Go Ihsan - 2- Menjadi
teladan yang baik bagi anak-anak.
“Dan semua kisah para Rasul Kami ceritakan kepadamu, ialah kisah-kisah yang dengannya Kami teguhkan hatimu; dan dalam surat ini telah datang kepadamu kebenaran serta pengajaran dan peringatan bagi orang-orang yang beriman” (QS Hud:120).
“Jika seorang ibu tidak memakai hijab (pakaian yang menutup aurat), tidak menjaga kehormatan dirinya, sering keluar rumah (tanpa ada alasan yang dibenarkan agama), suka berdandan dengan menampakkan (kecantikannya di luar rumah), senang bergaul dengan kaum lelaki yang bukan mahramnya, dan lain sebagainya, maka ini (secara tidak langsung) merupakan pendidikan (yang berupa) praktek (nyata) bagi anaknya, untuk (mengarahkannya kepada) penyimpangan (akhlak) dan memalingkannya dari pendidikan baik yang membuahkan hasil yang terpuji, berupa (kesadaran untuk) memakai hijab (pakaian yang menutup aurat), menjaga kehormatan dan kesucian diri, serta (memiliki) rasa malu, inilah yang dinamakan dengan ‘pengajaran pada fitrah (manusia)’ “[19].
“Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan menjadikan baginya kemudahan dalam (semua) urusannya” (QS. ath-Thalaaq:4)[22].
Faktor ini
sangat berhubungan erat dengan faktor yang pertama, yang perlu kami jelaskan
tersendiri karena pentingnya.
Menampilkan
teladan yang baik dalam sikap dan tingkah laku di depan anak didik termasuk
metode pendidikan yang paling baik dan utama. Bahkan para ulama menjelaskan
bahwa pengaruh yang ditimbulkan dari perbuatan dan tingkah laku yang langsung
terlihat terkadang lebih besar dari pada pengaruh ucapan[16].
Hal ini
disebabkan jiwa manusia itu lebih mudah mengambil teladan dari contoh yang
terlihat di hadapannya, dan menjadikannya lebih semangat dalam beramal serta
bersegera dalam kebaikan[17].
Oleh karena
itulah, dalam banyak ayat al-Qur’an Allah Ta’ala menceritakan kisah-kisah para
Nabi yang terdahulu, serta kuatnya kesabaran dan keteguhan mereka dalam
mendakwahkan agama Allah Ta’ala, untuk meneguhkan hati Rasululah shallallahu
‘alaihi wa sallam, dengan mengambil teladan yang baik dari mereka[18]. Allah
Ta’ala berfirman,
{وكلا نقص عليك
من أنباء الرسل ما نثبت به فؤادك، وجاءك في هذه الحق وموعظة وذكرى للمؤمنين}
“Dan semua kisah para Rasul Kami ceritakan kepadamu, ialah kisah-kisah yang dengannya Kami teguhkan hatimu; dan dalam surat ini telah datang kepadamu kebenaran serta pengajaran dan peringatan bagi orang-orang yang beriman” (QS Hud:120).
Syaikh Bakr Abu Zaid, ketika menjelaskan
pengaruh tingkah laku buruk seorang ibu dalam membentuk kepribadian buruk
anaknya, beliau berkata,
“Jika seorang ibu tidak memakai hijab (pakaian yang menutup aurat), tidak menjaga kehormatan dirinya, sering keluar rumah (tanpa ada alasan yang dibenarkan agama), suka berdandan dengan menampakkan (kecantikannya di luar rumah), senang bergaul dengan kaum lelaki yang bukan mahramnya, dan lain sebagainya, maka ini (secara tidak langsung) merupakan pendidikan (yang berupa) praktek (nyata) bagi anaknya, untuk (mengarahkannya kepada) penyimpangan (akhlak) dan memalingkannya dari pendidikan baik yang membuahkan hasil yang terpuji, berupa (kesadaran untuk) memakai hijab (pakaian yang menutup aurat), menjaga kehormatan dan kesucian diri, serta (memiliki) rasa malu, inilah yang dinamakan dengan ‘pengajaran pada fitrah (manusia)’ “[19].
Sehubungan dengan hal ini, imam Ibnul
Jauzi membawakan sebuah ucapan seorang ulama salaf yang terkenal, Ibarahim
al-Harbi[20]. Dari Muqatil bin Muhammad al-’Ataki, beliau berkata: Aku pernah
hadir bersama ayah dan saudaraku menemui Abu Ishak Ibrahim al-Harbi, maka
beliau bertanya kepada ayahku: “Mereka ini anak-anakmu?”. Ayahku menjawab:
“Iya”. (Maka) beliau berkata (kepada ayahku): “Hati-hatilah! Jangan sampai
mereka melihatmu melanggar larangan Allah, sehingga (wibawamu) jatuh di mata
mereka”[21].
