Go Ihsan - Belakangan
sebutan hijrah kian ramai menjadi perbincangan kalangan milenial. Kampanye
gerakan hijrah marak kita temui di segala akun media sosial. Terlebih setelah
berlangsungnya event Hijrah Festival 2018 di JCC Senayan, Jakarta, kemaren yang
dinilai cukup berhasil mengundang puluhan ribu pengunjung.
Hijrah, yang
secara bahasa berarti berpindah, digunakan sebagai sebutan untuk menamai sebuah
gerakan yang mengajak umat Islam, khususnya anak muda, untuk “berpindah”
menjadi pribadi yang lebih baik dengan cara meningkatkan ketaatan dalam
menjalankan perintah agama. Sebuah gerakan positif yang patut mendapatkan
apresiasi. Terlebih ketika gerakan ini lahir di tengah upaya pihak tertentu
menjuhkan generasi muda dari ajaran agama.
Meningkatnya
minat kalangan muda untuk mengetahui tentang hijrah, tentu harus dikawal dengan
petunjuk ilmu yang benar. Sehingga hakikat hijrah ini tidak dipahami dengan
salah. Sebab, ada semacam fenomena dimana aktivitas hijrah dipahami hanya
sebagai gaya semata atau hanya menjadi tren sesaat saja. Maka tidak heran bila
kemudian kita pernah mendengar ada sosok yang sudah menyatakan dirinya
berhijrah, tapi yang berubah hanya penampilan luarnya saja. Sementara akhlak
dan perilakunya masih tetap saja jauh dari nilai-nilai Islam.
Bahkan di
sudut yang lain, ada juga yang mengubah perilakunya secara total, namun tidak
didasari dengan niat dan ilmu yang mapan. Semua dilakukan karena tren yang
sedang berkembang saja. Akhirnya dengan berlalunya waktu, semangat untuk
bertahan dalam kebaikan pun runtuh. Pelan-pelan perilakunya berubah kembali
kepada kebiasaan buruknya yang dulu. Tentu kita tidak ingin fenomena seperti
ini terjadi dalam diri atau orang yang ada di sekitar kita.
Karena itu,
siapapun hendak memutuskan untuk berhijrah atau yang sudah berada di atas jalan
hijrah, maka tidak hanya dituntut memperbaiki niat saja. Agar bisa istiqamah di
atas jalan tersebut, ia juga mesti memahami apa itu hakikat hijrah dan
bagaimana indikator keberhasilannya dalam berhijrah.
Indikator
Keberhasilan Hijrah
Bila kita
membaca kembali hikmah dibalik perjalanan Rasulullah SAW dan para sahabatnya,
maka kita akan mendapati beragam hikmah dalam aktivitas hijrah ini. Salah
satunya adalah bagaimana keberhasilan hijrah yang mereka tempuh. Setidaknya ada
empat indikator utama keberhasilan hijrah yang patut kita pahami bersama,
yaitu:
Pertama: Ada
Ketenangan Jiwa saat Mendekatkan Diri kepada Allah
Hadirnya
ketenangan jiwa menjadi anugerah pertama yang diperoleh di jalan hijrah.
