Go Ihsan - Hidup bermasyarakat memang sudah menjadi
keharusan bagi siapa saja yang hidup di dunia ini. Adakah orang yang bisa hidup
sendiri tanpa orang lain? Tentu saja tidak ada. Berbagai macam manusia dengan
aneka karakter membuat kita harus bisa menempatkan diri dengan baik. Rasulullah
shallallahu’alaihi wasallam sebagai teladan ummatnya memilik akhlak yang paling
luhur. Beliau shallallahu’alaihi wasallam mengajari kita bagaimana cara
berinteraksi dengan sesama muslim bahkan dengan orang kafir sekalipun. Hal ini
sebagamana diterangkan dalam firman Allah Ta’ala, yang artinya,
“Sungguh Engkau (Muhammad), seorang yang
berbudi pekerti luhur.” (Qs. Al Qolam: 4)
Dan Allah Ta’ala juga berfirman, yang
artinya, “Sungguh telah ada pada diri Rasulullah itu suri tauladan yang baik
bagimu; (yaitu) bagi orang yang mengharap rahmat Allah dan (kedatangan) hari
kiamat dan yang banyak mengingat Allah.” (QS. Al-Ahzab: 21)
Wahai saudariku, semoga Allah Ta’ala
merahmatiku dan dirimu. Marilah kita simak apa yang Rasulullah
shallallahu’alaihi wasallam jelaskan berikut ini dengan pendengaran kita. Dan
marilah kita perhatikan apa yang beliau ajarkan kepada kita dengan penglihatan
dan mata hati kita. Dengan mata, telinga dan hati seseorang mampu mengambil
pelajaran, sehingga apa yang kita simak tersebut bisa menghujam dan tertanam
dalam-dalam dalam hati, biidznillahi Ta’ala.
Allah Ta’ala berfirman, yang artinya,
“Sesungguhnya yang pada demikian itu pasti terdapat peringatan bagi orang-orang
yang mempunyai hati atau yang menggunakan pendengarannya, sedang dia
menyaksikannya.” (Qs. Qaf: 37)
Di antara kiat berinteraksi dengan sesama
muslim yang diajarkan oleh Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam adalah:
Memperlakukan Orang Lain Sebagaimana Ia
Menyukai Hal Tersebut Diperlakukan untuk Dirinya
Nabi shallallahu’alaihi wasallam bersabda,
“Barangsiapa yang ingin dijauhkan dari api neraka dan dimasukkan ke dalam
surga, maka ketika maut menjemputnya hendaknya dia dalam keadaan beriman kepada
Allah dan hari akhir, memperlakukan orang lain sebagaimana pula dirinya ingin
diperlakukan demikian.” ( HR. Muslim (1844) dan Nasa’I (4191)
Imam Nawawi rahimahullah menjelaskan
tentang hadits ini, “Hadits ini termasuk jawami’ul kalim (kata-kata yang
singkat dan padat namun mengandung makna yang luas, – pen) yang ada pada diri
Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam, termuat banyak hikmah di dalamnya. Ini
adalah kaedah yang penting yang seharusnya menjadi perhatian khusus. Hendaknya
manusia mengharuskan dirinya untuk tidak berbuat sesuatu kepada orang lain
kecuali jika ia menyukai hal tersebut diberlakukan untuk dirinya.” (Syarh
an-Nawawi ala Muslim, asy-Syamilah).
Inilah prinsip pertama yang sengaja kami
tempatkan diurutan teratas, karena prinsip ini begitu agung dan mulia. Sungguh
seandainya saja semua manusia menerapkan prinsip ini tentu tidak ada lagi
konflik yang menerpa mereka. Karena mereka akan berpikir dan mempertimbangkan
terlebih dahulu sebelum bertindak. Dan berkata di dalam hati, ” Jika aku
berbuat demikian kepada saudaraku apakah aku juga rela jika dia berbuat yang
sama kepada diriku?”
Jika kita tidak ingin dikhianati maka
janganlah kita coba-coba mengkhiananti orang lain. Jika kita tidak ingin ditipu
maka janganlah sekali-kali kita menipu orang lain, jika kita ingin orang lain
tersenyum kepada kita ketika bersua maka kita pun mengharuskan diri senyum
kepada orang lain, jika kita ingin orang lain menyapa dan ramah kepada kita
maka hendaknya kitapun mengharuskan diri kita untuk ramah kepada orang lain dan
seterusnya. Sehingga ia menjadi orang yang senantiasa mempertimbangkan dengan
matang apa yang akan ia perbuat kepada orang lain.
