Go Ihsan - Oleh : Dr. H. Abdul Chair
Ramadhan, SH, MH, MM.
Kata Nusantara tercatat pertama kali dalam
literatur berbahasa Jawa Pertengahan (Abad ke-12 hingga ke-16) untuk
menggambarkan konsep kenegaraan yang dianut Majapahit. Nusantara berasal dari
dua kata bahasa Sanskerta, yaitu Nusayang berarti “pulau” dan Antara yang
berarti “luar”.
Jadi, pada awalnya kata Nusantara itu
menunjuk pada “pulau lain” di luar Jawa dan merupakan daerah taklukan
Majapahit. Ide penyatuan pulau-pulau di luar Jawa di bawah kekuasaan Majapahit
inilah yang mendorong Majapahit melakukan ekspansi kekuasaan.
Dapat dikatakan di sini, bahwa kata
Nusantara lahir dalam konteks ekspansi kekuasaan di bawah kekuasaan absolut
sang Raja. Barulah pada masa kekinian, Nusantara diartikan sebagai
keterhubungan antar pulau, bukan sebaliknya.
Sedangkan dalam Islam, kekuasaan
bukan suatu hal yang absolut. Kekuasaan diatur dan di bawah ketentuan syariat
Islam. Syariat Islam juga tidak mengenal batas-batas yuridiksi kedaulatan negara
dalam konteks modern sekarang.
Jelasnya, Islam tidak mengenal
teritorial. Islam itu satu dan merujuk pada yang satu (sama) yaitu Al-Qur’an
dan As-Sunah.
‘Islam Nusantara’ sebagaimana sedang
digalakkan oleh pemerintah menunjuk kepada suatu target besar, yakni
menghadirkan pemerintahan yang lebih prima dibandingkan dengan sistem ajaran
keagamaan Islam.
Dengan demikian, dimunculkanlah
istilah baru “‘Fikih Kebhinekaan’” yang menjunjung tinggi kekuasaan negara. Ide
‘Islam Nusantara’ yang sedang digalakkan ini, bukan tidak mungkin akan
melahirkan suatu ‘Madzhab Kekuasaan’ dalam rangka melanggengkan rezim yang
berkuasa.
Jika Patih Gadjah Mada menyatakan
dalam Sumpah Palapanya akan mengalahkan “pulau-pulau lain”, maka konsep ‘Islam
Nusantara’ akan menegasikan ajaran Islam yang tidak sejalan dengan pemikiran
kaum Liberalis. Kaum Liberalis inilah yang akan menjadikan ‘Islam Nusantara’
melalui
‘Fikih Kebhinekaan’ sebagai ‘Madzhab Kekuasaan’.
Ajaran Islam tentang ketatanegaran
tidak lagi dilihat sebagai suatu kebutuhan. Madzhab Kekuasaan itulah yang
menjadi pilar bagi penguasa di Nusantara. Menjadi sama persis dengan tujuan
ekspansi Patih Gadjah Mada. Gagasan ‘Islam Nusantara’, sejatinya adalah
didasarkan kepada kepentingan politis kaum liberalis yang memang terkenal “arogan
dalam pemikiran”, menembus batas-batas toleransi intelektual.
Pernyataan Jokowi, “Islam kita adalah
‘Islam Nusantara’, Islam yang penuh sopan santun, Islam yang penuh tata krama,
itulah ‘Islam Nusantara’, Islam yang penuh toleransi,” menunjukkan ketidakmengertiannya
tentang Islam. Pernyataan itu seolah-olah ingin mengatakan bahwa Islam di luar
Nusantara, tidak mengedepankan sopan santun, tata karma, dan tidak ada
toleransi. Toleransi yang dimaksudkan dalam konsep ‘Islam Nusantara’ tidak lain
mengacu kepada pemikiran HAM versi Barat yang memang mengusung kebebasan
(liberty) secara absolut. Banyak pihak yang memang diuntungkan dengan konsep
‘Islam Nusantara’ ini. Di bawah ‘Islam Nusantara’, semua pemikiran dan aliran
sesat memiliki hak yang sama, tanpa ada pelarangan.
Menjadi jelas, bahwa apa yang
diperjuangkan dalam gagasan ‘Islam Nusantara’ sebenarnya adalah untuk
menjadikan sistem ketatanegaraan Indonesia ke arah kekuasaan belaka. Penguasa
akan sangat dikuatkan dengan konsep ‘Islam Nusantara’ melalui ‘Fikih
Kebhinekaan’ itu. Ciri khas ‘Madzhab Kekuasaan’ adalah menjadikan hukum positif
(Undang-undang) sebagai landasan kekuasaan.
Di luar undang-undang bukanlah hukum.
Undang-undang yang dihasilkan dalam proses di legislatif juga harus mengacu
kepada ‘Fikih Kebhinekaan’ vesi kaum Liberalis, yang menampung berbagai
pemikiran-pemikiran sesat.
Keberlakuan syariat Islam yang benar
sudah tidak lagi menjadi dasar pemikiran dalam pembentukan peraturan
perundang-undangan. Rasio berada di depan dan menjadi “panglima” dalam
pengambilan keputusan. Upaya perjuangan “NKRI bersyariah” akan semakin
dihadapkan dengan ‘Fikih Kebhinekaan’ karya kaum Liberalis yang berkolaborasi
dengan kaum Sekularis, Pluralis dan penganut aliran sesat.
Di sisi lain, rezim juga diuntungkan
dengan penguatan kaum Sepilis dan Aliran Sesat ini. Tidak ada kata sepakat
untuk menjadikan Indonesia sebagai ‘Islam Nusantara’. Islam lebih mulia
dibandingkan dengan Nusantara.
Nusantara adalah salah satu wilayah
berlakunya hukum Islam. Sepantasnya, Nusantara yang harus menyesuaikan diri
dengan nilai-nilai Islam, bukan sebaliknya. “Islam Yes”, “Nusantara Oke”,
tetapi “‘Islam Nusantara’ No”.*
Penulis Anggota Komisi Kumdang
MUI Pusat & Ketua TAM-NKRI
Sumber:Hidayatullah
Posting Komentar