Halloween party ideas 2015
Tampilkan postingan dengan label Keluarga. Tampilkan semua postingan

Go Ihsan - KETIKA seorang muslimah memiliki kehendak untuk menikah, maka dia mendambakan seorang ikhwan yang bisa memberi kasih sayang, perhatian, penghargaan, dan kebahagiaan. Setelah yakin bahwa dia akan mendapatkan semua itu dari calon suaminya, dengan langkah pasti dia pun langsung menuju jenjang pernikahan.

Namun, demikian pula dengan suaminya kelak, dia pun menginginkan kebahagiaan dari istrinya. Dan tentunya, kebahagiaan yang didamba pun mesti berdasarkan perspektif syariat. Tak adil rasanya jika Anda banyak menuntut suami untuk menuruti seluruh keinginan Anda, namun Anda mengabaikan keinginannya.



Dalam bukunya Kaifa Tushbihina Zaujatan Romansiyyah, Wafa’ Muhammad menulis bahwa untuk mendapatkan kebahagiaan dalam pernikahannya dengan Anda, ada beberapa hal yang diinginkan suami dari Anda. Dan jika Anda dapat memenuhinya, maka Anda akan mendapatkan cintanya secara utuh, dan kebahagiaan pun mewarnai hidup rumah tangga. Di antaranya adalah:

1. Anda menaati Allah dan Rasul-Nya dalam kondisi sembunyi (as-sirr) dan terang-terangan (al-‘alaniyyah), sehingga Anda menjadi istri shalihah yang merupakan sebaik-baik perhiasan dunia. Abdullah bin ‘Amr bin Al-‘Ash berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Dunia adalah perhiasan dan sebaik-baik perhiasan dunia adalah wanita yang shalihah.” (HR. Muslim)

2. Anda menjaga rahasia dan hartanya ketika dia tidak berada di sisi Anda. Rasulullah juga bersabda, “Tidak ada yang lebih baik di dunia ini bagi seorang muslim setelah menyembah Allah, selain mendapatkan istri yang shalihah, cantik apabila dipandang, patuh apabila diperintah, memenuhi sumpah pernikahan, menjaga dirinya dan kekayaan suami di saat suami pergi, mengasuh anak-anaknya, tidak membiarkan orang lain masuk ke rumah tanpa izin suami, dan tidak menolak apabila suami memanggil ke tempat tidur.” (HR. Bukhari dan Muslim)

3. Sebagaimana dinyatakan hadits di atas, Anda membuatnya senang apabila dia memandang Anda dengan kecantikan jasmani, rohani, dan rasio. Tatkala seorang istri berpenampilan anggun dan cantik, maka daya tariknya semakin kuat dan menambah lengket suami kepadanya.

4. Pun demikian, seperti yang diungkapkan hadits tadi, Anda tidak keluar rumah tanpa izinnya.

5. Anda senantiasa tersenyum kepadanya. Para suami mencintai istri yang penuh senyum dan membenci wanita yang cemberut.

“Senyummu di depan saudaramu adalah sedekah,” begitulah Rasul bersabda suatu saat. Ketika tersenyum kepada saudara sesama muslim adalah sedekah, maka senyuman istri kepada suami pun bernilai pahala.

6. Anda berterimakasih kepada suami Anda. Hal berarti Anda bersyukur kepada Allah atas nikmat pernikahan yang membantunya menjaga kesucian diri, memberinya keturunan, dan menjadikannya seorang ibu yang memiliki segenap tugas mulia.

7. Anda memilih waktu yang tepat dan cara yang sesuai ketika meminta sesuatu yang Anda inginkan dari suami; khawatir kalau suami menolaknya dengan cara halus. Istri perlu memilih kata yang sesuai yang bisa meyakinkan dirinya.

8. Jika Anda keluar rumah, Anda jangan keluar dengan pakaian yang seronok dan mencuri perhatian orang-orang, dan hendaklah menjaga pandangannya. Dalam hal ini Allah berfirman:

“Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putra-putra mereka, atau putra-putra suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara lelaki mereka, atau putra-putra saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita Islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung.” (An-Nur: 31)

9. Anda berbudi luhur, tidak meninggikan suara melebihi suami Anda jika membantah atau mengkritiknya.

10. Anda haru sabar atas kefakiran suami Anda jika dia fakir dan bersyukur atas kekayaan suami jika dia kaya.

11. Anda mendorong suami untuk menyambung silaturahmi dengan orangtua, kerabat, dan teman-temannya. Anda juga harus menampakkan kecintaan dan penghormatan kepada keluarga suami, dan membuat suami merasakan hal itu.