Kami yakin tidak ada manusia yang ingin
diperlakukan buruk oleh orang lain, sehingga dengan prinsip ini seharusnya
tidak ada lagi pencuri, penipu, perampok, pendusta, orang yang suka
mengadu-domba, orang yang suka iri dan dengki, orang yang suka membicarakan
kejelekan orang lain, dan lain-lain. Namun sayangnya kebanyakan manusia adalah
makhluk yang picik, mau menang sendiri, sehingga apa yang ia perbuat lebih
banyak merugikan orang lain daripada memberikan manfaat kepadanya, kecuali
orang yang dirahmati Allah. Semoga Allah senantiasa merahmati kita, menjaga
kita dan menjauhkan kita dari akhlak yang buruk. Amin.
Berkata Baik atau Diam
Nabi shallallahu’alaihi wasallam bersabda,
” Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka hendaknya dia
berkata baik atau diam.” (HR. Muslim No. 222)
Dalam hadits ini Nabi shallallahu’alaihi
wasallam mengaitkan antara berkata baik dengan keimanan seseorang kepada Allah
dan hari akhir. Hal ini dikarenakan penjagaan terhadap lisan, mempergunakannya
untuk ucapan-ucapan yang baik dan diam untuk ucapan yang buruk adalah salah satu
tanda dari keimanan. Sesuatu yang paling berat bagi lisan adalah menjaganya,
sebagaimana hadits terkenal yang datang dari Mu’adz radhiallahu’anhu, ketika
beliau bertanya kepada Nabi shallallahu’alaihi wasallam, “Ya Rasullullah apakah
kami akan disiksa karena perkataan yang kami ucapkan? Beliau shallallahu
‘alaihi wasallam menjawab, “Celaka engkau wahai Mu’adz, bukankah manusia
terlungkup diatas hidungnya atau diatas wajahnya di neraka disebabkan perbuatan
lisannya?” [1]. Hal ini menunjukkan bahaya lidah tak bertulang, mudah
mengucapkan kata namun jika tidak digunakan dalam kebaikan bisa menjadi senjata
makan tuan.(Syarh al Arba’in an Nawawiyah, Syaikh Shalih Ibnu Abdil Aziz Alu
Syaikh, hal. 90, Dar Jamil ar Rahman as Salafy, Jogjakarta).
Imam Syafi’i rahimahullah berkata, “Hadits
di atas memberi isyarat bahwa seseorang yang ingin berbicara sesuatu maka
hendaknya dia pikir-pikir dahulu. Jika terlihat tidak ada bahaya yang
ditimbulkan maka ia boleh berbicara, namun jika ada tanda-tanda bahaya atau dia
ragu-ragu maka sebaiknya dia diam. Ibnu Rajab rahimahullah berkata, ” Hadits
ini memerintahkan untuk berbicara dalam hal yang baik-baik dan diam untuk hal
yang buruk.” (Qawaid wa Fawaid min al Arba’in an Nawawiyah, Nadzim Muhammad
Sulthan, hal 137&138, Dar al Hijrah)
Syaikh Ibnu Shalih al Utsaimin
rahimahullah menjelaskan, “Makna ‘berkata baik’ dalam hadits ini, mencakup
berkata baik untuk dirinya sendiri maupun berkata baik untuk orang lain.
Berkata baik untuk dirinya sendiri ketika seseorang berdzikir kepada Allah,
bertasbih kepada-Nya, memuji-Nya, termasuk juga membaca Al Qur’an, mengajarkan
ilmu , amar ma’ruf nahi munkar maka ini semua menjadi kebaikan untuknya. Adapun
berkata baik kepada orang lain itu berupa perkataan yang membuat senang teman
duduknya meskipun belum tentu baik untuk dirinya sendiri”.(Syarh al Arbain an
Nawawiyah, Syaikh Muhammad Ibnu Shalih al Utsaimin)
Saudariku! Semoga Allah senantiasa
merahmatimu, berikut ini akan kami sebutkan atsar dari para sahabat dan para
tabi’in tentang kehati-hatian mereka dalam menjaga lisan:
Abdullah bin Mas’ud radhiallahu ‘anhu
berkata, “Demi Allah yang tiada sesembahan yang berhak disembah selain Dia,
tidak ada di atas bumi ini yang lebih butuh untuk dipenjara lebih lama selain
lisanku ini.”
