Go Ihsan - Pembelaan
kaum Muslimin Indonesia terhadap penistaan yang dilakukan pada sosok mulia,
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, bukan kali ini saja terjadi.
Pada edisi
8-11 Januari 1918, media tersebut memuat artikel yang menghina Nabi Muhammad
Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam sebagai pemabuk dan pemadat. Artikel yang
berjudul “Percakapan Antara Marto dan Djojo” tersebut menggemparkan kota
Surakarta dan membuat geram para aktivis Central Sarekat Islam.
Pada masa
lalu, sikap tegas dan pembelaan umat Islam dalam memprotes segala bentuk
penghinaan terhadap Rasulullah juga pernah dilakukan secara massif dan
besar-besaran.
Ribuan
aktivis dan tokoh-tokoh Islam, bergerak serentak melakukan Apel Akbar di
Surabaya pada 6 Februari 1912, menyikapi pelecehan yang dilakukan oleh sebuah
media massa yang dikelola oleh kelompok kebatinan-kejawen-sekular yang bernama
Djawi Hisworo.
Aktivis
kebatinan-kejawen-sekular yang pada masa itu dekat dengan kelompok Theosofi dan
Freemasonry, yang bergerak dalam selubung kebangsaan, membuat sebuah media
massa berbahasa Jawa bernama Djawi Hisworo.

Martodharsono,
tokoh kebatinan-kejawen dituding berada di balik artikel yang berisi pelecehan
terhadap Rasulullah terebut.
Penyebutan
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam sebagai pemabuk dan pemadat memancing
reaksi keras kaum Muslimin di tanah Jawa.
Sebuah Rapat
Akbar umat Islam yang dipelopori oleh Central Sarekat Islam digelar di Surabaya
pada 6 Februari 1918. Rapat akbar tersebut dihadiri oleh ribuan umat Islam,
yang kemudian menyepakati dibentuknya sebuah satuan khusus yang bertugas untuk
melawan segala bentuk penistaan terhadap Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa
Sallam.
Satuan khusus
tersebut kemudian diberi nama “Tentara Kandjeng Nabi Muhammad” dan dipimpin
oleh tokoh dan ideolog Sarekat Islam, Haji Oemar Said (HOS) Tjokroaminoto.
Selain HOS
Tjokroaminoto dan beberapa aktivis Sarekat Islam lainnya, di antara anggota
Tentara Kandjeng Nabi Muhammad adalah tokoh dan pendiri Muhammadiyah KH Ahmad
Dahlan.
Dalam
dokumen resminya, tujuan berdirinya Tentara Kandjeng Nabi Muhammad atau Tentara
Kandjeng Rosoel,antara lain, “Mencari persatuan lahir batin antara segenap kaum
Muslimin, terutama sekali yang tinggal di Hindia Belanda, dan untuk menjaga dan
melindungi kehormatan Islam, kehormatan Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa
Sallam, serta kehormatan kaum Muslimin”.
Terbentuknya
satuan khusus Tentara Kandjeng Nabi Muhammad di Jawa ini kemudian mendapat
sambutan luas di berbagai daerah. Berbagai aksi digelar untuk mendapat dukungan
dan dana.
Pada 24
Februari 1918, Tentara Kandjeng Nabi Muhammad kemudian melakukan berbagai aksi
protes di beberapa wilayah di Jawa dan sebagian di Sumatera yang diikuti oleh
ratusan ribu massa kaum Muslimin.
Pembentukan
satuan khusus ini menurut Sarekat Islam (SI), semata-mata adalah isyarat agar
pihak di luar Islam tidak lagi semena-mena melakukan penghinaan terhadap
Rasulullah dan untuk menjaga kehormatan dan martabat umat Islam.
Keberadaan
Tentara Kandjeng Nabi Muhammad kemudian mendapat reaksi keras dari para aktivis
kebatinan-kejawen-sekular. Untuk menandingi satuan khusus umat Islam tersebut,
mereka kemudian membentuk Komite Nasionalisme Jawa(Comitte voor het Javaansche
Nationalisme).
Komite ini
menuduh satuan khusus yang dibentuk oleh SI untuk membela Nabi Muhammad sebagai
gerakan yang ditunggangi oleh kepentingan asing, yakni kepentingan Arab.
Pada masa
lalu, penghinaan dan pelecehan terhadap Islam yang dilakukan oleh kelompok
kebangsaan-sekular penganut kebatinan-kejawen memang terus berlangsung. Majalah
Bangoen No. 9 dan 10 tahun 1937, yang dikelola oleh aktivis Theosofi, Siti
Soemandari, menurunkan artikel yang berisi cacian terhadap Islam, terutama
penghinaan terhadap istri-istri Rasulullah.
Seperti
halnya Djawi Hisworo, pelecehan yang dilakukan oleh Majalah Bangoen ini juga
memantik kemarahan umat Islam, sehingga dilangsungkan Rapat Akbar di Batavia
pada 18 Desember 1937. Belakangan diketahui, Majalah Bangoen mendapat
pendanaan dari Vrijmetselarij (Freemasonry).(Lihat
buku Jaringan Yahudi Internasional di Nusantara, Artawijaya, Jakarta: Pustaka
Al-Kautsar, 2011).
Selain
dilakukan oleh para aktivis kebatinan-kejawen-sekular, penghinaan terhadap
ajaran Islam dan kemuliaan Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam juga
dilakukan para aktivis zending Kristen.
Di Bandung,
penghinaan terhadap Rasulullah pada masa lalu, disikapi oleh organisasi Persatuan
Islam (Persis), dengan mendirikan Central Komite Pembela Islam. Melalui salah
seorang tokohnya, Mohammad Natsir, Komite Pembela Islam melakukan berbagai
konter opini dan protes keras terhadap pelecehan yang dilakukan oleh seorang
pendeta Belanda.
Jadi, upaya
membela kemuliaan Islam dan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam di negeri
ini sejatinya memiliki akar sejarah yang kuat. Umat Islam di negeri ini pada
masa lalu juga memiliki semangat juang yang tinggi dalam membela harkat dan
martabat Islam.
Jika saat ini
ada Front Pembela Islam (FPI), maka pada masa lalu juga ada Komite Pembela
Islam. Jika sekarang ada Laskar Pembela Islam, maka pada era dulu juga ada
Tentara Kandjeng Nabi Muhammad. Dari dulu hingga kini, bahkan sampai Hari
Kiamat, siapapun yang melecehkan Islam akan terus mendapatkan perlawanan.
Jadi, jangan
coba-coba memantik api, jika tak ingin terbakar! (zal/salam-online)
Posting Komentar