaan.
Menurutnya, sebagai seorang sosiolog, dia telah melakukan banyak penelitian
dalam berbagai hal yang berkaitan dengan bidangnya. Pernah ke Amerika Latin,
Afrika, beberapa negara Eropa, dan juga Asia , termasuk Asia Selatan.”Tapi satu
hal yang harus aku ceritakan padamu, orang-orang Pakistan dan
Afghan adalah
orang-orang sangat menakjubkan,” katanya mengenang.
“Apa yang
membuat Anda benar-benar heran tentang mereka,” tanyaku.
“Banyak,
religiusitas mereka. Antara lain komitmen mereka terhadap agama. Tapi saya rasa
yang paling menakjubkan tentang mereka adalah kekuatan mereka, dan bertahan
lama di alam dalam kehidupan sehari-hari,” katanya.
“Aku
heran bagaimana orang-orang ini begitu kuat dan tampak bahagia meski kehidupan
yang sangat menantang.”
Saya
tidak pernah menyangka kalau Karen tiba-tiba meneteskan airmata di
tengah-tengah pembicaraan kami.
Dia
seorang professor yang senior, walau masih belia dalam umur. Tapi juga
pengalamannya yang luar biasa, menjadikan saya lebih banyak mendengar.
Di
tengah-tengah membicarakan ‘kesulitan hidup’ orang-orang Afghanistan dan
Pakistan, khususnya di daerah pegunungan-pegunungan, dia meneteskan airmata
tapi sambil melemparkan senyum. “I am sorry, saya sangat emosional dengan kisah
ini,” katanya.
Segera
saya ambil kendali. Saya bercerita tentang konsep kebahagiaan menurut ajaran
Islam. Bahkan berbicara panjang lebar tentang kehidupan dunia sementara, dan
bagaimana Islam mengajarkan kehidupan akhirat itu sendiri.
“Tidak
peduli bagaimana Anda menjalani hidup Anda di sini, itu adalah sementara dan
tidak memuaskan.
Harus ada
beberapa tempat, kadang di mana kita akan hidup kekal, di mana semua mimpi dan
harapan akan terpenuhi, ” jelasku. “Keyakinan ini memberi kita kekuatan besar
dan tekad untuk menjalani hidup kita sepenuhnya, tidak peduli bagaimana situasi
dapat mengelilingi kehidupan itu sendiri,” jelasku.
Tanpa
terasa adzan Dhuhur dikumandangkan. Saya pun segera berhenti berbicara.
Nampaknya Karen paham bahwa ketika adzan didengarkan, maka kita seharusnya
mendengarkan dan menjawab. Mungkin dia sendiri tidak paham apa yang seharusnya
diucapkan, tapi dia tersenyum ketika saya meminta maaf berhenti berbicara.
Setelah
adzan, saya melanjutkan sedikit, lalu saya tanya kepada Karen, “Jadi, apa yang
benar-benar membuat Anda menelepon saya?”
“Saya
ingin memberitahu Anda bahwa pikiran saya terus-menerus mengingat orang-orang
itu. Memori saya mengingatkan saya tentang bagaimana mereka bahagia, sementara
kita, di Amerika hidup dalam keadaan mewah, tapi penuh kekurangan kebahagiaan,”
ujarnya seolah bernada marah.
“Tapi
kenapa kau harus datang dan membicarakan dengan saya?” pancingku lagi.
Karen
merubah posisi duduknya, tapi nampak sangat serius lalu berkata. “Aku sudah
memikirkan ini untuk waktu yang cukup lama. Tapi aku benar-benar tidak tahu
harus berbuat apa dan bagaimana untuk melanjutkan itu. Aku ingin menjadi
seorang muslim,” ujarnya mantap.
Saya
segera menjelaskan bahwa untuk menjadi muslim itu sebenarnya sangat mudah. Yang
susah adalah proses menemukan hidayah. Jadi nampaknya Anda sudah melalui proses
itu, dan kini sudah menuju kepada jenjang akhir.
“Pertanyaan
saya adalah apakah Anda benar-benar yakin bahwa ini adalah agama yang Anda
yakini sebagai kebenaran, “ kataku.
“Ya,
tentu tidak diragukan lagi!” Jawabnya tegas.
Saya segera memanggil salah seorang guru weekend school wanita untuk
mengajarkan kepada Karen mengambil wudhu. Ternyata dia sudah bisa wudhu dan
shalat, hanya belum hafal bacaan-bacaan shalat tersebut.
Selepas shalat Dhuhur, Karen saya tuntun melafalkan, “Asy-hadu an laa ilaaha
illa Allah wa asy-hadu anna Muhammadan Rasul Allah” dengan penuh khusyu’ dan
diikuti pekikan takbir ratusan jamaah yang hadir.
Hanya doa yang menyertai, semoga Karen Henderson dijaga dan dikuatkan dalam
iman, tumbuh menjadi pejuang Islam di bidangnya sebagai profesor ilmu-ilmu
sosial di salah satu universitas bergengsi di AS. Amin!
Posting Komentar