Artinya ketika sudah berada di jalan hijrah namun ketenangan dalam menjalankan
ketaatan belum muncul maka ada yang perlu dipertanyakan dengan kesungguhan
seseorang dalam berhijrah. Ketaatan ini menjadi indikator utama keberhasilan
hijrah seseorang. Sebab, dalam Al-Qur’an telah menjajikan dengan firman-Nya:
وَمَنْ يُهاجِرْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ يَجِدْ فِي الْأَرْضِ مُراغَماً كَثِيراً وَسَعَةً وَمَنْ يَخْرُجْ مِنْ بَيْتِهِ مُهاجِراً إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ ثُمَّ يُدْرِكْهُ الْمَوْتُ فَقَدْ وَقَعَ أَجْرُهُ عَلَى اللَّهِ وَكانَ اللَّهُ غَفُوراً رَحِيماً
“Barangsiapa berhijrah di jalan Allah,
niscaya mereka mendapati di muka bumi ini tempat hijrah yang luas dan rezeki
yang banyak. Barangsiapa keluar dari rumahnya dengan maksud berhijrah kepada
Allah dan Rasul-Nya, kemudian kematian menimpanya (sebelum sampai ke tempat
yang dituju), maka sungguh telah tetap pahalanya di sisi Allah. Dan adalah
Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang,” (QS. An-Nisa: 100)
Dalam
tafsirnya, Ibnu Katsir menyebutkan bahwa banyak para ulama—diantaranya
Qotadah—yang menjelaskan bahwa maksud ayat, “niscaya mereka mendapati di muka
bumi ini tempat hijrah yang luas dan rezeki yang banyak,” adalah
menyelamatkannya dari kesesatan menuju jalan hidayah, dan menyelamatkannya dari
kemiskinan kepada kecukupan. (Tasir Ibnu Katsir, 2/393)
Ketika
menafsirkan ayat di atas, Muhammad Rasyid Ridha dalam tafsir al-Manar
menjelaskan bahwa ayat tersebut merupakan janji Allah bagi orang-orang yang
berhijrah dengan dimudahkan jalan hidupnya dan ditanamkan ketenangan dalam
jiwanya. (Tafsir Al-Manar, 5/293)
Maknanya,
janji berupa dilimpahkan rezeki yang banyak dalam ayat tersebut tidak melulu
dimaknai sebagai rizki yang bersifat materi, akan tetapi termasuk juga di
dalamnya rezeki yang bersifat maknawi dan rohani. Seseorang yang dulunya,
terasa sempit hidupnya karena tidak bisa menjalankan ibadah dan akidahnya, akan
tetapi setelah melakukan hijrah ia mendapatkan ketenangan hidup dan bisa
mempraktikan dan menjalankan keyakinan agamanya.
Perhatikan
kisah Nabi SAW dan para sahabatnya ketika berhijrah ke kota Madinah. Bila
dilihat dari segi materi, mereka sama sekali tidak dikaruniakan kelapangan
rezki berupa rumah yang mewah, harta yang melimpah dan sebagainya. Tapi justru
yang mereka rasakan adalah adanya keluasan rezki berupa rasa ketenangan di
dalam jiwa saat beribadah kepada Allah. Mereka lebih leluasa dalam menjalankan
perintah Allah.
Demikian
juga bila kita melihat kisah para muhajirin sebelumnya, yaitu tepatnya dalam
kisah Ashabul Kahfi. Ketika mereka memutuskan untuk berhijrah dan meninggalkan
kenyamanan hidup di tengah-tengah masyarakat jahiliyah, justru yang pertama
kali Allah ta’ala perintahkan adalah masuk ke dalam gua dan meninggalkan
seluruh harta kekayaan duniawi mereka.
“Dan apabila kamu meninggalkan mereka
dan apa yang mereka sembah selain Allah, maka carilah tempat berlindung ke
dalam gua itu, niscaya Tuhanmu akan melimpahkan sebagian rahmat-Nya kepadamu
dan menyediakan sesuatu yang berguna bagimu dalam urusan kamu.” (QS. Al-Kahfi:
16)
Satu hal
yang cukup menarik adalah ketika mereka berani meninggalkan itu semua dan
menuruti perintah untuk masuk dalam gua, justru di situ Allah Ta’ala gantikan
semua yang mereka tinggalkan dengan limpahan rahmat-Nya berupa ketenangan hidup
walaupun di tempat yang cukup sempit.
Kedua:
Meningkatnya Kualitas Amal
Indikator
keberhasilan hijrah berikutnya adalah adanya peningkatan amal ibadah dalam
hidupnya. Perjalanan hidup para sahabat menjadi contoh nyata dalam hal ini.
Ketika para sahabat berada di kota Mekah, mereka tidak bisa bebas megerjakan
ibadah. Tekanan dan ancaman yang dialami cukup luar biasa. Tidak hanya psikis,
namun ancaman terhadap fisik biasa mereka rasakan. Sehingga aktifitas ibadah
pun terbatas pada kemampuan mereka.