3- Memilih metode pendidikan yang baik
bagi anak
Syaikh Muhammad bin Shaleh al-’Utsaimin
berkata, “Yang menentukan (keberhasilan) pembinaan anak, susah atau mudahnya,
adalah kemudahan (taufik) dari Allah Ta’ala, dan jika seorang hamba bertakwa
kepada Allah serta (berusaha) menempuh metode (pembinaan) yang sesuai dengan
syariat Islam, maka Allah akan memudahkan urusannya (dalam mendidik anak),
Allah Ta’ala berfirman,
{وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مِنْ
أَمْرِهِ يُسْراً}
“Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan menjadikan baginya kemudahan dalam (semua) urusannya” (QS. ath-Thalaaq:4)[22].
Termasuk metode pendidikan yang benar
adalah membiasakan anak-anak sejak dini melaksanakan perintah Allah Ta’ala dan
menjauhi larangan-Nya, sebelum mereka mencapai usia dewasa, agar mereka
terbiasa dalam ketaatan.
Imam Ibnu Hajar al-’Asqalani ketika
menjelaskan makna hadits yang shahih ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam melarang Hasan bin ‘Ali memakan kurma sedekah, padahal waktu itu Hasan t
masih kecil[23], beliau menyebutkan di antara kandungan hadits ini adalah:
bolehnya membawa anak kecil ke mesjid dan mendidik mereka dengan adab yang
bermanfaat (bagi mereka), serta melarang mereka melakukan sesuatu yang
membahayakan mereka sendiri, (yaitu dengan) melakukan hal-hal yang diharamkan
(dalam agama), meskipun anak kecil belum dibebani kewajiban syariat, agar
mereka terlatih melakukan kebaikan tersebut[24].
Syaikh Bakr Abu Zaid berkata, “Termasuk
(pembinaan) awal yang diharamkan (dalam Islam) adalah memakaikan pada anak-anak
kecil pakaian yang menampakkan aurat, karena ini semua menjadikan mereka
terbiasa dengan pakaian dan perhiasan tersebut (sampai dewasa), padahal pakaian
tersebut menyerupai (pakaian orang-orang kafir), menampakkan aurat dan merusak
kehormatan”[25].
Syaikh Muhammad bin Shaleh al-Utsaimin
ketika ditanya: apakah diperbolehkan bagi anak kecil, laki-laki maupun
perempuan, untuk memakai pakaian pendek yang menampakkan pahanya? Beliau
menjawab: “Sudah diketahui bahwa anak kecil yang umurnya dibawah tujuh tahun,
tidak ada hukum (larangan menampakkan) bagi auratnya.
Akan tetapi membiasakan anak-anak kecil
memakai pakaian yang pendek dan menampakkan aurat (seperti) ini tentu akan
membuat mereka mudah (terbiasa) membuka aurat nantinya (setelah dewasa). Bahkan
bisa jadi seorang anak (setelah dewasa) tidak malu menampakkan pahanya, karena
sejak kecil dia terbiasa menampakkannya dan tidak peduli dengannya… Maka
menurut pandanganku anak-anak (harus) dilarang memakai pakaian (seperti) ini,
meskipun mereka masih kecil, dan hendaknya mereka memakai pakaian yang sopan
dan jauh dari (pakaian) yang dilarang (dalam agama)”[26].
Seorang penyair mengungkapkan makna ini
dalam bait syairnya:
Anak kecil itu akan tumbuh dewasa di atas
apa yang terbiasa (didapatkannya) dari orang tuanya
Sesungguhnya di atas akarnyalah pohon itu
akan tumbuh[27]
Senada dengan syair di atas, ada pepatah
arab yang mengatakan:
“Barangsiapa yang ketika muda terbiasa
melakukan sesuatu maka ketika tua pun dia akan terus melakukannya”[28].
