Halloween party ideas 2015

Go Ihsan -  Belakangan sebutan hijrah kian ramai menjadi perbincangan kalangan milenial. Kampanye gerakan hijrah marak kita temui di segala akun media sosial. Terlebih setelah berlangsungnya event Hijrah Festival 2018 di JCC Senayan, Jakarta, kemaren yang dinilai cukup berhasil mengundang puluhan ribu pengunjung.

Hijrah, yang secara bahasa berarti berpindah, digunakan sebagai sebutan untuk menamai sebuah gerakan yang mengajak umat Islam, khususnya anak muda, untuk “berpindah” menjadi pribadi yang lebih baik dengan cara meningkatkan ketaatan dalam menjalankan perintah agama. Sebuah gerakan positif yang patut mendapatkan apresiasi. Terlebih ketika gerakan ini lahir di tengah upaya pihak tertentu menjuhkan generasi muda dari ajaran agama.

Meningkatnya minat kalangan muda untuk mengetahui tentang hijrah, tentu harus dikawal dengan petunjuk ilmu yang benar. Sehingga hakikat hijrah ini tidak dipahami dengan salah. Sebab, ada semacam fenomena dimana aktivitas hijrah dipahami hanya sebagai gaya semata atau hanya menjadi tren sesaat saja. Maka tidak heran bila kemudian kita pernah mendengar ada sosok yang sudah menyatakan dirinya berhijrah, tapi yang berubah hanya penampilan luarnya saja. Sementara akhlak dan perilakunya masih tetap saja jauh dari nilai-nilai Islam.


Bahkan di sudut yang lain, ada juga yang mengubah perilakunya secara total, namun tidak didasari dengan niat dan ilmu yang mapan. Semua dilakukan karena tren yang sedang berkembang saja. Akhirnya dengan berlalunya waktu, semangat untuk bertahan dalam kebaikan pun runtuh. Pelan-pelan perilakunya berubah kembali kepada kebiasaan buruknya yang dulu. Tentu kita tidak ingin fenomena seperti ini terjadi dalam diri atau orang yang ada di sekitar kita.

Karena itu, siapapun hendak memutuskan untuk berhijrah atau yang sudah berada di atas jalan hijrah, maka tidak hanya dituntut memperbaiki niat saja. Agar bisa istiqamah di atas jalan tersebut, ia juga mesti memahami apa itu hakikat hijrah dan bagaimana indikator keberhasilannya dalam berhijrah.

Indikator Keberhasilan Hijrah

Bila kita membaca kembali hikmah dibalik perjalanan Rasulullah SAW dan para sahabatnya, maka kita akan mendapati beragam hikmah dalam aktivitas hijrah ini. Salah satunya adalah bagaimana keberhasilan hijrah yang mereka tempuh. Setidaknya ada empat indikator utama keberhasilan hijrah yang patut kita pahami bersama, yaitu:

Pertama: Ada Ketenangan Jiwa saat Mendekatkan Diri kepada Allah

Hadirnya ketenangan jiwa menjadi anugerah pertama yang diperoleh di jalan hijrah. Artinya ketika sudah berada di jalan hijrah namun ketenangan dalam menjalankan ketaatan belum muncul maka ada yang perlu dipertanyakan dengan kesungguhan seseorang dalam berhijrah. Ketaatan ini menjadi indikator utama keberhasilan hijrah seseorang. Sebab, dalam Al-Qur’an telah menjajikan dengan firman-Nya:

وَمَنْ يُهاجِرْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ يَجِدْ فِي الْأَرْضِ مُراغَماً كَثِيراً وَسَعَةً وَمَنْ يَخْرُجْ مِنْ بَيْتِهِ مُهاجِراً إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ ثُمَّ يُدْرِكْهُ الْمَوْتُ فَقَدْ وَقَعَ أَجْرُهُ عَلَى اللَّهِ وَكانَ اللَّهُ غَفُوراً رَحِيماً

