Go Ihsan -Bagi umat Islam sesuatu yang menimpa dan tidak disukai akan
diterima sebagai musibah. Ujian keimanan. Seleksi diri mana emas mana loyang.
Mana yang berkualitas, mana yang mudah digoyang dan gamang.
Ketua Masyarakat Unggul (MAUNG) Institute Bandung, HM Rizal
Fadillah, SH, mengungkapkan hal ini, sehubungan dengan bergabungnya Yusril Ihza
Mahendra yang dikenal juga sebagai Ketum Partai Bulan Bintang (PBB) menjadi
kuasa hukum paslon nomor urut 01, Joko Widodo-Ma’ruf Amin untuk pilpres 2019.
Pengamat politik dan praktisi hukum ini menganggap Yusril
yang biasa menangani kasus, kini jadi ‘kasus’.
“Terlepas motif dan target berefek baik atau buruk, namun
umat banyak yang mengurut dada. Ada rasa sesak. Di tengah hukum yang sedang
menjadi mainan politik, pejuang hukum pun tak luput dari tarikan magnet
‘petugas’ politik. Kata pepatah tak ada makan siang gratis. Apalagi itu ruang
profesi (katanya),” ujar Rizal dalam keterangan pers yang diterima
Salam-Online, Rabu (7/11/2018).
Rizal mengatakan, betapa bahagianya sang pendahulu, Ali
Mochtar Ngabalin dan Kapitra Ampera, menyambut Yusril dengan ‘ahlan wa sahlan’.
Bahkan, lanjut Rizal, petinggi partai pengusung paslon Joko-Ma’ruf menyambut
dan berani ‘menginstruksikan’ Yusril untuk mencabut statusnya sebagai kuasa
hukum Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Dan bola terus menggelinding.
“Jika alasan pindah tempat ini adalah kalkulasi bahwa
Joko-Ma’ruf bakal menang, maka celakalah itu. Berarti politik kelelawar sedang
dijalankan,” kata Rizal.
Ia menggambarkan kelelawar yang berada di tengah perseteruan
binatang buas dengan kelompok burung. Ketika binatang buas sedang menang,
kelelawar berpihak pada binatang buas dengan mengidentifikasi diri sama-sama
bertaring moncong dan berkuku tajam.
Ketika pemenangnya adalah burung, maka kelelawar segera pro
burung. “Lihat saya bersayap dan berkaki dua..!” terang Rizal menggambarkan
tamsil ini.
Rizal melanjutkan, ketika binatang buas dan burung berdamai,
dinistalah ia (kelelawar) oleh keduanya. Sang kelelawar malu dan menyendiri.
Menutup wajah, dan keluar hanya pada malam hari.
“Kita yakin Yusril tidak begitu. Tapi para ‘politisi kelelawar’
tengah berkeliaran di rimba kekuasaan. Melihat-lihat dan meloncat-loncat,”
ungkap alumnus UNPAD ini.
Rizal menggambarkan ‘politisi kelelawar’ menjual ideologi
demi kursi. Martabat diri bisa dibeli-beli. Toh semua dapat menjadi komoditas
pada era serba transaksi.
Indonesia, kata Rizal, di ambang kehancuran, jika politik
disterilkan dari moral dan kesucian. Perjuangan hanya menjadi slogan. Semua
suka berenang di kolam lumpur. Kalau begitu, tak beda dengan dunia prostitusi.
“Memburu nikmat lalu berbayar. Moga tidak begitu, ini negeri
kita sendiri yang dijaga bersama dengan budaya malu dan risih. Kalau juga tetap
begitu, memang rezim Jokowi harus segera diakhiri,” tandasnya. (Salam)
Posting Komentar