4- Kesungguhan dan keseriusan dalam
mendidik anak
Syaikh Bakr Abu Zaid berkata: “Anak-anak
adalah amanah (titipan Allah Ta’ala) kepada kedua orang tua atau orang yang
bertanggungjawab atas urusan mereka. Maka syariat (Islam) mewajibkan mereka
menunaikan amanah ini dengan mendidik mereka berdasarkan petunjuk (agama)
Islam, serta mengajarkan kepada mereka hal-hal yang menjadi kewajiban mereka,
dalam urusan agama maupun dunia. Kewajiban yang pertama (diajarkan kepada
mereka) adalah: menanamkan ideologi (tentang) iman kepada Allah, para malaikat,
kitab-kitab suci, para Rasul, hari akhirat, dan mengimani takdir Allah yang
baik dan buruk, juga memperkokoh (pemahaman) tauhid yang murni dalam jiwa
mereka, agar menyatu ke dalam relung hati mereka. Kemudian mengajarkan
rukun-rukun Islam pada diri mereka, (selalu) menyuruh mereka mendirikan shalat,
menjaga kejernihan sifat-sifat bawaan mereka (yang baik), menumbuhkan (pada)
watak mereka akhlak yang mulia dan tingkah laku yang baik, serta menjaga mereka
dari teman pergaulan dan pengaruh luar yang buruk.
Inilah rambu-rambu pendidikan (Islam) yang
diketahui dalam agama ini secara pasti (oleh setiap muslim), yang karena
pentingnya sehingga para ulama menulis kitab-kitab khusus (untuk
menjelaskannya)…Bahkan (metode) pendidikan (seperti) ini adalah termasuk
petunjuk para Nabi dan bimbingan orang-orang yang bertakwa (para ulama
salaf)”[29].
Lebih lanjut, syaikh Muhammad bin Shaleh
al-Utsaimin menekankan pentingnya masalah ini dalam ucapan beliau: “Anak-anak
pada masa awal pertumbuhan mereka, yang selalu bersama mereka adalah seorang
ibu, maka jika sang ibu memiliki akhlak dan perhatian yang baik (kepada
mereka), (tentu) mereka akan tumbuh dan berkembang (dengan) baik dalam
asuhannya, dan ini akan memberikan dampak (positif) yang besar bagi perbaikan
masyarakat (muslim).
Oleh karena itu, wajib bagi seorang wanita
yang mempunyai anak, untuk memberikan perhatian (besar) kepada anaknya dan
kepada (upaya) mendidiknya (dengan pendidikan yang baik). Kalau dia tidak mampu
melakukannya seorang diri, maka dia bisa meminta tolong kepada suaminya atau
orang yang bertanggung jawab atas urusan anak tersebut…
Dan tidak pantas seorang ibu (bersikap)
pasrah dengan kenyataan (buruk yang ada), dengan mengatakan: “Orang lain sudah
terbiasa melakukan (kesalahan dalam masalah) ini dan aku tidak bisa merubah
(keadaan ini)”.
Karena kalau kita terus menerus pasrah
dengan kenyataan (buruk ini), maka nantinya tidak akan ada perbaikan, sebab
(dalam) perbaikan mesti ada (upaya) merubah yang buruk dengan cara yang baik,
bahkan merubah yang (sudah) baik menjadi lebih baik (lagi), supaya semua
keadaan kita (benar-benar) menjadi baik.
Di samping itu, (sikap) pasrah pada
kenyataan (buruk yang ada) adalah hal yang tidak diperbolehkan dalam syariat
Islam. Oleh karena itulah, ketika Allah mengutus Nabi kepada kaumnya yang
berbuat syirik (bangsa Arab jahiliyyah), yang masing-masing mereka menyembah
berhala, memutuskan hubungan kekeluargaan, berbuat aniaya dan melampaui batas
terhadap orang lain tanpa alasan yang benar, (pada waktu itu)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
tidak lantas (bersikap) pasrah (pada kenyataan yang ada), bahkan Allah sendiri
tidak mengizinkan beliau (bersikap) pasrah pada kenyataan (buruk tersebut).
Allah memerintahkan kepada beliau:
“Maka sampaikanlah (secara
terang-terangan) segala apa yang diperintahkan (kepadamu) dan berpalinglah
(jangan pedulikan) orang-orang yang musyrik” (QS al-Hijr:94)”[30].
Penutup
Demikianlah, semoga Allah Ta’ala
senantiasa melimpahkan taufik-Nya kepada para wanita muslimah, agar mereka
menyadari mulianya tugas dan peran mereka dalam Islam, dan agar mereka
senantiasa berpegang teguh dengan petunjuk-Nya dalam mendidik generasi muda
Islam dan dalam urusan-urusan kehidupan lainnya.
وصلى الله وسلم وبارك على نبينا محمد وآله
وصحبه أجمعين، وآخر دعوانا أن الحمد لله رب العالمين
Kota Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, 8
Syawwal 1430 H
Penulis: Ustadz Abdullah bin Taslim
al-Buthoni, MA
Sumber: www.muslim.or.id
[1] Lihat keterangan syaikh Bakr Abu
Zaid dalam kitab “Hiraasatul fadhiilah” (hal. 17).
