Go Ihsan -
Haji
Abdul Malik Karim Amrullah atau biasa dikenal dengan Buya Hamka adalah ulama
besar yang meninggalkan jejak kebaikan bagi umat dan bangsa ini.
Semasa
hidup, ulama kelahiran Maninjau, Sumatera Barat, 17 Februari 1908, ini dikenal
sebagai sosok ulama yang santun dalam bermuamalah, namun tegas dalam akidah. “Kita
sebagai ulama telah menjual diri kita kepada Allah, tidak bisa dijual lagi
kepada pihak mana pun,” demikian tegasnya ketika dilantik sebagai Ketua Majelis
Ulama Indonesia (MUI).
Hamka
adalah salah seorang ulama yang mendapat gelar Doktor Honouris Causa dari
Universitas Al-Azhar, Mesir, karena kiprah dakwahnya dalam membina umat. Ia
dikenal dengan fatwanya ketika menjabat sebagai Ketua MUI, yakni fatwa haram
bagi umat untuk Islam mengikuti “Perayaan Natal Bersama”.
Ia
juga yang menolak undangan untuk bertemu Paus, pemimpin Katolik dunia, ketika
sang Paus datang berkunjung ke Istana Negara pada masa Presiden Soeharto.
Dengan tegas, Buya Hamka mengatakan perihal alasan penolakannya bertemu Paus
tersebut.
“Bagaimana
saya bisa bersilaturrahmi dengan beliau, sedangkan umat Islam dengan berbagai
cara, bujukan dan rayuan, uang, beras, dimurtadkan oleh perintahnya?” demikian
alasan Buya Hamka.
Begitulah
ketegasan Buya Hamka dalam soal akidah. Namun dalam bermuamalah, ia
santun dan lembut. Sikapnya mencerminkan pribadinya. Ia sosok pemaaf, tak
pernah menaruh dendam…
Baru-baru
ini, anak kelima dari Buya Hamka, Irfan Hamka, merilis ulang sebuah buku yang
menggambarkan tentang sosok dan pribadi ulama tersebut. Buku berjudul “Ayah”
itu menceritakan pengalaman hidup Irfan Hamka bersama sang ayah, dan suka duka
perjalanan hidup ayah tercintanya, baik sebagai tokoh agama, politisi,
sastrawan, dan kepala rumah tangga.
Sebelumnya,
putra kedua Buya Hamka, Rusjdi Hamka, juga pernah menulis buku yang mengisahkan
tentang sosok sang ayah, yang berjudul “Pribadi dan Martabat Buya Hamka”.
Ada
hal menarik yang diceritakan dalam buku “Ayah” tersebut. Terutama tentang
bagaimana sosok pribadi Buya Hamka ketika menghadapi orang-orang yang pernah
memfitnah, membenci, dan memusuhinya.
Sebagai
ulama yang teguh pendirian, tentu ada pihak yang tak suka dengan sikapnya.
Irfan Hamka menceritakan bagaimana sikap Buya Hamka terhadap tiga orang tokoh
yang dulu pernah berseberangan secara ideologi, memusuhi, membenci, bahkan
memfitnahnya.
Ketiga
tokoh tersebut adalah Soekarno (Presiden Pertama RI), Mohammad Yamin (tokoh
perumus lambang dan dasar negara RI), dan Pramoedya Ananta Toer (Budayawan
Lekra/Lembaga Kebudayaan Rakyat, organisasi seni dan budaya yang berafiliasi
pada Partai Komunis Indonesia).
Betapapun
ketiga tokoh itu membenci dan memusuhi Buya Hamka, namun akhir dari kesudahan
hidupnya mereka justru begitu menghormati dan menghargai pribadi dan martabat
Buya Hamka.
Soekarno
ketika menjabat sebagai Presiden RI dan memaksakan ideologi Nasakom
(Nasionalis, Agama, Komunis), menahan Buya Hamka selama dua tahun empat
bulan dengan tuduhan yang tidak main-main: terlibat dalam rencana pembunuhan
Presiden Soekarno.
Pada
28 Agustus 1964, Buya Hamka ditangkap dan dijerat dengan tuduhan melanggar
Undang-Undang Anti Subversif Pempres No. 11. Hamka ditahan tanpa proses
persidangan dan tidak diberikan hak sedikit pun untuk melakukan pembelaaan. Tak
hanya itu, buku-buku karyanya pun bahkan dilarang untuk diedarkan.
Hamka
dijebloskan ke penjara, diperlakukan bak penjahat yang mengancam negara. Begitu
zalimnya sikap Soekarno terhadap ulama tersebut. (Artawijaya/Salam-Online)
Posting Komentar