Go Ihsan - Keberadaan
kelompok militan Islamic State Of Iraq and Syria (IS atau ISIS) selama ini
selalu dikaitkan dengan agama Islam. Padahal, kenyataannya, IS dan Islam itu
sangat jauh berbeda, terutama bagi Islam yang ada di Indonesia.
Menurut
mantan teroris yang kini sudah kembali ke pangkuan NKRI, Imron Baihaqi alias
Abu Tholut, dalam terminologi Islam, para ulama menyebut IS sebagai kelompok
Khawarij. Dan itu ada di luar kelompok Ahlussunnah wal Jamaah yang mayoritas
dianut umat Islam Indonesia.
"Jadi
sangat jelas perbedaannya, apalagi IS menghalalkan cara-cara kekerasan dalam
penerapan ajarannya. Bila ISIS berkembang di Indonesia maka akan terjadi
konflik internal di masyarakat sehingga negara ini tidak stabil," kata Abu
Tholut dalam keterangannya, Selasa (29/12) malam.
"Jadi
mulai sekarang kita harus bisa membentengi diri dari IS, agar tidak masuk dan
membuat gaduh di Indonesia."
Dia
menilai, keberadaan IS sekarang membuat ancaman terorisme di Indonesia makin
variatif. Pasalnya, IS juga tidak sama dengan Al Qaeda dari segi visi dan misi
mereka. Menurutnya, dulu aksi terorisme dipicu oleh permusuhan tunggal dengan
Amerika Serikat dengan kelompok Al Qaeda, terutama menyangkut kebijakannya
terhadap umat Islam setelah terjadinya aksi bom World Trade Centre (WTC)
"Sekarang
timbul IS sehingga lebih variatif. Mereka (IS) sasarannya bukan AS sebagai
prioritas. Bahkan orang biasa saja bisa dianggap musuh atau murtad bila tidak
sepaham," kata dia.
"Contohnya
peristiwa di Sudan, Irak, dan Paris. Kita berharap hal itu tidak terjadi di
Indonesia. Caranya jangan sampai IS berkembang di Indonesia dan jangan sampai
umat muslim Indonesia terekrut oleh propaganda ajaran ISIS."
Atas
dasar itulah, Abu Tholut dengan beberapa mantan teroris yang lain seperti Abdul
Rahman Ayub, Nasir Abbas, Ghazali, Toni Togar, siap membantu pemerintah, dalam
hal ini Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT). Yakni dalam
menanggulangi dan mencegah terjadinya aksi terorisme di Indonesia. Ia pun siap
melakukan sharing dan berkomunikasi aktif
dalam memberikan masukan dan data untuk sebagai bukti kesetiannya pada NKRI.
"Kami
tidak meminta apa-apa. Kami hanya ingin Indonesia yang damai dan tidak dikotori
oleh-oleh aksi-aksi IS yang tidak berperikemanusiaan," tukasnya.
Menurutnya,
komunikasi intensif dan wakil pemerintah dan wakil masyarakat, dalam tanda
petik dari kelompok radikal, sangat penting. Sehingga di kemudian hari ada
gerakan yang sinergis dalam pencegahan terorisme.
"Kalau
sudah sinergi, maka jalannya pasti akan selaras. Selama ini pencegahan terorisme
yang dilakukan BNPT sudah cukup bagus, tapi masih ada yang kurang," kata
Abu Tholut.
"Memang
masih belum sempurna, makanya harus disempurnakan. Jangankan masalah terorisme
yang parsial, masalah yang global yaitu tujuan kemerdekaan juga sepenuhnya belum
tercapai. Jadi evaluasi dan koreksi yang terus dilakukan secara
bersama-sama." (Bs)
Posting Komentar