Go Ihsan - Pada hakikatnya,
Islam tidak melepaskan kehidupan rumah tangga berjalan begitu saja tanpa arah
petunjuk. Sehingga hawa nafsu menjadi penentu yang berkuasa. Tidak demikian
adanya. Islam telah menggariskan hak, kewajiban, tugas dan tanggung-jawab
antara suami dan istri sesuai dengan kodrat, kemampuan, mempertimbangkan tabiat
dan aspek psikis. Hal tersebut ditetapkan di atas landasan yang adil lagi
bijaksana. Allah Ta'ala berfirman: "Dan para wanita mempunyai hak yang
seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma'ruf. Akan tetapi, para suami
mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada isterinya. Dan Allah Maha Perkasa
lagi Maha Bijaksana". [al-Baqarah/2:228].
Jika pasangan
suami istri mengerti dan memahami kewajiban masing-masing, niscaya biduk suatu
rumah tangga kaum muslimin akan berjalan normal, semarak oleh suasana mawaddah
dan rahmat. Suami memenuhi kewajiban-kewajibannya. Begitu pula, istri juga
menjalankan kewajiban-kewajibannya. Dengan ini, rumah tangga akan menuai
kebahagiaan dan ketentraman. Rumah tangga benar-benar berfungsi sebagaimana
mestinya.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman :
"Dan di antara tanda-tanda
kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri,
supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di
antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar
terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir." [ar-Rûm/30:21].
Akan tetapi, kondisi ideal ini, terkadang
terganggu oleh riak-riak yang pada akhirnya mempengaruhi tingkat mawaddah dan
rahmat antara suami-istri. Suami berbalik membenci istrinya. Pada sebagian
suami, tidak mampu bersabar sehingga tangan kuatnya diayunkan ke tubuh istri,
dan menyebabkan istri mengerang kesakitan. Bekas-bekas penganiayaan pun
terlihat jelas. Istrinya merasa tidak aman dan nyaman hidup dengan lelaki itu.
Situasi kian memanas. Akibat emosi tak terkendali, kadang timbul aksi yang
tidak diharapkan, semisal penganiayaan hingga pembunuhan, baik dari suami
maupun istri. Nas`alullah as-salaamah.
Syaikh 'Abdur-Rahmaan as-Sudais
menyampaikan fakta: "Ada sejumlah lelaki (suami) yang tidak dikenal
kecuali hanya dengan bahasa perintah dan larangan, hardikan, sifat arogan,
buruk pergaulan, tidak ringan tangan, susah bertoleransi, emosional dan sangat
reaktif. Jika berbicara, perkataannya menunjukkan dirinya bukan orang yang
beradab. Dan bila berbuat, perilakunya mencerminkan kecerobohan. Di dalam
rumah, suka menghitung-hitung kebaikannya di hadapan istri. Bila keluar rumah,
prasangka buruk kepada istri menggelayuti pikirannya. Bukan pribadi yang lembut
dan tidak sayang. Istrinya hidup dalam kesulitan, bergulat dengan kesengsaraan
dan terpaksa mengalami prahara"[1]
MENDATANGKAN DUA PENENGAH DARI MASING-MASING
PIHAK
Dalam konteks ini, bila persoalan semakin
meruncing, maka Allah Subhanahu wa Ta'ala mengarahkan untuk menghadirkan dua
penengah dari keluarga suami dan istri.
"Dan jika kamu khawatirkan ada
persengketaan antara keduanya, maka kirimlah seorang hakam dari keluarga
laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. Jika kedua orang hakam itu
bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada
suami-isteri itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal"
[an-Nisaa`/4:35][2].
Tugas mereka berdua, mengerahkan segala
upaya untuk mengetahui akar permasalahan yang menjadi sebba perseteruan antara
suami istri dan menyingkirkannya, serta memperbaiki hubungan suami-istri yang
sedang dilanda masalah. Dua penengah ini (hakamain) disyaratkan orang muslim,
adil, dikenal istiqamah, keshalihan pribadi dan kematangan berpikir, dan
bersepakat atas satu keputusan. Keputusan mereka berkisar pada perbaikan
hubungan dan pemisahan antara mereka berdua. Berdasarkan pendapat jumhur ulama,
keputusan dua penengah ini mempunyai kekuatan untuk mempertahankan hubungan
atau memisahkan mereka.
TALAK BISA "MENJEMBATANI"
KEBUNTUAN ANTARA SUAMI-ISTRI
Pada asalnya, talak bukanlah jalan keluar
yang dianjurkan untuk menyelesaikan keretakan hubungan antara suami-istri, jika
tidak ada faktor penting dan mendesak yang menjadi penyebabnya. Namun, ketika
istri memperlihatkan tanda-tanda kebencian kepada suami, karena istri sering
mengalami penindasan, misalnya secara fisik berupa pukulan yang menciderai, siksaan
yang berat, kewajiban nafkah tak dipenuhi, terus-menerus dicaci, mendapatkan
tuduhan yang bermacam-macam umpamanya, sehingga kehidupan rumah tangga tidak
mendukung menjadi keluarga harmonis, maka dalam kondisi ini, talak bisa menjadi
jalan keluar bagi mereka berdua.
Konsepsi kehidupan rumah tangga dalam
Islam sendiri bersendikan "pergaulan yang baik, atau dilepaskan dengan
cara baik pula". Hal ini berdasarkan firman Allah Ta'ala:
"Setelah itu boleh rujuk lagi dengan
cara yang ma'ruf atau menceraikan dengan cara yang baik"
[al-Baqarah/2:229].