12. Suami juga menginginkan Anda berhiaskan kejujuran dan menghindari kebohongan.

13. Suami pun menghendaki Anda mendidik anak-anaknya mencintai Allah dan Rasul-Nya, mendidik mereka menghormati orangtua dan mematuhi keduanya.

14. Dia menginginkan Anda tidak mudah marah dan emosi.

15. Anda tidak meremehkan dan mengolok-olok dirinya atau orang lain.

16. Anda diharuskan untuk rendah hati, tidak sombong, arogan, dan pongah.

17. Anda melaksanakan ibadah yang diwajibkan Allah dan memantau anak-anak untuk juga melakukannya. Karena Rasulullah menganjurkan, ““Seorang perempuan yang menegakkan shalat lima waktu, berpuasa di bulan Ramadan, dan mematuhi suaminya akan memasuki Surga melalui pintu mana saja dia suka”. (HR. Bukhari dan Muslim)

18. Anda mesti menyadari bahwa hak suami atas diri istri itu besar, lebih besar dari hak istri atas suami. Dengan demikian, wajar jika Rasulullah bersabda, “Seorang perempuan tidak patuh pada suaminya dan dia tidak akan mampu tanpa suaminya”. (HR. Bukhari dan Muslim)

19. Suami Anda menginginkan agar Anda tidak ragu-ragu untuk mengakui kesalahan, bahkan bersegera mengakuinya dan menerangkan alasan yang menyebabkannya melakukan kesalahan tersebut.

20. Hendaklah permintaan Anda kepada suami dalam batas kemampuannya. Dalam artian, Anda tidak membebani suami dan bersikap qana’ah.

21. Anda menaati perintah suami selama tidak menyuruh kemaksiatan kepada Allah dan Rasul-Nya, dan tidak melakukan puasa sunnah kecuali dengan izinnya. Hal ini sebagaimana sabda Nabi, “Tidak ada ketaatan dalam suatu kemaksiatan akan tetapi ketaatan kepada hal yang ma’ruf.” (HR. Bukhari)

22. Anda tidak memperbolehkan seseorang pun untuk masuk ke rumah ketika suami Anda tidak ada, kecuali dengan izinnya, jika bukan mahramnya, karena hal demikian dapat menimbulkan prasangka buruk.

23. Anda tidak menolak jika diajak suami ke atas ranjang. Rasulullah mewanti-wanti, “Demi Dia yang berkuasa pada hidupku, ketika sang suami memanggil istrinya ke tempat tidur dan dia menolaknya, Dia yang di Surga akan murka padanya sampai suaminya senang akan dirinya.” Selain itu, Anda dilarang untuk meninggalkan suami di tempat tidurnya. Nabi bersabda, “Ketika seorang perempuan melalui malam dengan meninggalkan suami di tempat tidur, para malaikat akan mengutuknya sampai pagi hari.”

24. Anda tidak meminta cerai dari suami, karena hal ini terlarang.

25. Hindarilah untuk berpakaian dan bertingkah laki menyerupai pria.

26. Anda tidak menyebarkan rahasia rumah tangga, tidak mengumbar cerita-cerita tentang hubungan intim Anda dengan suami kepada orang lain. Dan terpenting lagi, Anda mengingatkan suami Anda untuk berdoa ketika senggama, jika dia lupa.

27. Anda harus mengetahui benar makanan kesukaan dan kegemaran suami.

28. Anda membuat suami merasa bahwa dia penting bagi Anda. Tatkala suami Anda merasa bahwa Anda membutuhkannya, maka dia akan bertambah dekat dengan Anda. Namun ketika dia merasa bahwa Anda mengesampingkannya, maka dia akan muak dengan Anda.

29. Jika Anda mendapati perilaku suami yang tidak Anda sukai, maka bersabarlah dan memberitahunya secara baik-baik. Dan bisa jadi Anda akan mendapati perilaku lain suami Anda yang lebih baik dan luhur.

30. Suami ingin agar Anda tidak mengungkit kesalahan dan kekeliruannya, tetapi berusaha mengingat kembali kebaikan-kebaikannya dan kenangan-kenangan indah yang telah dilaluinya dan menjadi kenangan tersendiri bagi Anda berdua.

