Setiap orang mungkin pernah merasakan pahitnya kegagalan. Target
yang tidak tercapai, perjuangan yang tak membuahkan hasil sesuai
keinginan, atau bahkan permohonan yang tak kunjung terkabulkan.
Manusiapun beragam dalam menyikapi kenyataan seperti ini. Ada yang
sedih ketika tak lulus sekolah, ada yang depresi lantaran gagal menjadi
pejabat, stress lantaran usahanya gulung tikar, dan bahkan ada yang
bunuh diri karena gagal menikah dengan orang yang dicintainya. Intinya
adalah putus asa dan berat menerima kenyataan yang tidak sesuai harapan.
Tak Ada Istilah Gagal, Kecuali dalam Satu Hal
Sebenarnya, tak ada istilah gagal dalam berusaha, selain kegagalan
dalam menyikapi hasil. Inipun, masih ada peluang untuk perbaikan. Hanya
ada satu kegagalan yang fatal, yang benar-benar dikatakan gagal, yakni
gagal dalam mengisi hidup hingga datangnya ajal.
Kalaupun ada tujuan yang belum mampu didapatkan, secara hakikat bisa
jadi bukan bermakna kegagalan. Bisa jadi, penangguhan keberhasilan itu
merupakan anugerah. Agar kita mau bermuhasabah, lalu ada kesempatan
untuk memperbaiki diri. Seandainya keberhasilan langsung wujud, mungkin
tak ada waktu lagi untuk berbenah. Seyogyanya, seorang muslim langsung
bermuhasabah begitu tujuan yang hendak diraih itu meleset.
Pertama, apakah tujuan tersebut benar-benar sesuatu yang
disyariatkan, atau bahkan bertentangan dengan syariat. Jika ternyata
bertentangan dengan syariat, maka bersyukurlah ketika gagal, karena
berarti Allah masih sayang kepadanya. Dia hendak menghindarkannya dari
sesuatu yang bertentangan dengan syariat.
Maka ia bukan orang yang
gagal, tapi sukses dalam menghindari suatu keburukan. Namun jika ternyata yang belum berhasil diraihnya adalah suatu tujuan
yang mulia, hendaknya ia kembali introspeksi terhadap cara yang dia
tempuh. Apakah menggunakan cara yang haram, ataukah yang diijinkan oleh
syariat. Jika caranya haram, maka cobalah kembali dengan cara yang
sesuai syar’i, karena Allah tidak menghendaki sesuatu yang mulia diraih
dengan cara yang hina.
Jika ternyata caranya juga sudah sesuai syar’i, namun belum juga berhasil, ada baiknya melihat makasib (usaha) secara kauni.
Dengan bahasa kekinian, apakah usaha tersebut telah termenej dengan
baik, baik dari sisi perencanaan, pengelolaan, maupun kontrolnya? Karena
bisa jadi kegagalan (sementara) itu disebabkan kurangnya pengetahuan,
kesungguhan atau kedisiplinan dalam berusaha. Dengan kegagalan tersebut,
Allah memberi kesempatan kepada kita untuk memperluas pengetahuan dan
meningkatkan kesungguhan kita dalam berusaha. Bukankah ini berarti
keberhasilan dalam memperbaiki diri? Bahkan keberhasilan seperti yang
diinginkan segera mengikuti insya Allah. Perhatikanlah seekor
semut yang membawa beban berat menuju sarangnya di ketinggian pohon.
Berapa kali ia terjatuh, sebanyak itu pula ia bangkit dan berusaha,
hingga akhirnya ia berhasil mencapai tujuan yang diinginkan. (Sumber ar-risalah)
Posting Komentar