Kalau suami ingin tetap hidup bersama
istri, kewajibannya ialah mempergauli istrinya dengan sebaik-baiknya. Allah
Subhanahu wa Ta'ala berfirman :
"Dan bergaullah dengan mereka secara
patut". [an-Nisâ/4: 19]
Tindakan aniaya terhadap orang lain
terlarang. Demikian juga perbuatan-perbuatan yang merugikan dan membahayakan
orang lain. Apalagi kepada orang yang menjadi pendamping hidup dan bersifat
lemah. Orang terbaik ialah orang yang berlaku baik kepada keluarganya.
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
"Sebaik-baik kalian adalah orang yang
bersikap baik kepada keluarganya. Dan aku adalah orang yang terbaik bagi
keluargaku" [HR at-Tirmidzi dan Abu Dâwud].
Kedekatan antara suami dan istri sangat
kuat. Dari seringnya interaksi antara keduanya, masing-masing dapat mudah
terpengaruh oleh kondisi pasangannya. Pengaruh baik akan berdampak positif bagi
pasangan. Begitu pula, keadaan-keadaan yang buruk pun akan mudah berpengaruh
pada pasangannya.
Tatkala kesepahaman tidak bisa dipadukan,
dan seluruh terapi tidak memberi pengaruh positif bagi perubahan ke arah yang
baik, maka kehidupan berumah tangga dengan pasangan bisa menjadi beban berat
untuk dipikul. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman :
"Jika keduanya bercerai, maka Allah
akan memberi kecukupan kepada masing-masing dari limpahan karunia-Nya. Dan
adalah Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Bijaksana" [an-Nisaa/4:130]
BILA SUAMI TIDAK INGIN MENCERAIKAN
Bila kehidupan rumah tangga sudah menjadi
beban berat bagi istri sehingga dikhawatirkan tidak mampu lagi menjadi
pendamping suami, baik karena perilaku maupun tindak kekerasan yang dilakukan
suami atau lainnya, maka dalam keadaan seperti ini, Islam membolehkan wanita
mengajukan gugatan cerai kepada suami dengan memberikan ganti rugi harta. Dalam
syari’at Islam, gugatan cerai istri atas suaminya ini dinamakan al-khulu’.[3]
Al-Hishnî rahimahullah menjelaskan jenis
ketiga dari keringanan dalam pernikahan dengan menyatakan: Di antaranya, ialah
kemudahan pensyariatan talak (cerai) karena beban berat tinggal berumah tangga,
dan demikian juga al-khulu’. Juga semua yang disyari’atkan hak pilih faskh
(menggagalkan akad) karena kesabaran wanita atas keadaan tersebut merupakan
beban berat (al-masyaqqah), karena syari’at tidak memberikan hak cerai kepada
wanita.[4]
Sedangkan Ibnu Qudamah rahimahullah,
ketika menjelaskan hikmah disyari’atkannya al-khulu’, ia menyatakan:
"Al-khulu’ (disyari’atkan) untuk menghilangkan dharar (kerugian)
yang menimpa wanita karena jeleknya pergaulan dan tinggal bersama orang
yang tidak ia sukai dan benci".[5]
Lebih jelas lagi, yaitu pernyataan
Ibnul-Qayyim, bahwasanya Allah mensyari’atkan al-khulu’ untuk menghilangkan
mafsadat yang berat, menimpa pasangan suami istri dan membebaskan satu dari
pasangannya [6]. Apabila suami menyetujuinya, maka rusaklah akad pernikahan
keduanya (faskh) dan sang wanita menunggu sekali haidh agar dapat menerima
pinangan orang lain.
Namun, apabila suami tidak menerima
al-khulu’ (gugatan cerai) istrinya tersebut, maka sang istri dapat mengajukan
gugatan cerai kepada pemerintah atau lembaga yang ditunjuk pemerintah menangani
permasalahan tersebut agar mendapatkan keridhaan suami untuk menerima gugatan
cerai tersebut. Sebab, terjadinya al-khulu’, tetap dengan keridhaan suami.
Demikianlah pendapat mayoritas ulama bahwasanya al-khulu’ tidak sah kecuali
dengan keridhaan suami.[7]
Oleh karena itu, Ibnu Hazm rahimahullah
berkata: "Maka wanita diperbolehkan mengajukan gugatan cerai (al-khulu’)
dari suami dan menceraikannya bila suami meridhainya".[8]
Demikian, cukup jelas solusi yang
diberikan Islam dalam menangani masalah KDRT. Keuntungan dunia dan akhirat akan
bisa digapai bila menaatinya. Mudah-mudahan, Allah Subhanahu wa Ta'ala
membukakan hati kita untuk menerapkan seluruh syari'at-Nya dalam semua aspek
kehidupan kita sehari-hari. Wallahu a'lam.
Maraji`:
1. Dhamanâtu Huqûqi al-Mar`ati
az-Zaujiyyah, Dr. Muhammad Ya`qub Muhammad ad-Dahlawi, Penerbit Jâmi'ah
Islâmiyyah Madînah, Cetakan I, Tahun 1424 H.
2. Kaukabatul- Khutabil-Munîfati min
Mimbaril-Ka'batil-Musyarrafah,kumpulan khutbah Dr. 'Abdur-Rahmân as-Sudais,
halaman 427-478. Lihat makalah berjudul Abghadhul Halâl, an-Nidâ`ul Hâni ila
an-Nishfits-Tsâni, az-Zawâju Hashânatun wab Tihâj, Washâya wa Taujiihâtun ilâ al-Azwâj
waz-Zaujât.
3. Shahîh Fiqhis Sunnah, Abu Mâlik Kamâl
bin Sayyid Salim, Penerbit Maktabah at-Tauqifiyyah.
Artikel dari : http://www.almanhaj.or.id
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 11/Tahun XI/1429H/2008M. Diterbitkan
Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton
Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]
Posting Komentar