[2] Lihat kitab “al-Mar’ah, baina
takriimil Islam wa da’aawat tahriir” (hal. 6).
[3] Misalnya dalam HSR al-Bukhari (no.
3153) dan Muslim (no. 1468).
[4] Dalam HSR Muslim (no. 1218).
[5] Kitab “at-Tanbiihaat ‘ala ahkaamin
takhtashshu bil mu’minaat” (hal. 5).
[6] Kitab “Daurul mar-ati fi ishlaahil
mujtama’” (hal. 3-4).
[7] Dinukil oleh syaikh Shaleh al-Fauzan
dalam kitab “Makaanatul mar-ati fil Islam” (hal. 5).
[8] Dinukil oleh syaikh al-Albani dalam
kitab “at-Tawassul, ‘anwaa’uhu wa ahkaamuhu” (hal. 74).
[9] Muqaddimah shahih Muslim (1/12).
[10] Beliau adalah Imam besar dan
terkenal dari kalangan Tabi’in ‘senior’ (wafat 110 H), memiliki banyak
keutamaan sehingga sebagian dari para ulama menobatkannya sebagai tabi’in yang
paling utama, biografi beliau dalam kitab “Tahdziibul kamaal” (6/95) dan “Siyaru
a’laamin nubala’” (4/563).
[11] Beliau adalah Abu Bakr Khalid bin
Shafwan bin Al Ahtam Al Minqari Al Bashri, seorang yang sangat fasih dalam
bahasa Arab, biografi beliau dalam kitab “Siyaru a’laamin nubala’” (6/226).
[12] Beliau adalah Maslamah bin Abdil Malik
bin Marwan bin Al Hakam (wafat 120 H), seorang gubernur dari Bani Umayyah,
saudara sepupu Umar bin Abdul Aziz dan meriwayatkan hadits darinya, biografi
beliau dalam kitab “Tahdziibul kamaal” (27/562) dan “Siyaru a’laamin nubala’”
(5/241).
[13] Siyaru a’laamin nubala’ (2/576).
[14] Beliau adalah Muhammad bin Waasi’
bin Jabir bin Al Akhnas Al Azdi Al Bashri (wafat 123 H), seorang Imam dari
kalangan Tabi’in ‘junior’ yang taat beribadah dan terpercaya dalam meriwayatkan
hadits, Imam Muslim mengeluarkan hadits beliau dalam kitab “Shahih Muslim” .
Biografi beliau dalam kitab “Tahdziibul kamaal” (26/576) dan “Siyaru a’laamin
nubala’” (6/119).
[15] Kitab “Siyaru a’laamin nubala’”
(6/122).
[16] Lihat “al-Mu’in ‘ala tahshili
adabil ‘ilmi” (hal. 50) dan “Ma’alim fi thariqi thalabil ‘ilmi” (hal. 124).
[17] Lihat keterangan syaikh Abdurrahman
as-Sa’di dalam tafsir beliau (hal. 271).
[18] Lihat “Tafsir Ibnu Katsir” (2/611).
[19] Kitab “Hirasatul fadhiilah” (hal.
127-128).
[20] Beliau adalah Imam besar, penghafal
hadits, Syaikhul Islam Ibrahim bin Ishak bin Ibrahim bin Basyir al-Baghdadi
al-Harbi (wafat 285 H), biografi beliau dalam “Siyaru a’alamin nubala’”
(13/356).
[21] Kitab “Shifatush shafwah” (2/409).
[22] Kutubu wa rasaa-ilu syaikh Muhammad
bin Shaleh al-’Utsaimiin (4/14).
[23] HSR al-Bukhari (no. 1420) dan
Muslim (no. 1069).
[24] Fathul Baari (3/355).
[25] Kitab “Hiraasatul fadhiilah” (hal.
10).
[26] Kitab “Majmu’atul as-ilah tahummul
usratal muslimah (hal. 146).
[27] Kitab “Adabud dunya wad diin” (hal.
334).
[28] Dinukil dan dibenarkan oleh syaikh
Muhammad bin Shaleh al-’Utsaimin dalam “Majmu’atul as-ilah tahummul usratal
muslimah (hal. 43).
[29] Kitab “Hiraasatul fadhiilah” (hal.
122).
[30] Kitab “Daurul mar-ati fi ishlaahil
mujtama’” (hal. 14-15).
Posting Komentar