Demikianlah, jika semua ini Anda penuh dan Anda lakukan, maka insya Allah kebahagiaan akan mewarnai suami Anda, dan dia pun tentunya akan membayarnya dengan melimpahkan kasih sayang dan membahagiakan Anda yang menurutnya telah menjadi seorang istri shalihah. Dia merasa bahwa dia tidak pernah merasa rugi untuk menikahi Anda. Dia justru akan berpikir bahwa menikah dengan Anda akan mendukungnya untuk melakukan ketaatan dan memudahkan baginya untuk menekuni ibadah. Ini mengingat, menikah dengan istri shalihah lebih dekat (mudah) untuk mendatangkan kebahagiaan. Semoga! [ganna pryadha/voa-islam.com]

Go Ihsan -
Dalam bahasa Arab ada empat kata yang berhubungan dengan kebahagiaan, yaitu sa`adah (bahagia), falah (beruntung) dan najat (selamat) dan najah (berhasil). Jika saadah (bahagia) mengandung nuansa anugerah Allah setelah terlebih dahulu mengarungi kesulitan, maka falah mengandung arti menemukan apa yang dicari (idrak al bughyah). Falah ada dua macam, dunyawi dan ukhrawi. Falah duniawi adalah memperoleh kebahagiaan yang membuat hidup di dunia terasa nikmat,yakni menemukan

(a) keabadian (terbatas); umur panjang, sehat terus, kebutuhan tercukupi terus dsb,
(b) kekayaan; segala yang dimiliki jauh melebihi dari yang dibutuhkan, dan
(c) kehormatan sosial.


Sedangkan falah ukhrawi terdiri dari empat macam, yaitu 
(a) keabadian tanpa batas, 
(b) kekayaan tanpa ada lagi yang dibutuhkan, 
(c) kehormatan tanpa ada unsur kehinaan dan 
(d) pengetahuan hingga tiada lagi yang tidak diketahui. 

Sedangkan najat merupakan kebahagiaan yang dirasakan karena merasa terbebas dari ancaman yang menakutkan, misalnya ketika ternyata seluruh keluarganya selamat dari gelombang tsunami. Adapun najah adalah perasaan bahagia karena yang diidam-idamkan ternyata terkabul, padahal ia sudah merasa pesimis, misalnya keluarga miskin yang sepuluh anaknya berhasil menjadi sarjana semua.

Kesenangan berdimensi horizontal, sedangkan kebahagiaan berdimensi horizontal dan vertikal. Orang masih bisa menguraikan anatomi kesenangan yang diperolehnya, tetapi ia akan susah mengungkap rincian kebahagiaan yang dirasakannya. Air mata bahagia merupakan wujud ketidakmampuan kata-kata. Prof. Fuad Hasan dalam bukunya Pengalaman Naik Haji mengaku tidak bisa menerangkan kenapa beliau menangis di depan Ka`bah, karena kebahagiaan yang beliau alami berdimensi vertikal, bernuansa anugerah, bukan prestasi. Banyak mempelai menitikkan air mata ketika akad nikah, demikian juga kedua orang tuanya, dan mereka tidak bisa menerangkan anatomi perasaan bahagianya.

Kebahagiaan berkaitan dengan tingkat kesulitan yang dialami. Kebahagiaan sesungguhynya dalam kehidupan keluarga bukan ketika akad nikah, bukan pula ketika bulan madu, tetapi ketika pasangan itu telah membuktikan mampu mengarungi samudera kehidupan hingga ke pantai tujuan, dan di pantai tujuan ia mendapati anak cucu yang sukses dan terhormat. Sungguh  orang sangat menderita ketika di ujung umurnya menyaksikan anak-anak dan cucu-cucunya nya sengsara dan hidup susah, meski perjalanan bahtera rumah tangganya penuh dengan sukses story. Kebahagiaan biasanya datang setelah orang sukses mengatasi kesulitan yang panjang, tetapi tidak semua kesulitan mengantar pada kebahagiaan yang sebenarnya.

Menurut hadis Nabi ada empat pilar kebahagiaan dalam hidup berumah tangga 
(1) isteri/suami yang setia 
(2) anak-anak yang berbakti 
(3) lingkungan sosial yang sehat dan 
(4) rizkinya dekat. 

Kesetiaan membuat hati tenang dan bangga, anak-anak yang berbakti menjadikannya sebagai buah hati, lingkungan sosial yang sehat menghilangkan rasa khawatir dan rizki yang dekat merangsang optimisme, idealisme dan kegigihan.

