Go Ihsan - Banyaknya
perbedaan cara pandang fiqh dari berbagai mazhab terkadang sampai membingungkan
masyarakat awam. Ada yang fanatik (taqlid) dengan mazhab atau ulamanya. Ada
pula yang apatis dengan mazhab sehingga memilih tidak bermazhab.
Dari
kaum intelektual ada pula yang berpendapat kebanyakan mazhab klasik sudah tidak
relevan dengan dinamika kekinian. Bagaimanakah seharusnya seorang muslim
menentukan sikap dalam bermazhab?
Umat
Islam perlu memahami, dalam menjalankan syariat apalagi menetapkan suatu hukum
tidak cukup dengan mengambil Alquran dan hadis secara mentah-mentah. Ayat
Alquran atau hadis yang dijadikan dalil mungkin tidak salah. Tapi pemahaman
tafsir atau hadis yang dijadikan dalil itu yang mungkin keliru. Jadi dalam
mengkaji tafsir Alquran maupun hadis, perlu dijembatani dengan tafsir-tafsir
serta pendapat ulama.
Menafsirkan
Alquran dan hadis secara autodidak sangat rentan pada kesesatan. Itulah
alasannya, mengapa ulama-ulama besar sekalipun sering merujuk pada
pendapat-pendapat ulama yang lebih alim dari dirinya. Ini pulalah alasannya
mengapa orang awam dalam agama harus bermazhab agar mendapatkan tuntunan yang
sahih dari mazhabnya.
Segolongan
umat Islam lainnya ada pula yang meyakini tak perlu bermazhab. Alasan mereka,
para imam mazhab dalam melahirkan pandangan fiqihnya selalu berpatokan pada
Alquran dan hadis. Jadi lebih baik mengikut pada perawi hadis langsung seperti
Bukhari dan Muslim. Atau penafsir Alquran dari sahabat Nabi SAW yakni Ibnu
Abbas RA.
Para
imam mazhab bukanlah orang-orang pandir dalam seluk-beluk agama. Sedari kecil
mereka telah menunjukkan loyalitas sangat tinggi dalam menuntut ilmu. Ajaran
Islam menganjurkan umatnya mengikuti hasil ijtihad seorang ulama yang sudah
dikenal alim dan shalehnya. Dalam hal ini, para imam mazhablah yang paling
populer untuk diikuti.
Ada
yang sinis memandang para imam mazhab sangat bergantung pada ijtihad para ahli
hadis seperti Bukhari Muslim. Misalkan ucapan imam Syafi'i yang mengatakan,
"bila ada suatu hadis sahih, maka itulah mazhabku." Atau perkataan, "bila
mazhabku bertentangan dengan hadis Nabi, maka ambillah hadis itu dan buang
mazhabku ini."
Ada
yang menyimpulkan bahwa perkataan sang imam seakan tak punya kekuatan apa-apa
ketika berhadapan dengan ahli hadis. Jika ada pendapat mazhabnya yang
bertentangan dengan ahli hadis, maka seakan itu akan batal demi hukum. Jadi,
mereka merasa lebih baik mengikuti para ahli hadis saja.
Pemisahan
antara ahli hadis (seperti Bukhari, Muslim, Abu Daud, Tirmizi, dan seterusnya)
dengan ahli fiqh (seperti Imam Syafi'i, Maliki, Hanbali, Hanafi, dan lainnya)
adalah pandangan yang keliru. Para imam mazhab tersebut sebenarnya juga pakar
dan ahli hadis. Mustahil ada ahli fiqh yang bukan ahli hadis. Jadi tidak benar
ada tuduhan kalau imam Mazhab suka hadis lemah, berijtihad diluar hadis, dan
sebagainya.
Para
imam mazhab tidak berhenti sebatas kajian hadis semata. Dalam melahirkan suatu
hukum perlu pertimbangan-pertimbangan lain. Ada enam sumber hukum lainnya
selain Alquran, hadis, ijma', dan qiyash (sumber hukum muttafaqun 'alaihi).
Sumber hukum ini diistilahkan dengan mukhtalafun fihi (masih dipersilisihkan).
Yakni; mashalihul mursalah (aspek kemaslahatannya), istihsan (aspek kebaikan),
urf (adat istiadat suatu tempat), istishab, serta amal ahlu madinah (amalan populer
masyarakat Madinah).
Jadi,
dengan adanya peran ulama mazhab, komplit dan sintesislah seluruh pola dan
metologi pengambilan hukum dari berbagai sumber dalil. Memang ulama mazhab
tidak hanya empat saja, tetapi banyak mazhab-mazhab lainnya walau tidak sepopuler
mazhab yang empat. Pengasuh rumah fiqh Indonesia Ahmad Sarwat MA mengistilahkan
mazhab dengan ringkasan dari variasi berbagai metode istimbath (penetapan)
hukum. Atau perwakilan dari sekian banyak variasi itu.
Seorang
muqalid (pengikut) mazhab tidak mesti selalu mengikuti pandangan dari
mazhabnya. Mazhab dalam fiqih tidak seperti sekte dalam agama nasrani. Sebab
mazhab adalah sebuah metodolgi dalam menarik kesimpulan hukum yang bersumber
dari Alquran dan Sunnah. Sedangkan sekte dalam agama nasrani merupakan
perpecahan pada wilayah yang paling mendasar dalam suatu agama.
Tidak
ditemukan satu dalil pun yang mewajibkan untuk berpegang kepada satu pendapat
saja dari pendapat yang telah diberikan ulama. Bahkan para shahabat Rasulullah
SAW dahulu pun tidak pernah diperintahkan untuk merujuk kepada pendapat salah
satu dari sahabat bila mereka mendapatkan masalah agama. Jadi tidak ada istilah
berpindah mazhab, atau berganti-ganti mazhab.
Namun
sebagai muqalid, ada adab yang harus diperhatikan dalam bermazhab. Seseorang
tidak boleh mengambil atau mengumpulkan yang mudah-mudah saja dari setiap
mazhab (talfiq). Sifat talfiq ini dicela karena menggampang-gampangkan agama.
Sebagai contoh, pandangan mazhab Maliki membolehkan nikah tanpa wali. Pandangan
mazhab Hanafi membolehkan nikah tanpa saksi. Jika digabung, maka tindakan
talfiq membolehkan nikah tanpa wali dan saksi. Tentu ini menjadi perkara
mungkar.
Pada
kesimpulannya, bagi mereka yang masih pemula dan awam dalam hukum Islam,
disarankan memang mengkaji satu mazhab fiqh saja. Bagi yang level lanjutan,
disarankan untuk mengkaji fiqh perbandingan mazhab. Metode ini jarang sekali
dikaji karena kurangnya referensi atau ulama yang pakar dalam hal ini.
Jika
seseorang sudah sangat alim dalam seluk-beluk agama Islam, memilih untuk tidak
bermazhab pun tidak salah. Misalkan Dr Yusuf Qardhawi yang punya mazhab
sendiri. Namun ia tetap punya referensi-referensi pada ulama mazhab dalam
menyampaikan pandangan fiqhnya. Wallahu'alam. (Sumber: Republika)
Posting Komentar