Go Ihsan - Dan setelah beliau –Shallallâhu ‘alaihi wa sallam–
hijrah ke Yatsrib (kemudian dikenal sebagai Al-Madinah atau kota nabi Muhammad –shallallâhu ‘alaihi wa sallam-), dan
Allâh –subhânahu wa ta’âlâ– mulai mengizinkan peperangan kepada
kaum muslimin, para penulis sîrah menyuguhkan data-data angka
sebagai berikut:
Ada empat hal yang menarik dari angka-angka di atas, yaitu:
Ada pertumbuhan cepat jumlah pasukan Islam dari tahun ke
tahun. Dari Badar ke Uhud (tempo satu tahun) telah
terjadi pertumbuhan jumlah pasukan Islam sebanyak tiga kali lipat (300%),
begitu juga dari Uhud ke Ahzâb
(tempo dua tahun). Yang menarik adalah pertumbuhan dari tahun ke lima (Ahzâb) ke tahun delapan (Fathu Makah), sebab,
dalam tempo tiga tahun, pasukan Islam telah berlipat ganda menjadi 10.000
pasukan (lebih dari 300%).
Suasana “damai” atau genjatan senjata dengan pihak Makah melalui Shulh Hudaibiyah (perdamaian Hudaibiyah) pada tahun 6 Hijriyah, telah dioptimalkan
oleh Rasulullâh –shallallâhu ‘alaihi wa sallam– untuk menyebar luaskan
dakwah seluas-luasnya, di samping untuk menyelesaikan urusan strategis lainnya,
misalnya: penyerbuan ke benteng Yahudi di Khaibar (tahun 7 H).
Pada tahun 9 Hijriyah dan “hanya” dalam tempo satu tahun,
jumlah pasukan Islam telah berlipat ganda menjadi 30.000 pasukan (300%). Hal
ini terjadi karena Makah yang menjadi musuh dakwah telah tidak ada dan berubah
menjadi bagian dari pendukung dakwah.
Ada pertumbuhan yang relative “terjaga” dari jumlah pasukan
Islam, yaitu sekitar 300%, walaupun tempo yang dilaluinya berbeda-beda.
Adanya angka-angka pertumbuhan seperti ini, menjadikan kita
bertanya-tanya: adakah angka-angka seperti ini terjadi secara kebetulan
(‘afwiyyan), ataukah memang ada perencanaan atau design yang telah dibuat
sebelumnya?
Jika kita menengok kepada tahun dua Hijriyah, saat beliau –shallallâhu
‘alaihi wa sallam– belum lama tiba di Madinah, yaitu saat itu beliau
memerintahkan kepada kaum muslimin untuk melakukan sensus tertulis terhadap
semua orang yang telah menyatakan masuk Islam, rasanya terlalu jauh kalau kita
berpendapat bahwa angka-angka pertumbuhan seperti di atas terjadi secara
kebetulan.
Pemahaman yang lebih dekat kepada kebenaran (jika tidak kita
katakana kebenaran) adalah pendapat yang mengatakan bahwa hal itu memang
sesuatu yang direncanakan oleh Rasulullâh –shallallâhu ‘alaihi wa sallam–
Dalam kitab Shahîh Muslim disebutkan
sebagai berikut:
عَنْ حُذَيْفَةَ قَالَ
: كُنَّا مَعَ
رَسُولِ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
فَقَالَ : أَحْصُوا
لِي كَمْ
يَلْفِظُ اْلإِسْلاَمَ،
قَالَ : فَقُلْنَا
: يَا رَسُولَ
اللَّهِ أَتَخَافُ
عَلَيْنَا وَنَحْنُ
مَا بَيْنَ
السِّتِّ مِائَةٍ
إِلَى السَّبْعِ
مِائَةٍ! [رواه
مسلم، رقم 149]
Dari Hudzaifah
–radhiyallâhu ‘anhu- ia berkata: Kami bersama Rasulullâh –shallallâhu ‘alaihi
wa sallam-, lalu beliau bersabda: “Lakukanlah ihshâ’ untukku
berapa orang yang telah menyatakan Islam”. Hudzaifah berkata: ‘maka
kami berkata: ‘Wahai Rasulullâh, adakah engkau mengkhawatirkan kami? Sementara
jumlah kami antara 600 sampai tujuh ratus! .. [H.R.