Wassalam,
By: M. Agus Syafii 

Go Ihsan - Menjadi penghafal Al-Qur’an memiliki keistimewaan dan kebanggaan tersendiri. Betapa tidak, Allah melimpahkan banyak kebaikan dan keutamaan kepada para penghafal Al-Qur’an. Ini mengingat, seorang penghafal Al-Qur’an menjadi sebuah sarana di dunia untuk menjaga kitab suci-Nya.

Allah berfirman, “Sesungguhnya Kami yang menurunkan Al-Quran dan Kamilah yang akan menjaganya” (Qs Al-Hijr 9).

Namun alangkah lebih baiknya jika Al-Qur’an dihafal sejak usia dini. Karena pada masa itu otak mereka masih bersih, sehingga bagai mengukir di atas batu. Al-Qur’an bisa membuat otak anak menjadi lebih cerdas. Selain itu, seorang anak yang menghafal Al-Qur’an bisa menjadi sarana bagi orangtua mendapatkan keutamaan dari Allah. Dan tentunya, orangtua, pendidik, dan pengajar memiliki peran besar dalam mendidik anak agar mau mencintai dan menghafal Al-Qur’an.


Selain menerapkan metode penghafalan Al-Qur’an yang sesuai dengan anak-anak, para orangtua dan pendidik pun harus menyadari berbagai faktor penghambat kecintaan anak terhadap Al-Qur’an. Dalam bukunya Kaifa Nuhabbib Al-Qur’an li Abna`ina, DR. Sa’ad Riyadh menuliskan beberapa penghambat tersebut di antaranya:

1. Ketidaktahuan karakteristik pertumbuhan anak
Ketidaktahuan karakteristik pertumbuhan anak, sehingga guru atau orangtua memperlakukan anak didiknya tanpa mengetahui kondisi yang dihadapi anak. Jelas hal demikian akan memicu terjadinya kesalahan.

2. Miskin metode dan sarana pengajaran
Miskin metode dan sarana pengajaran, atau guru bersikukuh menerapkan metode pengajaran yang menyebabkan kebosanan dalam diri anak. Hal ini menyebabkan anak tidak konsisten dalam mencintai Al-Qur’an.

3. Polusi wawasan dan informasi
Polusi wawasan dan informasi yang ada di sekitar anak dapat menyibukkan hati dan daya ingat anak dengan hal-hal yang diyakininya sebagai suatu kemajuan dan modernitas. Misalnya adalah nyanyian-nyanyian dan tayangan-tayangan sinetron yang tidak mendidik. Semua hal tersebut dapat memalingkan anak dari mencintai dan menghafal Al-Qur’an.

4. Pemahaman dan paradigma guru yang keliru
Pemahaman dan paradigma keliru yang terdapat pada diri guru. Misalnya guru melakukan pemaksaan dalam mengajar, atau memberlakukan pemaksaan dalam mengajar, atau menerapkan hukuman yang keras, atau mengusik harga diri anak ketika memberikan pengarahan dan perintah. Hal-hal tadi menyebabkan anak terhalang dari kecintaan kepada Al-Qur’an.

5. Sahabat yang buruk
Secara umum, sahabat yang buruk juga menjadi faktor penyebab kegagalan anak dan menjadi penyebab negatif hubungan anak dengan Al-Qur’an. Teman yang buruk juga menjadi penyebab utama yang meruntuhkan bangunan pendidikan yang sebelumnya telah dirintis oleh orang tua atau pendidik.

6. Tidak konsisten dalam memberikan perintah dan arahan.
Hal ini akan menyebabkan reaksi negatif pada diri anak serta berpengaruh terhadap hubungan cinta antara anak dan orangtua. Dan pada gilirannya akan menyebabkan hubungan yang tidak baik antara anak dan Al-Qur’an. Contoh dari inkonsistensi pendidikan adalah ketika sang ayah bertindak disiplin dalam mengajarkan Al-Qur’an, sementara si ibu terlalu memanjakan anak, atau sebaliknya. Atau bisa juga pada satu waktu orangtua atau pendidik intens memantau perkembangan anak, namun pada di waktu lainnya mereka sepertinya tidak memberikan perhatian kepada sang anak.

Demikianlah, semoga ke depannya kita bisa lebih mumpuni dalam mendidik anak untuk menghafal Al-Qur’an. Karena salah satu amanah yang harus ditunaikan orangtua adalah menjadikan anak-anak agar mencintai dan dekat dengan Al-Qur’an; memahami serta menghafalnya. Hal ini menjadi investasi besar yang ditanamkan para orangtua untuk kelak mendapatkan keutamaan serta pahala dari Allah SWT. Karena balasan Allah SWT di akhirat tidak hanya bagi para penghafal dan Al-Quran saja, namun cahayanya juga menyentuh kedua orang tuanya, dan ia dapat memberikan sebagian cahaya itu kepadanya dengan berkah Al-Qur’an.

