Go Ihsan - Ketika bendera zionis Israel berkibar di daerah Tolikara, kemana
pemerintah Republik Indonesia? Kenapa negara absen di Tolikara? Apakah Tolikara
bukan bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia? Kenapa gereja bisa
membuat aturan sendiri untuk melarang umat Islam melaksanakan shalat Idul Fitri
di Tolikara?
Demikian sederet pertanyaan disampaikan Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat, KH. Cholil Ridwan saat menyampaikan orasi pada gelaran Parade Tauhid Indonesia di Gelora Bung Karno, Senayan, Jakarta, Ahad (16/08/2015).
“Ini adalah perbuatan yang melanggar hukum. Sebab, jelas-jelas mereka (pemuda gereja) yang menyerbu umat Islam di Tolikara dengan cara yang anarkis, tetapi pemerintah tidak berbuat banyak. Apakah Indonesia itu negara hukum atau belantara?” ujar Cholil.
Karena itu, menurut Cholil, hukum wajib ditegakkan di Tolikara, aktor intelektualnya harus diselidiki, ditangkap, dan diseret ke pengadilan serta Gereja Injili Di Indonesia (GIDI) dibekukan. Sebab, kalau aktor intelektual tidak ditangkap, dan GIDI tidak dibekukan, maka pemerintah Indonesia bisa dinilai telah melanggar Undang-Undang serta tidak menjalankan hukum yang berlaku.
“Presiden wajib memperhatikan kondisi umat Islam di Tolikara. Siapa yang tidak memperhatikan nasib umat Islam dimanapun berada, maka orang itu bukan muslim. Begitu juga, presiden muslim yang tidak memperhatikan penderitaan saudaranya baik di Tolikara, Gaza, Afrika Tengah dan wilayah lainnya, maka diragukan keislamannya,” tegas Cholil.
Tragedi Tolikara, kata Cholil, itu terjadi karena umat Islam Indonesia tidak siap menghadapi segala bentuk serangan dari kaum kufar. Maka, lanjutnya, umat Islam supaya selalu mempersiapkan diri untuk menghadapi kekuatan orang-orang kafir yang memusuhi Islam sebab, saat ini, musuh Islam tidak takut dengan umat Islam.
Demikian sederet pertanyaan disampaikan Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat, KH. Cholil Ridwan saat menyampaikan orasi pada gelaran Parade Tauhid Indonesia di Gelora Bung Karno, Senayan, Jakarta, Ahad (16/08/2015).
“Ini adalah perbuatan yang melanggar hukum. Sebab, jelas-jelas mereka (pemuda gereja) yang menyerbu umat Islam di Tolikara dengan cara yang anarkis, tetapi pemerintah tidak berbuat banyak. Apakah Indonesia itu negara hukum atau belantara?” ujar Cholil.
Karena itu, menurut Cholil, hukum wajib ditegakkan di Tolikara, aktor intelektualnya harus diselidiki, ditangkap, dan diseret ke pengadilan serta Gereja Injili Di Indonesia (GIDI) dibekukan. Sebab, kalau aktor intelektual tidak ditangkap, dan GIDI tidak dibekukan, maka pemerintah Indonesia bisa dinilai telah melanggar Undang-Undang serta tidak menjalankan hukum yang berlaku.
“Presiden wajib memperhatikan kondisi umat Islam di Tolikara. Siapa yang tidak memperhatikan nasib umat Islam dimanapun berada, maka orang itu bukan muslim. Begitu juga, presiden muslim yang tidak memperhatikan penderitaan saudaranya baik di Tolikara, Gaza, Afrika Tengah dan wilayah lainnya, maka diragukan keislamannya,” tegas Cholil.
Tragedi Tolikara, kata Cholil, itu terjadi karena umat Islam Indonesia tidak siap menghadapi segala bentuk serangan dari kaum kufar. Maka, lanjutnya, umat Islam supaya selalu mempersiapkan diri untuk menghadapi kekuatan orang-orang kafir yang memusuhi Islam sebab, saat ini, musuh Islam tidak takut dengan umat Islam.
“Inilah kelemahan umat Islam
yang kurang bisa mempersiapkan diri dalam menghadapi musuh-musuh Islam,”
pungkas Cholil.* (Ketika bendera zionis Israel berkibar di daerah Tolikara, kemana
pemerintah Republik Indonesia? Kenapa negara absen di Tolikara? Apakah Tolikara
bukan bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia? Kenapa gereja bisa
membuat aturan sendiri untuk melarang umat Islam melaksanakan shalat Idul Fitri
di Tolikara?
