Go Ihsan - Dalam
tradisi Islam, mengkritisi pemimpin di ruang publik secara terbuka adalah hal
biasa. Misalkan saja, ketika Umar bin Khattab RA yang tidak mau membagi-bagi
tanah Syam yang ditaklukkan para mujahidin kepada kaum Muslimin.
Nafi' bin Maula Ibnu Umar RA meriwayatkan,
tindakan khalifah Umar bin Khattab RA tersebut diprotes Bilal bin Rabbah RA
secara tegas. "Bagilah tanah itu, atau kami ambil tanah itu dengan
pedang!" tegas Bilal kepada Umar yang disuarakannya di depan umum. (HR
Baihaqi).
Riwayat ini menjadi dalil, bolehnya berbicara
tegas dan lantang kepada pemimpin di depan umum. Tak ubahnya dalam konteks
kekinian, di mana segala sesuatunya disampaikan dengan terbuka dan transparan.
Siapa pun bisa menulis opini, berdemonstrasi,
hingga berkicau di media sosial soal pemimpin mereka. Kritikan kepada pemimpin
disampaikan dengan tegas dan bebas. Namun, tentu saja ada batas-batas adab
Islami yang perlu diperhatikan.
Ketua MUI Bidang Dakwah KH Cholil Nafis
mengatakan, komunikasi pemimpin dan rakyat yang dipimpin telah diqiyaskan dalam
pelaksanaan shalat berjamaah. Seorang imam punya persyaratan-persyaratan untuk
memimpin makmum, seperti fasih bacaan, fakih, lebih tua, mukimin, dan
sebagainya.
Ketika si imam salah, baik dalam perkataan dan
perbuatan, maka makmum berkewajiban mengingatkan si imam.
"Bagi laki-laki baca subhanallah, bagi perempuan tepuk
tangan. Qiyasan shalat ini pada kehidupan bernegara. Kalangan parlemen dan
orang dekat presiden bisa bicara langsung pada presiden sebagaimana makmum
laki-laki mengucap subhanallah. Tapi, bagi yang jauh, kritikannya kepada imam
dengan tepuk tangan. Mungkin sama dengan rakyat yang demo dan sebagainya,"
katanya seperti dilansir Republika, Selasa (10/11).
"Tepuk tangan dan ucapan subhanallah itu tidak pula sampai sorak-sorak. Hanya sekadar si imam itu tahu kalau dia salah. Jadi, rakyat yang merasa tidak terwakili aspirasinya oleh parlemen bisa berdemo. Tetapi, jangan demo yang merusak. Inilah adab dalam mengingatkan pemimpin," katanya menambahkan.
Tidak hanya bagi rakyat, Cholil juga menyasar pada pemimpin. Sebagaimana dalam shalat, seorang imam tidak boleh ngotot kalau dia yang benar. Jika memang dia salah, ia segera kembali pada kebenaran. Bahkan, ia bertobat dengan sujud sahwi pada akhir masa jabatannya sebagai imam.
"Seorang imam, telinganya harus kuat dan peka membaca aspirasi rakyatnya. Kalau di media sosial memang tidak bisa diakomodir dan menjadi landasan membuat kebijakan. Tapi, kalau dari tokoh masyarakat itu bisa ditanggapi," jelasnya.
Kicauan masyarakat yang terkadang vulgar dalam mengkritisi pemimpin di media sosial juga perlu dihindari. Menurut Cholil, bukan seperti itu etika Islam dalam menyampaikan kebenaran.
"Tepuk tangan dan ucapan subhanallah itu tidak pula sampai sorak-sorak. Hanya sekadar si imam itu tahu kalau dia salah. Jadi, rakyat yang merasa tidak terwakili aspirasinya oleh parlemen bisa berdemo. Tetapi, jangan demo yang merusak. Inilah adab dalam mengingatkan pemimpin," katanya menambahkan.
Tidak hanya bagi rakyat, Cholil juga menyasar pada pemimpin. Sebagaimana dalam shalat, seorang imam tidak boleh ngotot kalau dia yang benar. Jika memang dia salah, ia segera kembali pada kebenaran. Bahkan, ia bertobat dengan sujud sahwi pada akhir masa jabatannya sebagai imam.
"Seorang imam, telinganya harus kuat dan peka membaca aspirasi rakyatnya. Kalau di media sosial memang tidak bisa diakomodir dan menjadi landasan membuat kebijakan. Tapi, kalau dari tokoh masyarakat itu bisa ditanggapi," jelasnya.
Kicauan masyarakat yang terkadang vulgar dalam mengkritisi pemimpin di media sosial juga perlu dihindari. Menurut Cholil, bukan seperti itu etika Islam dalam menyampaikan kebenaran.
"Media sosial itu sekarang jadi barometer
kebebasan orang. Mereka bebas menyampaikan apa saja. Di media sosial tidak
ketahuan mimiknya, sehingga secara psikologi menempatkan semua orang sama tanpa
ada batasan pendidikan, kedudukan, dan sebagainya," katanya menambahkan.(Rol)
Posting Komentar