Dari Buraidah dia berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Siapa yang membaca Al-Qur’an, mempelajarinya, dan mengamalkannya, maka dipakaikanlah mahkota dari cahaya pada Hari Kiamat, cahayanya seperti cahaya matahari, kedua orang tuanya dipakaikan dua jubah (kemuliaan), yang tidak pernah didapatkan di dunia. Keduanya bertanya, “Mengapa kami dipakaikan jubah ini?” dijawab: “Karena kalian berdua memerintahkan anak kalian untuk mempelajari Al-Qur’an” (Hadits riwayat Al-Hakim dan dia menilainya shahih berdasarkan syarat Muslim [1/568], dan disetujui oleh Adz-Dzahabi. Hadits ini juga diriwayatkan oleh Ahmad dalam Musnad-nya [21872] dan Ad-Darimi dalam Sunan-nya [3257]).

Kedua orangtua mendapatkan kemuliaan dari Allah, karena keduanya berjasa mengarahkan anaknya untuk menghafal dan mempelajari Al-Quran sejak kecil. Dan dalam hadits di atas juga terdapat dorongan bagi para ayah dan ibu untuk mengarahkan anak-anaknya menghafal Al-Qur’an sejak dini. [ganna pryadha/voa-islam.com]

Go Ihsan - Aku akan pergi berperang, aku punya dua tujuan, membantu pasukan muslimin memenangkan peperangan atau menemui kesyahidan.

