Halloween party ideas 2015

Go Ihsan - Banyaknya perbedaan cara pandang fiqh dari berbagai mazhab terkadang sampai membingungkan masyarakat awam. Ada yang fanatik (taqlid) dengan mazhab atau ulamanya. Ada pula yang apatis dengan mazhab sehingga memilih tidak bermazhab.


Dari kaum intelektual ada pula yang berpendapat kebanyakan mazhab klasik sudah tidak relevan dengan dinamika kekinian. Bagaimanakah seharusnya seorang muslim menentukan sikap dalam bermazhab?

Umat Islam perlu memahami, dalam menjalankan syariat apalagi menetapkan suatu hukum tidak cukup dengan mengambil Alquran dan hadis secara mentah-mentah. Ayat Alquran atau hadis yang dijadikan dalil mungkin tidak salah. Tapi pemahaman tafsir atau hadis yang dijadikan dalil itu yang mungkin keliru. Jadi dalam mengkaji tafsir Alquran maupun hadis, perlu dijembatani dengan tafsir-tafsir serta pendapat ulama.


Menafsirkan Alquran dan hadis secara autodidak sangat rentan pada kesesatan. Itulah alasannya, mengapa ulama-ulama besar sekalipun sering merujuk pada pendapat-pendapat ulama yang lebih alim dari dirinya. Ini pulalah alasannya mengapa orang awam dalam agama harus bermazhab agar mendapatkan tuntunan yang sahih dari mazhabnya.

Segolongan umat Islam lainnya ada pula yang meyakini tak perlu bermazhab. Alasan mereka, para imam mazhab dalam melahirkan pandangan fiqihnya selalu berpatokan pada Alquran dan hadis. Jadi lebih baik mengikut pada perawi hadis langsung seperti Bukhari dan Muslim. Atau penafsir Alquran dari sahabat Nabi SAW yakni Ibnu Abbas RA.

Para imam mazhab bukanlah orang-orang pandir dalam seluk-beluk agama. Sedari kecil mereka telah menunjukkan loyalitas sangat tinggi dalam menuntut ilmu. Ajaran Islam menganjurkan umatnya mengikuti hasil ijtihad seorang ulama yang sudah dikenal alim dan shalehnya. Dalam hal ini, para imam mazhablah yang paling populer untuk diikuti.

Ada yang sinis memandang para imam mazhab sangat bergantung pada ijtihad para ahli hadis seperti Bukhari Muslim. Misalkan ucapan imam Syafi'i yang mengatakan, "bila ada suatu hadis sahih, maka itulah mazhabku." Atau perkataan, "bila mazhabku bertentangan dengan hadis Nabi, maka ambillah hadis itu dan buang mazhabku ini."

Ada yang menyimpulkan bahwa perkataan sang imam seakan tak punya kekuatan apa-apa ketika berhadapan dengan ahli hadis. Jika ada pendapat mazhabnya yang bertentangan dengan ahli hadis, maka seakan itu akan batal demi hukum. Jadi, mereka merasa lebih baik mengikuti para ahli hadis saja.

Pemisahan antara ahli hadis (seperti Bukhari, Muslim, Abu Daud, Tirmizi, dan seterusnya) dengan ahli fiqh (seperti Imam Syafi'i, Maliki, Hanbali, Hanafi, dan lainnya) adalah pandangan yang keliru. Para imam mazhab tersebut sebenarnya juga pakar dan ahli hadis. Mustahil ada ahli fiqh yang bukan ahli hadis. Jadi tidak benar ada tuduhan kalau imam Mazhab suka hadis lemah, berijtihad diluar hadis, dan sebagainya.

Para imam mazhab tidak berhenti sebatas kajian hadis semata. Dalam melahirkan suatu hukum perlu pertimbangan-pertimbangan lain. Ada enam sumber hukum lainnya selain Alquran, hadis, ijma', dan qiyash (sumber hukum muttafaqun 'alaihi). Sumber hukum ini diistilahkan dengan mukhtalafun fihi (masih dipersilisihkan). Yakni; mashalihul mursalah (aspek kemaslahatannya), istihsan (aspek kebaikan), urf (adat istiadat suatu tempat), istishab, serta amal ahlu madinah (amalan populer masyarakat Madinah).

Jadi, dengan adanya peran ulama mazhab, komplit dan sintesislah seluruh pola dan metologi pengambilan hukum dari berbagai sumber dalil. Memang ulama mazhab tidak hanya empat saja, tetapi banyak mazhab-mazhab lainnya walau tidak sepopuler mazhab yang empat. Pengasuh rumah fiqh Indonesia Ahmad Sarwat MA mengistilahkan mazhab dengan ringkasan dari variasi berbagai metode istimbath (penetapan) hukum. Atau perwakilan dari sekian banyak variasi itu.

Seorang muqalid (pengikut) mazhab tidak mesti selalu mengikuti pandangan dari mazhabnya. Mazhab dalam fiqih tidak seperti sekte dalam agama nasrani. Sebab mazhab adalah sebuah metodolgi dalam menarik kesimpulan hukum yang bersumber dari Alquran dan Sunnah. Sedangkan sekte dalam agama nasrani merupakan perpecahan pada wilayah yang paling mendasar dalam suatu agama.

Tidak ditemukan satu dalil pun yang mewajibkan untuk berpegang kepada satu pendapat saja dari pendapat yang telah diberikan ulama. Bahkan para shahabat Rasulullah SAW dahulu pun tidak pernah diperintahkan untuk merujuk kepada pendapat salah satu dari sahabat bila mereka mendapatkan masalah agama. Jadi tidak ada istilah berpindah mazhab, atau berganti-ganti mazhab.

Namun sebagai muqalid, ada adab yang harus diperhatikan dalam bermazhab. Seseorang tidak boleh mengambil atau mengumpulkan yang mudah-mudah saja dari setiap mazhab (talfiq). Sifat talfiq ini dicela karena menggampang-gampangkan agama. Sebagai contoh, pandangan mazhab Maliki membolehkan nikah tanpa wali. Pandangan mazhab Hanafi membolehkan nikah tanpa saksi. Jika digabung, maka tindakan talfiq membolehkan nikah tanpa wali dan saksi. Tentu ini menjadi perkara mungkar.

Pada kesimpulannya, bagi mereka yang masih pemula dan awam dalam hukum Islam, disarankan memang mengkaji satu mazhab fiqh saja. Bagi yang level lanjutan, disarankan untuk mengkaji fiqh perbandingan mazhab. Metode ini jarang sekali dikaji karena kurangnya referensi atau ulama yang pakar dalam hal ini. 

Jika seseorang sudah sangat alim dalam seluk-beluk agama Islam, memilih untuk tidak bermazhab pun tidak salah. Misalkan Dr Yusuf Qardhawi yang punya mazhab sendiri. Namun ia tetap punya referensi-referensi pada ulama mazhab dalam menyampaikan pandangan fiqhnya. Wallahu'alam. (Sumber: Republika)


Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.