Muslim, no. 149]
Dan di dalam kitab Shahîh Bukhârî disebutkan:
عَنْ حُذَيْفَةَ رَضِيَ
اللَّهُ عَنْهُ
قَالَ : قَالَ
النَّبِيُّ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ : اكْتُبُوا
لِي مَنْ
تَلَفَّظَ بِاْلإِسْلاَمِ
مِنْ النَّاسِ،
فَكَتَبْنَا لَهُ
أَلْفًا وَخَمْسَ
مِائَةِ رَجُلٍ
… عَنْ الأَعْمَشِ
: فَوَجَدْنَاهُمْ خَمْسَ
مِائَةٍ قَالَ
أَبُو مُعَاوِيَةَ
: مَا بَيْنَ
سِتِّ مِائَةٍ
إِلَى سَبْعِ
مِائَةٍ [البخاري،
رقم 3060]
Dari Hudzaifah
–radhiyallâhu ‘anhu- ia berkata: Nabi –shallallâhu ‘alaihi wa sallam- bersabda:
“Tuliskan untukku orang-orang yang telah menyatakan Islam”. Maka kami
menuliskan untuk beliau seribu lima ratus laki-laki … Dari Al-A’masy: Maka kami
mendapati mereka berjumlah 500. Abû Mu’âwiyah berkata: antara 600 – 700 [H.R.
Bukhârî, no. 3060]
Beberapa Komentar Terhadap Dua Riwayat
Ini
Prof. DR. Yusuf Al-Qaradhawî: “Kalau saja terjadi
pengkodifikasian ulang hadîts, maka saya
mengusulkan agar dua riwayat ini dimasukkan ke dalam kitâb al-‘ilm (kumpulan hadîts yang berkenaan dengan ilmu pengetahuan),
sebab, al-ihshâ’ (penghitungan, kalkulasi, sensus dan
statistic) merupakan dasar berbagai macam ilmu pengetahuan”. [lihat: Al-Rasûl
wa al-‘Ilm].
Menurut Al-Dâwudî, angka-angka yang disebutkan dalam riwayat
ini tidaklah kontradiktif, sebab, ada kemungkinan ihshâ’ dilakukan
berkali-kali. [Fath al-Bârî saat mensyarah hadîts di atas].
Menurut Ibn Al-Munîr, sensus tertulis tidaklah kontradiktif
dengan keberkahan, bahkan, penulisan yang diperintahkan itu merupakan
kemaslahatan agama. [Fath al-Bârî saat mensyarah hadîts di atas].
Beberapa Tambahan Komentar
Dalam terjemahan sederhana, kata ihshâ’ berarti:
menghitung. Namun, dalam konteks ilmiah, ihshâ’ juga
bermakna kalkulasi, sensus dan bahkan statistic dan grafik. Makna inilah yang
oleh Prof. DR. Yusuf Al-Qaradhaî –hafizhahullâh– disebut sebagai
dasar ilmu pengetahuan modern, karenanya beliau mengusulkan agar hadîts ini dimasukkan ke dalam kitâb al-‘ilm. Wallâhu
a’lam.
Dua riwayat yang “berbeda”, di mana yang satunya
menyebutkan uhshû dan satunya mengatakan uktubû,
juga tidak kontradiktif, sebab bisa digabungkan dan saling melengkapi, sehingga
bisa dipahami bahwa perintah Rasulullâh –shallallâhu ‘alaihi wa sallam–
kepada para sahabat adalah agar mereka melakukan ihshâ’ secara
tertulis, dan tidak cukup sekedar lisan sahaja. Hal ini menegaskan betapa
penting peranan ihshâ’ tertulis ini, agar data
benar-benar valid dan akurat.