Tapi Abu Abdurrahman, kepada siapa engkau menitipkan aku beserta bayi dalam kandunganku? Sementara kamu tidak mempunyai sanak keluarga di kota ini.
Aku titipkan engkau kepada Allah dan Rasul-Nya. Dan ini aku tinggalkan 30.000 dinar untukmu, pakailah sebaik-baiknya untuk keperluan anak kita kelak hingga aku kembali.
Mari kita bayangkan sejenak jika Ummu Rabiah adalah emak-emak millennial, apa yang akan diperbuat dengan uang 30.000 dinar. Pasti tidak jauh-jauh dari membeli kebun kurma, kebun anggur, atau membuka peternakan Unta atau apapun yang bisa menjadi semacam passive income, sehingga tak perlu berlelah-lelah membanting tulang dan dapat sepenuhnya fokus membesarkan anak seorang diri.
ilustrasi
Nyatanya Ummu Rabiah tak seperti itu, dia menginvestasikan seluruh uang tersebut pada sesuatu yang bahkan warga Madinah pada zaman itu (51 H) menggelengkan kepalanya. Bahkan Ummu Rabiah sendiri tidak berani menceritakannya kepada sang suami Farrukh sepulang dari peperangan.
Dikisahkan setelah tiga puluh tahun, Farrukh yang kini berusia enam puluh tahun pun pulang dari peperangan. Ketika rembulan bersinar terang, dia memasuki gerbang kota Madinah, dia pun menyusuri jalanan kota Madinah. Kemajuan pembangunan dan perubahan bangunan-bangunan kota Madinah sedikit membuatnya bingung, terlebih tak ada yang memperhatikan dan mengenalinya, bagi warga Madinah sudah tak asing lagi melihat mujahidin yang pulang pergi untuk berjihad.
Untunglah rumahnya tidak berubah, dia mendapati pintu rumahnya sedikit terbuka. Karena terlalu gembira ia pun masuk tanpa mengetuk pintu dan mengucap salam. Di dalam rumah, terdapat seorang pemuda yang terkejut melihat seorang pria tua membawa pedang memanggul tombak memasuki kediamannya di malam hari.
Perkelahian pun tak terelakkan, keributan itu pun mengundang kerumunan orang. Tentu mereka ingin membanntu tetangga yang sedang “dibobol” rumahnya. Pemuda tersebut pun berhasil mengunci Farrukh dan berjanji akan membawanya ke hadapan hakim.
Aku bukan musuh Allah dan bukan penjahat. Tapi ini rumahku, milikku, kudapati pintunya terbuka lalu aku masuk.
Ujar Farrukh yang terkejut melihat situasi yang menjadi runyam, dia pun berteriak kepada orang-orang yang berkerumun di rumahnya.
Wahai saudara-saudara, dengarkan keteranganku. Rumah ini milikku, kubeli dengan uangku. Wahai kaum, aku adalah Farrukh. Tiadakah seorang tetangga yang masih mengenali Farrukh yang tiga puluh tahun lalu pergi berjihad?
Mendengar keributan di rumahnya, Ummu Rabiah terbangun dari tidurnya lalu menengok dari jendela atas dan melihat suaminya sedang bergulat dengan darah dagingnya. Lidahnya nyaris kelu, dengan sekuat tenaga dia berseru,
Lepaskan…
Lepaskan dia, Rabiah…
Lepaskan dia, putraku,
Dia adalah ayahmu… dia ayahmu…
Saudara-saudara, tinggalkanlah mereka, semoga Allah memberkahi kalian,
Lalu dia menghampiri Farrukh,
Tenanglah, Abu Abdurrahman, dia putramu… dia putramu…
Seketika tangis pecah di antara mereka bertiga, mereka saling berpelukan melepas rindu. Terkhusus Ummu Rabiah yang seringkali mendengar desas-desus bahwa suaminya telah meninggal di peperangan, dia tak mengira bisa bertemu suaminya kembali setelah tiga puluh tahun.
Malam itu Farrukh banyak bercerita kepada istrinya, mengenai pengalamannya di medan perang, mengenai tersebarnya desas-desus kematian dirinya. Namun Ummu Rabiah tak bisa menikmati cerita suaminya, pikirannya dipenuhi kekhawatiran tentang 30.000 dinar.
Seluruh penduduk Madinah tahu bahwa Ummu Rabiah sangat loyal ketika membayar guru-guru putranya. Dia benar-benar mensyukuri nikmat kecerdasan yang dianugerahkan Allah kepada putranya, dia senantiasa mendukung sepenuh hati minat putranya pada berbagai disiplin ilmu. Dia tak pernah berpikir dua kali untuk mengirim putranya kepada guru-guru terbaik, berapapun biayanya. Kini setelah tiga puluh tahun uang pemberian suaminya tak bersisa sepeser pun, bagaimana dia harus menjelaskan sesuatu yang hasilnya tidak kasat mata.
Lamunannya buyar ketika suaminya berseru dengan penuh semangat,
Aku membawa uang 4.000 dinar. Ambillah uang yang aku titipkan kepadamu dahulu. Kita kumpulkan lalu kita belikan kebun atau rumah, kita bisa hidup dari hasil sewanya selama sisa umur kita.
Ummu Rabiah pura-pura menyibukkan diri dengan pekerjaan dan tidak menanggapi, Farrukh pun mengulangi ucapannya,
Cepatlah, mana uang itu? Bawa kemari, kita satukan dengan uang yang kubawa.
Dia menjawab lirih,
Aku letakkan uang tersebut di tempat yang semestinya dan akan kuambil beberapa hari lagi insya Allah…
Suara adzan shubuh memotong perbincangan mereka. Farrukh pun bersiap, hari ini untuk pertama kalinya dia akan mengajak putranya ke masjid. Dalam konsep parenting Islami, berangkat bersama ke masjid dinilai menjadi momen yang peling merekatkan hubungan seorang ayah dengan putranya.
Di mana Rabiah?
Dia telah mendahuluimu, dia berangkat ke masjid ketika adzan pertama, dan sepertinya kamu akan tertinggal jamaah
Benarlah, sesampainya di masjid, Farrukh mendapati imam sudah menyelesaikan shalatnya. Dia pun segera shalat, kemudian menuju ke makam Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, mengucap shalawat atasnya, setelah itu mengambil tempat di Raudhah Muthahharah. Betapa rindunya Farrukh dengan tempat itu, dia pun shalat sunnah di situ kemudian berdoa.
Ketika hendak pulang, dia mendapati ruangan masjid telah penuh dengan orang-orang yang belajar. Mereka duduk melingkari syaikh hingga tak ada lagi tempat kosong. Karena terlalu padat, Farrukh tak bisa melihat wajah syaikh tersebut, namun dia bisa mendengar jelas apa yang disampaikan. Dia kagum dengan segala perkataan syaikh itu, juga pada kedalaman hafalannya, ketajaman ingatan, dan keluasan ilmunya, juga antusias hadirin yang untuk mendengarkannya.
Seusai majelis, Farrukh bertanya kepada orang di sampingnya.
Siapakah syaikh yang baru saja berceramah?
Orang tersebut terkejut mendengar pertanyaan Farrukh.
Apakah anda bukan orang Madinah?!
Saya penduduk Madinah.
Bagaimana mungkin ada orang Madinah yang tidak mengenal syaikh yang memberikan ceramah tadi?
Maaf saya sudah tiga puluh tahun meninggalkan kota ini dan baru kembali malam tadi.
Baiklah, tidak mengapa, akan saya jelaskan. Syaikh yang kita dengar ceramahnya tadi adalah adalah seorang tokoh ulama tabi’in, termasuk di antara ulama yang terpandang, dialah ahli hadis di Madinah, fuqaha, dan imam kami meski usianya masih sangat muda. Tidak tanggung-tanggung, majelisnya dihadiri oleh Malik bin Anas, Abu Hanifah an-Nu’man, Yahya bin Sa’id al-Anshari, Sufyan ats-Tsauri, Abdurrahman bin Amru al-Auza’i, Laits bin Sa’id dan yang lainnya.
Tetapi anda belum menyebutkan namanya kepada saya.
Namanya Rabiah, dia digelari ar-Ra’yi karena pendapatnya selalu bijak dan menentramkan hati. Dia dilahirkan tidak lama setelah ayahnya pergi berjihad, namun tadi sebelum shalat saya mendengar kabar bahwa tadi malam ayahnya telah kembali.
Farrukh tak kuasa membendung air matanya, dia segera berlari menuju rumahnya, banyak rasa yang tersirat dalam setiap tetes air matanya, haru, gembira, bangga, dan terpenting adalah syukur, dia bersyukur bahwa pilihannya untuk menitipkan keluarganya kepada Allah dan Rasul-Nya bukanlah pilihan yang salah.
Sementara di rumah, Ummu Rabiah masih cemas memikirkan jawaban untuk suaminya.
Referensi: Shuwar min Hayati at-Tabiin karya Dr. Abdurrahman Ra’fat Basya
Penulis: Rusydan Abdul Hadi (Kiblat)

