Go Ihsan -
Oleh Roni Tabroni*
Ada kebutuhan mendesak bagi umat Islam hari ini. Selain membangun kesadaran
tentang dakwah yang bersifat langsung berhadapan jamaah, juga menggarap media
massa yang lebih serius. Ini merupakan PR yang harus cepat dijawab.
Walaupun agenda media akan bersifat jangka panjang, namun hari ini Islam
sebagai agama dan ummatnya di dunia berada dalam tekanan informasi yang harus
diluruskan secara cepat.
Urgensi media massa Islam ini menjadi lebih mendesak ketika berbicara tentang
Palestina, yang merupakan PR terbesar peradaban bangsa ini, termasuk
rekomendasi penting peringatan Konverensi Asia Afrika (KAA) di Bandung tahun
lalu. Informasi ummat Islam di Palestina dibuat tidak berimbang dalam
pemberitaan barat yang kemudian mewarnai media-media di dunia. Akibatnya,
pemutarbalikan fakta di lapangan membuat manusia kurang peduli terhadap
penindasan yang terjadi di sana.
Selain itu, di luar konteks Palestina, umat Islam kini memiliki image yang
kurang baik pada masyarakat pada umumnya. Dalam percaturan global, Islam dan
ummatnya identik dengan keras, kejam, dan tidak toleran. Dalam statement KH
Hasyim Muzadi, inilah yang disebut dengan kesalahan persepsi tentang Islam.
Persepsi manusia pada dasarnya banyak dipengaruhi oleh media massa. Karenanya
untuk mengembalikan tentang persepsi yang salah tentang Islam, maka harus
diperbaiki konten medianya. Dalam konteks inilah maka kita memandang bahwa
persoalan media massa yang lebih manusiawi, lebih beradab, damai, dan humanis
menjadi penting.
Dua agenda penting yang sekiranya dalam digarap untuk membangun citra Islam
menjadi lebih baik dan sesuai dengan faktanya yaitu damai. Pertama, diperlukan
model media massa yang lebih komit pada keberimbangan sebuah informasi. Selain
berimbang, diperlukan juga sebuah liputan yang lebih komprehensif dan objektif.
Dengan demikian, maka informasi tentang Palestina misalnya, tidak hanya
sepotong dan cenderung merugikan salah satu pihak, tetapi lebih komplit dan
memotret secara total apa yang sebenarnya terjadi.
Keberpihakan media sebenarnya bukan wacana baru, namun ummat Islam khususnya
dalam kasus Palestina, pemberitaan media Barat dianggap sudah keterlaluan dalam
menjalankan agendanya, sehingga ummat Islam di sana selalu menjadi
korban. Keberimbangan dan objektivitas sebenarnya menjadi tugas seorang
jurnalis, sehingga dia tidak akan melihat objek liputan itu berdasarkan agama
atau suku bangsa.
Kedua, agenda yang juga penting ke depan adalah bagaimana membangun tradisi
jurnalisme yang lebih ramah terhadap Islam. Media massa Islam, seperti yang diharapkan
dalam International Conference of Islamic Media (ICIM), akan menjadi media yang
rahmatan lil alamin. Yaitu bentuk media yang mencerminkan keadilan dan tidak
merugikan pihak-pihak tertentu.
Dalam membangun citra Islam, media yang menjadi rahmat ini akan lebih
menginformasikan Islam secara lebih elegan dan objektif. Yaitu Islam yang
ramah, peduli kemanusiaan, damai, dain tidak diskriminatif. Untuk itu, agenda
yang kedua ini diharapkan dapat membangun tradisi positif journalism tentang
Islam.
Positif journalism di sini yaitu sebuah tradisi jurnalistik yang
menginformasikan yang berbasis pada beberapa point: pertama, jurnalisme damai (peace journalism).
Jurnalisme yang mampu mencerminkan Islam yang sangat peduli, bukan hanya kepada
sesama manusia, tetapi juga kepada mahluk hidup lainnya.
Kedua,
jurnalisme inspiratif (inspiring
journalism). Yaitu jurnalisme yang dapat memberikan inspirasi
kepada manusia baik ummat Islam maupun non Islam tentang ajaran Islam yang
baik, yang dicerminkan oleh ummatnya baik dalam ucapan, maupun dalam
berperilaku. Inspirasi juga dapat dicerminkan dari kepedulian ummat Islam
terhadap peradaban ini yang dilakukan baik secara perorangan maupun kolektif
dengan organisasinya masing-masing.
Ketiga, Jurnalisme yang memberikan inspirasi (journalism of hope). Yaitu jurnalisme yang mampu
mengabarkan tentang ajaran Islam yang bersifat melayani, ramah terhadap
peradaban, akan memberikan harapan kepada berbagai pihak – tanpa memandang
agama, suku, dan RAS – di manapun mereka berada. Tradisi jurnalisme seperti ini
akan melihat seseorang atau pihak-pihak tertentu dari sisi yang baiknya, bukan
sebaliknya.
Trend jurnalisme di atas, diharapkan dapat memberikan warna baru dalam
membangun tradisi jurnalisme Islam yang bersifat rahmatan lil alamin tadi.
Karenanya, dengan spirit dakwah yang sangat mulia itu, media massa Islam selain
mengembalikan citra Islam yang kurang baik, juga akan semakin membuat Islam
dihormati. Upaya ini juga diharapkan lebih ramah dan elegan, dibanding harus
melawan “musuh” dengan cara boikot atau praktek distruktif lainnya.
Yang menjadi PR-nya kemudian, bagaimana para jurnalis Islam ini dapat membangun
cara pandang yang sama sehingga terbangun tradisi jurnalisme di atas. Kemudian,
yang tidak kalah pentingnya yaitu menghimpun media-media Islam dan jurnalis
Islam dalam sebuah wadah tertentu. Dengan penyatuan tersebut mudah-mudahan
informasi Islam akan jauh lebih baik sehingga membangun persepsi positif
tentang Islam di masyarakat dunia.
* Penulis adalah Dosen Komunikasi
Universitas Sangga Buana YPKP, Anggota Majelis Pustaka dan Informasi PP
Muhammadiyah, dan Peserta International Conference of Islamic Media (ICIM)
sumber: Rpublika
Posting Komentar