Maka ketika
mereka berhijrah dan sampai di kota Madinah, hal yang pertama sekali menjadi
perhatian Rasulullah SAW adalah membangun masjid sebagai pusat ibadah kaum
muslimin. Dari situ segala amal ibadah bebas mereka kerjakan. Peningkatan
ibadah terjadi luar biasa dalam hidup mereka. Karena itu, salah satu tanda
keberhasilan hijrah bukan hanya berupah tampilannya saja. Tapi juga berubah
dalam tingkatan amal ibadahnya. Selalu bertaqarrub mendekatkan diri kepada
Allah.
Dalam
Risalah Tabukiyah, Ibnul Qoyyim Al-Jauziyah menyatakan bahwa hijrah yang
hukumnya wajib ‘ain adalah menuju kepada Allah dan Rasul-Nya, tidak hanya
berupa jasad, namun juga diikuti dengan hati. Allah berfirman, “Maka segeralah
(berlari) kembali menaati Allah.” (QS. Adz-Dzariyaat: 50)
Ketiga:
Berazam Meninggalkan Aktivitas Buruk
Sebagaimana
makna hijrah itu sendiri, berpindah dari kekufuran menuju keimanan, dari
maksiat menuju ketaatan, dari kebiasaan buruk berganti menjadi kebiasaan yang
baik. Karena itu, salah satu indikasi berhasilnya hijrah adalah ketika ia siap
meninggalkan segala aktivitas yang menungdang kemurkaan Allah. Sehingga dalam
salah satu riwayat, Rasullullah SAW menjelaskan:
وَالْمُهَاجِرُ مَنْ هَجَرَ مَا نَهَى اللَّهُ عَنْهُ
“Dan Al-Muhaajir (orang yang
berhijrah) adalah orang yang meninggalkan larangan Allah,” (HR. Bukhari-Muslim)
Maka hijrah
tidak senantiasa dimaknai dengan perpindahan tempat atau berubahnya penampilan.
Namun juga perpindahan secara batin. Berpindah untuk selalu mematuhi perintah
Allah, menjauhi larangan-Nya dan berusaha menjadi yang lebih baik.
Keempat:
Lahirnya Ketundukan Hati Terhadap Syariat Allah
Hijrah
merupakan amalan yang cukup berat. Orang yang menempuhnya akan dianggap asing
di tengah-tengah keramaian manusia. Ia meninggalkan seluruh pendapat manusia
dan menjadikan syariat Allah sebagai hakim di dalam segala perkara yang
diperselisihkan. Sebab, demikianlah sejatinya orang mukmin. Siap tunduk dengan
segala ketetapan syariat. Allah Ta’ala berfirman:
فَلَا وَرَبِّكَ لَا يُؤْمِنُونَ حَتَّىٰ يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لَا يَجِدُوا فِي أَنْفُسِهِمْ حَرَجًا مِمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا
“Maka demi Tuhanmu, mereka (pada
hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara
yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka
sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima
dengan sepenuhnya.” (QS. An-Nisa: 65)
Dengan
demikian seorang muslim yang hendak berhijrah kepada Allah, maka ia tidak
pernah muncul keraguan untuk mengembalikan segala persoalan hidupnya sesuai
dengan ketetapan syariat Allah. Dia rela meninggalkan pendapat kebanyakan
manusia bilamana menyelisihi ketetapan Allah dan Rasul-Nya. Meskipun pada
akhirnya ia dikucilkan oleh manusia. Dan terhadap orang-orang seperti, Allah
Ta’ala janjikan dalam surah at-Taubah: 20 berupa pahala dan derajat yang tinggi
di sisi-Nya:
“ Orang-orang yang beriman dan
berhijrah serta berjihad di jalan Allah dengan harta, benda dan diri mereka,
adalah lebih Tinggi derajatnya di sisi Allah; dan Itulah orang-orang yang
mendapat kemenangan.” (QS At-Taubah: 20)
Oleh: Penulis:
Fakhruddin
Sumber : Kiblat
Posting Komentar