Go Ihsan - Masa remaja dikenal sebagai masa peralihan yang membuat anak menjadi labil. Pada usia ini anak sangat rentan dengan kenakalan remaja, tapi sebenarnya orangtua bisa membantu remaja agar tak salah mencari teman.

Teman sebaya sangat berpengaruh pada kehidupan remaja. Seorang teman secara signifikan dapat mempengaruhi performa akademis, kecenderungan untuk mengambil risiko dan menjalankan kehidupan secara keseluruhan. Itu sebabnya, teman yang baik juga bisa membuat remaja tumbuh dengan baik.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa remaja lebih cenderung memiliki teman yang baik bila dibesarkan dalam keluarga yang hangat dan tinggal di lingkungan yang berkualitas, seperti dilansir Physorg.com.

Pemantauan dan pengawasan orangtua juga terkait dengan cara remaja memilih teman, meski hal ini tidak konsisten.Penelitian lain menunjukkan bahwa ada beberapa langkah yang bisa dilakukan orangtua agar anaknya yang tumbuh remaja tidak salah mencari teman, seperti dilansir eckerdacademy.org, yaitu sebagai berikut:


1. Bersifat terbuka dan hangat dengan remaja
Langkah ini sering terjadi sebelum seorang anak memasuki masa remaja, tapi sering terlewatkan justru ketika anak memasuki masa-masa yang labil. Remaja yang menikmati hubungan yang sehat dan terbuka dengan orangtua lebih kecil kemungkinannya untuk terlibat dalam aktivitas nakal dan lebih mungkin untuk berpartisipasi dalam kegiatan ekstrakurikuler seperti klub olahraga.

Hubungan orangtua dan remaja yang baik dapat digambarkan dengan berpartisipasi dalam kegiatan bersama, sering berkomunikasi dan mengungkapkan kasih sayang satu sama lain.

2. Menyediakan waktu untuk mengenal teman anak remaja Anda
Ketika orang tua berusaha untuk menjadi akrab dengan teman-teman anaknya, anak cenderung memilih teman-teman dengan karakteristik lebih pro-sosial, seperti ramah dan bersikap baik.

3. Ajarkan remaja perilaku adaptif
Anak-anak yang orangtuanya menekankan perilaku yang baik dan sopan santun dalam situasi sosial cenderung memilih teman-teman dengan pola perilaku yang sama. Itu karena mereka belajar untuk melihat sifat ini sebagai hal yang positif.