Barangsiapa berhijrah di jalan Allah, niscaya mereka mendapati di muka bumi ini tempat hijrah yang luas dan rezeki yang banyak. Barangsiapa keluar dari rumahnya dengan maksud berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian kematian menimpanya (sebelum sampai ke tempat yang dituju), maka sungguh telah tetap pahalanya di sisi Allah. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang,” (QS. An-Nisa: 100)

Dalam tafsirnya, Ibnu Katsir menyebutkan bahwa banyak para ulama—diantaranya Qotadah—yang menjelaskan bahwa maksud ayat, “niscaya mereka mendapati di muka bumi ini tempat hijrah yang luas dan rezeki yang banyak,” adalah menyelamatkannya dari kesesatan menuju jalan hidayah, dan menyelamatkannya dari kemiskinan kepada kecukupan. (Tasir Ibnu Katsir, 2/393)

Ketika menafsirkan ayat di atas, Muhammad Rasyid Ridha dalam tafsir al-Manar menjelaskan bahwa ayat tersebut merupakan janji Allah bagi orang-orang yang berhijrah dengan dimudahkan jalan hidupnya dan ditanamkan ketenangan dalam jiwanya. (Tafsir Al-Manar, 5/293)

Maknanya, janji berupa dilimpahkan rezeki yang banyak dalam ayat tersebut tidak melulu dimaknai sebagai rizki yang bersifat materi, akan tetapi termasuk juga di dalamnya rezeki yang bersifat maknawi dan rohani. Seseorang yang dulunya, terasa sempit hidupnya karena tidak bisa menjalankan ibadah dan akidahnya, akan tetapi setelah melakukan hijrah ia mendapatkan ketenangan hidup dan bisa mempraktikan dan menjalankan keyakinan agamanya.

Perhatikan kisah Nabi SAW dan para sahabatnya ketika berhijrah ke kota Madinah. Bila dilihat dari segi materi, mereka sama sekali tidak dikaruniakan kelapangan rezki berupa rumah yang mewah, harta yang melimpah dan sebagainya. Tapi justru yang mereka rasakan adalah adanya keluasan rezki berupa rasa ketenangan di dalam jiwa saat beribadah kepada Allah. Mereka lebih leluasa dalam menjalankan perintah Allah.

Demikian juga bila kita melihat kisah para muhajirin sebelumnya, yaitu tepatnya dalam kisah Ashabul Kahfi. Ketika mereka memutuskan untuk berhijrah dan meninggalkan kenyamanan hidup di tengah-tengah masyarakat jahiliyah, justru yang pertama kali Allah ta’ala perintahkan adalah masuk ke dalam gua dan meninggalkan seluruh harta kekayaan duniawi mereka.

Dan apabila kamu meninggalkan mereka dan apa yang mereka sembah selain Allah, maka carilah tempat berlindung ke dalam gua itu, niscaya Tuhanmu akan melimpahkan sebagian rahmat-Nya kepadamu dan menyediakan sesuatu yang berguna bagimu dalam urusan kamu.” (QS. Al-Kahfi: 16)

Satu hal yang cukup menarik adalah ketika mereka berani meninggalkan itu semua dan menuruti perintah untuk masuk dalam gua, justru di situ Allah Ta’ala gantikan semua yang mereka tinggalkan dengan limpahan rahmat-Nya berupa ketenangan hidup walaupun di tempat yang cukup sempit.

Kedua: Meningkatnya Kualitas Amal

Indikator keberhasilan hijrah berikutnya adalah adanya peningkatan amal ibadah dalam hidupnya. Perjalanan hidup para sahabat menjadi contoh nyata dalam hal ini. Ketika para sahabat berada di kota Mekah, mereka tidak bisa bebas megerjakan ibadah. Tekanan dan ancaman yang dialami cukup luar biasa. Tidak hanya psikis, namun ancaman terhadap fisik biasa mereka rasakan. Sehingga aktifitas ibadah pun terbatas pada kemampuan mereka.