Demikian sederet pertanyaan
disampaikan Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat, KH. Cholil Ridwan saat
menyampaikan orasi pada gelaran Parade Tauhid Indonesia di Gelora Bung Karno,
Senayan, Jakarta, Ahad (16/08/2015).
“Ini adalah perbuatan yang
melanggar hukum. Sebab, jelas-jelas mereka (pemuda gereja) yang menyerbu umat
Islam di Tolikara dengan cara yang anarkis, tetapi pemerintah tidak berbuat
banyak. Apakah Indonesia itu negara hukum atau belantara?” ujar Cholil.
Karena itu, menurut Cholil,
hukum wajib ditegakkan di Tolikara, aktor intelektualnya harus diselidiki,
ditangkap, dan diseret ke pengadilan serta Gereja Injili Di Indonesia (GIDI)
dibekukan. Sebab, kalau aktor intelektual tidak ditangkap, dan GIDI tidak
dibekukan, maka pemerintah Indonesia bisa dinilai telah melanggar Undang-Undang
serta tidak menjalankan hukum yang berlaku.
“Presiden wajib memperhatikan
kondisi umat Islam di Tolikara. Siapa yang tidak memperhatikan nasib umat Islam
dimanapun berada, maka orang itu bukan muslim. Begitu juga, presiden muslim
yang tidak memperhatikan penderitaan saudaranya baik di Tolikara, Gaza, Afrika
Tengah dan wilayah lainnya, maka diragukan keislamannya,” tegas Cholil.
Tragedi Tolikara, kata Cholil,
itu terjadi karena umat Islam Indonesia tidak siap menghadapi segala bentuk
serangan dari kaum kufar. Maka, lanjutnya, umat Islam supaya selalu
mempersiapkan diri untuk menghadapi kekuatan orang-orang kafir yang memusuhi
Islam sebab, saat ini, musuh Islam tidak takut dengan umat Islam.
“Inilah kelemahan umat Islam
yang kurang bisa mempersiapkan diri dalam menghadapi musuh-musuh Islam,”
pungkas Cholil.* Ketika bendera zionis Israel berkibar di daerah Tolikara, kemana
pemerintah Republik Indonesia? Kenapa negara absen di Tolikara? Apakah Tolikara
bukan bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia? Kenapa gereja bisa
membuat aturan sendiri untuk melarang umat Islam melaksanakan shalat Idul Fitri
di Tolikara?
Demikian sederet pertanyaan
disampaikan Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat, KH. Cholil Ridwan saat
menyampaikan orasi pada gelaran Parade Tauhid Indonesia di Gelora Bung Karno,
Senayan, Jakarta, Ahad (16/08/2015).
“Ini adalah perbuatan yang
melanggar hukum. Sebab, jelas-jelas mereka (pemuda gereja) yang menyerbu umat
Islam di Tolikara dengan cara yang anarkis, tetapi pemerintah tidak berbuat
banyak. Apakah Indonesia itu negara hukum atau belantara?” ujar Cholil.
Karena itu, menurut Cholil,
hukum wajib ditegakkan di Tolikara, aktor intelektualnya harus diselidiki,
ditangkap, dan diseret ke pengadilan serta Gereja Injili Di Indonesia (GIDI)
dibekukan. Sebab, kalau aktor intelektual tidak ditangkap, dan GIDI tidak
dibekukan, maka pemerintah Indonesia bisa dinilai telah melanggar Undang-Undang
serta tidak menjalankan hukum yang berlaku.
“Presiden wajib memperhatikan
kondisi umat Islam di Tolikara. Siapa yang tidak memperhatikan nasib umat Islam
dimanapun berada, maka orang itu bukan muslim. Begitu juga, presiden muslim
yang tidak memperhatikan penderitaan saudaranya baik di Tolikara, Gaza, Afrika
Tengah dan wilayah lainnya, maka diragukan keislamannya,” tegas Cholil.
Tragedi Tolikara, kata Cholil,
itu terjadi karena umat Islam Indonesia tidak siap menghadapi segala bentuk
serangan dari kaum kufar. Maka, lanjutnya, umat Islam supaya selalu
mempersiapkan diri untuk menghadapi kekuatan orang-orang kafir yang memusuhi
Islam sebab, saat ini, musuh Islam tidak takut dengan umat Islam.
“Inilah kelemahan umat Islam
yang kurang bisa mempersiapkan diri dalam menghadapi musuh-musuh Islam,”
pungkas Cholil.( Hidayatullah/GI)
Posting Komentar