Beliau radhiallahu ‘anhu juga berkata,
“Wahai lisan! Katakanlah yang baik-baik niscaya engkau akan beruntung. Diamlah
dari kejelekan niscaya engkau akan selamat sebelum engkau menyesali semuanya.”
Abu Darda’ radhiallahu ‘anhu berkata,
“Tunaikanlah hak kedua telingamu daripada hak mulutmu. Karena dijadikan untukmu
dua telinga dan satu mulut agar engkau lebih banyak mendengar daripada
berbicara.”
Al Hasan Al Bashri berkata, “Para sahabat
berkata, ‘Sesungguhnya lisan seorang mukmin berada di belakang hatinya, jika
dia ingin berbicara sesuatu maka dia harus menimbang-nimbang dengan hatinya
kemudian baru dia putuskan (berbicara ataukah diam, pen). Adapun lisan seorang
munafik berada di depan hatinya, segala sesuatu dia putuskan dengan lisannya
tanpa sedikitpun menimbangnya dengan hatinya.” (Tazkiyatunnufus, Dr. Ahmad
Farid, as Syamilah)
Lihatlah wahai saudariku! Betapa mereka
sangat takut jika lisannya terjerumus kelembah kesia-siaan apalagi kelembah
dosa. Namun betapa jauhnya diri kita dengan mereka, mulut kita ini sangat kotor
dan penuh dengan tipu daya, mudah berbicara dan tiada faedahnya, suka
mengadudomba dan mengumbar fitnah di mana-mana.
Ya Allah, perbaikilah amalan kami dan
jauhkan mulut kami dari perbutan keji dan nista. Amin Ya Mujibassailin.
Bermuka Manis Ketika Bertemu
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam
bersabda, “Janganlah sekali-kali engkau meremehkan kebaikan sekecil apapun,
meski hanya dengan bermuka manis ketika bertemu dengan saudaramu.” (HR. Muslim
(2626), Ahmad (5/173) dan Ibnu Hibban (524))
Syaikh Ibnu Shalih al Utsaimin
rahimahullah mengatakan, “Bermuka manis mampu mendatangkan kebahagiaan kepada
siapa saja yang bersua denganmu termasuk mereka yang suka bermuka cemberut
ketika bertemu. Ia mampu menghadirkan rasa kasih sayang dan cinta dan membuat
hati menjadi lapang. Bahkan kelapangan hati itu tidak hanya pada dirimu tapi
juga orang yang yang bertemu denganmu. Namun jika engkau bermuka muram dan
merengut pastilah orang-orang akan lari darimu, mereka tidak nyaman duduk
bersanding denganmu, lebih-lebih untuk bercakap-cakap denganmu (Kitabul ‘Ilmi,
hal 184, Maktabah Nur al Huda).
Saudariku, inilah kemudahan dalam Islam.
Allah Ta’ala memberi kemudahan bagi hambanya untuk memperoleh pahala kebaikan.
Sekecil apapun kebaikan itu pasti Allah Ta’ala akan membalasnya dengan ganjaran
bahkan sampai berlipat ganda.
Saudariku! Apakah kita tidak mau
mendapatkan pahala yang tak terduga karena amalan yang tak seberapa? Marilah
kita senyum kepada saudari-saudarai kita, bermuka manislah ketika bertemu
dengan mereka, niscaya engkau akan merasakan manfaatnya. Coba bayangkan berapa
kali kita bertemu dengan saudara kita dalam sehari, seberapa sering kita
bermuka manis dengan mereka, sebanyak itupula pahala yang kita dapatkan.
Namun sungguh sangat merugi orang yang
suka bermuka masam ketika bertemu dengan saudaranya, betapa banyak pahala yang
terluput darinya..