Perbedaan angka-angka sebagaimana disebut dalam
periwayatan hadîts ini, dan sebagaimana
dipahami tidak kontradiktif oleh Al-Dâwûdî, juga bisa dipahami bahwa para
sahabat nabi terus dan selalu melakukan apa yang di zaman sekarang disebut
dengan istilah updating data atau pemutakhiran data dari waktu ke waktu, dan
ternyata, updating itu menunjukkan adanya pergerakan naik yang terus menerus;
500, 600, 700 dan 1500. Wallâhu a’lam.
Dari semua keterangan ini, kita bisa memahami dan
menyimpulkan bahwa pertumbuhan angka-angka bisa kita katakan telah direncanakan
atau by design, dan bukan ‘afwiyyah (kebetulan).
Catatan Kaki:
[1] Maksudnya: mereka tidak mengerti bahwa
perang itu haruslah untuk membela keyakinan dan mentaati perintah Allah. mereka
berperang hanya semata-mata mempertahankan tradisi Jahiliyah dan maksud-maksud
duniawiyah lainnya.
[2] Kemungkinan yang rajîh adalah isyarat Al-Dzahabî di atas, berdasarkan pada
riwayat yang dikeluarkan oleh Ibn Abî ‘Âshim sebagai berikut:
حَدَّثَنَا شَيْبَانُ بْنُ
فَرُّوخ ،
وَهُدْبَة بْنُ
خَالِد ،
قَالاَ : ثَنَا
سُلَيْمَانُ بْنُ
الْمُغِيْرَةَ ،
نَا حُمَيْدٌ
بْنُ هِلاَل
، عَنْ
خَالِدٍ بْنِ
عُمَيْر ،
قَالَ : خَطَبَنَا
عُتْبَةُ بْنُ
غَزْوَان رَضِيَ
اللهُ عَنْهُ
، فَحَمِدَ
اللهَ تَعَالَى
، وَأَثْنَى
عَلَيْهِ ،
ثُمَّ قَالَ
: « لَقَدْ رَأَيْتُنِي
سَابِعَ سَبْعَةٍ
مَعَ رَسُوْلِ
اللهِ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ ،
مَا لَنَا
طَعَامٌ إِلاَّ
وَرَقُ الشَّجَرِ
، حَتَّى
خَرَجَتْ أَشْدَاقُنَا،
فَالْتَقَطْتُ بُرْدَةً،
فَشَقَقْتُهَا بَيْنِيْ
وَبَيْنَ سَعْدٍ
بْنِ مَالِكٍ
[الآحاد
والمثاني لابن
أبي عاصم]
281- Telah menceritakan kepada kami
Syaibân bin Farrûkh dan Hudbah bin Khâlid, keduanya
berkata: telah menceritakan
kepada kami Sulaimân bin Al-Mughîrah, ia berkata: telah memberitakan kepada
kami Humaid bin Hilâl, dari Khâlid bin ‘Umair, ia berkata: Telah
menyampaikan khutbah kepada kami ‘Utbah bin Ghazwân – radhiyallâhu ‘anhu-, lalu
ia memuji
Allâh Ta’âlâ dan memuji-Nya, kemudian ia berkata: “Saya telah melihat
diriku sebagai yang ketujuh dari tujuh orang bersama Rasulullâh –shallallâhu
‘alaihi wa sallam-, kami tidak memiliki makanan apapun selain dedaunan pohon,
sehingga ujung bibir kami sampai keluar, lalu aku menemukan selembar kulit,
maka saya belah menjadi dua bagian, sebagian untukku dan sebagian lagi untuk
Sa’ad bin Malik (Abî Waqqâsh)“. [Al-Âhâd
wa Al-Matsânî, karya Ibn Abî ‘Âshim]. Wallâhu a’lam. (Dakwa Tuna)
Posting Komentar