Maka ketika mereka berhijrah dan sampai di kota Madinah, hal yang pertama sekali menjadi perhatian Rasulullah SAW adalah membangun masjid sebagai pusat ibadah kaum muslimin. Dari situ segala amal ibadah bebas mereka kerjakan. Peningkatan ibadah terjadi luar biasa dalam hidup mereka. Karena itu, salah satu tanda keberhasilan hijrah bukan hanya berupah tampilannya saja. Tapi juga berubah dalam tingkatan amal ibadahnya. Selalu bertaqarrub mendekatkan diri kepada Allah.

Dalam Risalah Tabukiyah, Ibnul Qoyyim Al-Jauziyah menyatakan bahwa hijrah yang hukumnya wajib ‘ain adalah menuju kepada Allah dan Rasul-Nya, tidak hanya berupa jasad, namun juga diikuti dengan hati. Allah berfirman, “Maka segeralah (berlari) kembali menaati Allah.” (QS. Adz-Dzariyaat: 50)

Ketiga: Berazam Meninggalkan Aktivitas Buruk

Sebagaimana makna hijrah itu sendiri, berpindah dari kekufuran menuju keimanan, dari maksiat menuju ketaatan, dari kebiasaan buruk berganti menjadi kebiasaan yang baik. Karena itu, salah satu indikasi berhasilnya hijrah adalah ketika ia siap meninggalkan segala aktivitas yang menungdang kemurkaan Allah. Sehingga dalam salah satu riwayat, Rasullullah SAW menjelaskan:

وَالْمُهَاجِرُ مَنْ هَجَرَ مَا نَهَى اللَّهُ عَنْهُ

Dan Al-Muhaajir (orang yang berhijrah) adalah orang yang meninggalkan larangan Allah,” (HR. Bukhari-Muslim)

Maka hijrah tidak senantiasa dimaknai dengan perpindahan tempat atau berubahnya penampilan. Namun juga perpindahan secara batin. Berpindah untuk selalu mematuhi perintah Allah, menjauhi larangan-Nya dan berusaha menjadi yang lebih baik.

Keempat: Lahirnya Ketundukan Hati Terhadap Syariat Allah

Hijrah merupakan amalan yang cukup berat. Orang yang menempuhnya akan dianggap asing di tengah-tengah keramaian manusia. Ia meninggalkan seluruh pendapat manusia dan menjadikan syariat Allah sebagai hakim di dalam segala perkara yang diperselisihkan. Sebab, demikianlah sejatinya orang mukmin. Siap tunduk dengan segala ketetapan syariat. Allah Ta’ala berfirman:

فَلَا وَرَبِّكَ لَا يُؤْمِنُونَ حَتَّىٰ يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لَا يَجِدُوا فِي أَنْفُسِهِمْ حَرَجًا مِمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا

Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” (QS. An-Nisa: 65)

Dengan demikian seorang muslim yang hendak berhijrah kepada Allah, maka ia tidak pernah muncul keraguan untuk mengembalikan segala persoalan hidupnya sesuai dengan ketetapan syariat Allah. Dia rela meninggalkan pendapat kebanyakan manusia bilamana menyelisihi ketetapan Allah dan Rasul-Nya. Meskipun pada akhirnya ia dikucilkan oleh manusia. Dan terhadap orang-orang seperti, Allah Ta’ala janjikan dalam surah at-Taubah: 20 berupa pahala dan derajat yang tinggi di sisi-Nya:

Orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad di jalan Allah dengan harta, benda dan diri mereka, adalah lebih Tinggi derajatnya di sisi Allah; dan Itulah orang-orang yang mendapat kemenangan.” (QS At-Taubah: 20)

Oleh: Penulis: Fakhruddin
Sumber : Kiblat

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.