Menebarkan salam
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam
bersabda, “Kalian tidak akan masuk surga sampai kalian beriman dan kalian tidak
akan beriman hingga kalian saling mencintai. Maukah kuberitahukan sesuatu yang
akan membuat kalian saling mencintai?” Mereka (para sahabat) menjawab, “Tentu
wahai Rasulullah”. Beliau bersabda, “Tebarkanlah salam di antara kalian.” (HR.
Muslim N0. 54 dan Bukhari dalam Adabul Mufrad No.980)
Saudariku! Marilah kita perhatikan
penjelasan Imam Nawawi berikut ini,
“Makna ‘Kalian tidak akan beriman sehingga
kalian saling mencintai’ adalah tidak akan sempurna iman seseorang, tidak akan
membaik kondisi imannya hingga mereka saling mencintai.Adapun sabda Nabi
shallallahu’alaihi wasallam ‘Kalian tidak akan masuk surga sampai kalian
beriman’, bermakna sebagaimana zhohir dan kemutlakannya. Bahwasanya tidak akan
masuk surga kecuali orang yang mati dalam keadaan beriman meskipun iman yang
tidak sempurna. Inilah zhohir yang ditunjukkan oleh hadits diatas.” Sabda Nabi
shallallahu ‘alaihi wasallam ‘Tebarkanlah salam di antara kalian’, hadits ini
mengandung perintah yang agung untuk menebarkan salam kepada kaum muslimin baik
yang engkau kenal maupun yang tidak engkau kenal (Syarh an Nawawi ala Muslim,
as Syamilah).
Berteman dengan Orang Shalih
Allah Ta’ala berfirman, yang artinya, “Dan
bersabarlah kamu bersama-sama orang-orang yang menyeru Rabbnya di pagi dan
senja hari dengan mengharap keridhaan-Nya.” (Qs. al-Kahfi: 28)
Allah berfirman memberitakan penyesalan
orang kafir pada hari Kiamat, yang artinya, “Kecelakaan besarlah bagiku,
kiranya aku (dulu) tidak menjadikan si fulan itu teman akrab(ku). Sesungguhnya
dia telah menyesatkan aku dari Al-Qur‘an ketika Al-Qur‘an itu telah datang
kepadaku. Dan adalah setan itu tidak mau menolong manusia.” (Qs. al-Furqân:
28-29)
Dari Abu Hurairah radhiallahu’anhu,
bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Seseorang tergantung
agama temannya, maka hendaklah seorang di antara kalian melihat teman
bergaulnya.”[2]
Dari Abu Musa al-Asy’ari, Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya, perumpamaan teman baik dengan teman
buruk, seperti penjual minyak wangi dan pandai besi; adapun penjual minyak,
maka kamu kemungkinan dia memberimu hadiah atau engkau membeli darinya atau
mendapatkan aromanya; dan adapun pandai besi, maka boleh jadi ia akan membakar
pakaianmu atau engkau menemukan bau anyir.” (HR. Bukhari No.2101 dan Muslim
No.6653)
Begitu besarnya pengaruh teman terhadap
eratnya jalinan persaudaraan. Teman yang shalih akan senantiasa menunaikan hak
saudaranya, menjaga kehormatan saudaranya, saling menyayangi diantara mereka,
saling menasehati dalam ketakwaan, tolong menolong dalam kebaikan dan saling
mencintai dan membeci karena Allah. Oleh karena itu wahai saudariku,
bertemanlah dengan orang shalih niscaya engkau akan beruntung.
Semoga Allah senantiasa memberikan taufik
kepada kita untuk mengamalkan apa yang diajarkan oleh Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam.
Allahu A’lam Bishshowab. Washalallahu ‘ala
Nabiyyina Muhammad wa ‘ala alihi washahbihi wattabi’in.
Penulis: Ummu Fathimah Umi Farikhah
Muroja’ah: Ust. Sa’id Yai Ardiansyah, Lc
[1] Diriwayatkan oleh at Tirmidziy
(10/88,87), beliau berkata: “Hadits ini hasan shahih” , Ibnu Majah (3973),
Hakim (2/413) dan dishahikan oleh al Albani.
[2] Shahih, diriwayatkan Imam Abu dawud
dalam Sunan-nya (4833), at Tirmidzy dalam Sunan-nya (2379) dan beliau berkata:
“Hadits ini hasan” dan Imam Ahmad dalam Musnad-nya (3/303,334).
Posting Komentar