Ajarkan anak-anak untuk mengidentifikasi dan menghargai perilaku positif dalam diri orang lain juga membantu mereka untuk memilih teman dengan pola perilaku lebih yang diinginkan.(sydh/dtc/voa-islam)

Go Ihsan - Anak kecil adalah makhluk yang penuh rasa ingin tahu namun sering kali orang tua merasa sulit untuk menjelaskan padanya tentang sesuatu yang tidak bisa dia lihat. Hal ini sering kali membuat orang tua menjadi kebingungan ketika si kecil bertanya “Allah itu dimana dan seperti apa?”

Sebuah majalah berusaha mengupas masalah ini dengan memuat “kreativitas” orang tua untuk menjelaskan hal ini pada anak-anak mereka. Jawaban yang ada antara lain:
“Allah itu ada di langit, tepatnya langit ke tujuh… dst…”
“Allah ada di mana-mana. Allah ada di hati kita, ada di jantung kita,… dst…”
“Allah ada di arsy sana. Tahukah kalian kalau arsy adalah langit ke tujuh?… dst…”

Maha suci Allah dari persangkaan bahwa Dia bercampur dengan makhluk. Allah dekat dengan kita tapi Allah tinggi dan tidak bercampur dengan makhluk. Allah bersemayam di atas Arsy (Arsy bukan langit ke tujuh!!!), tidak bercampur dengan hati manusia, jantung manusia ataupun dengan langit karena semua itu adalah makhluk. Permasalahan ini telah dijelaskan oleh para ulama. Untuk pembahasan lebih dalam, kita bisa merujuk pada kitab-kitab mereka

Tidak Sekedar Semangat

Sunguh mulia niatan kita untuk mengenalkan Allah subhanahu wata’ala pada anak-anak kita sejak mereka masih kecil. Memang seperti itulah seharusnya sebagai seorang pendidik. Namun demikian tidak cukup dengan sekedar semangat karena jika sekedar semangat, bisa jadi yang kita ajarkan ternyata hanyalah prasangka-prasangka kita, tidak tahu apakah benar atau tidak. Padahal standar kebenaran bukanlah prasangka. Bisa jadi menurut kita benar tetapi ternyata bukan itu kebenaran.

Lalu bagaimana kita tahu benar atau salah?

Jawabannya tentu dengan ilmu karena dengan ilmu maka bisa dibedakan mana yang benar dan mana yang salah, mana yang sunnah dan mana yang bid’ah, mana yang halal dan mana yang haram. Jangan sampai kita menjadi seorang muslim yang salah sangka karena kebodohan kita. Yang benar kita sangka salah, yang salah justru kita sangka benar. Hidayah kita sangka kesesatan dan kesesatan justru kita sangka hidayah.

Tak Cukup Dengan Yang Umum-Umum Saja

Sesunguhnya kebanyakan dari mengetahui namun pengilmuannya secara umum saja. Kita tahu bahwa dosa itu buruk tapi kita tidak tahu apa saja yang termasuk dosa melainkan sekedar menurut persangkaan kita dan anggapan masyarakat. Kita tahu bahwa syirik adalah dosa yang paling besar namun tidak tahu amalan dan keyakinan apa yang termasuk di dalamnya. Kita tahu bahwa Al Quran adalah petunjuk tapi kita tidak tahu perkara apa yang ditunjukkan oleh Al Quran.


Seperti kasus di atas, kita tahu bahwa kita harus mengenalkan Allah pada anak-anak kita tapi kita tidak tahu terhadap apa yang harus kita kenalkan. Maka beginilah hasilnya jika tanpa ilmu, yang kita ajarkan hanyalah bualan-bualan kita dan prasangka-prasangka kita. Bahkan tentang Allah subhanahu wata’ala kita berani ceplas-ceplos berbicara tanpa pijakan. Maka pengetahuan secara umum saja tidak cukup, bahkan nyaris tidak mendatangkan manfaat apa-apa.

Berpayah-Payah Tapi Tak Sampai Tujuan

Sungguh merugi keadaan orang yang bersemangat melakukan kebaikan tapi tidak berbekal dengan ilmu. Seorang ibu hendak mengajarkan pada anaknya tentang kebaikan tapi dia tidak tahu apa itu kebaikan. Dia berpayah-payah menanamkan kebiasaan berdoa sebelum makan. Bahkan dengan telaten dia menuntun dan menemani anaknya berdoa setiap sebelum makan. Akhirnya yang dia ajarkan berhasil. Setiap hendak makan otomatis anaknya berdoa “Allahumma baariklanaa fii maa rozaktanaa wa qinaa ‘adzabannaar”. Si ibu merasa senang karena merasa telah berhasil, padahal jika memang benar Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasalam yang hendak dia contoh maka dia telah tertipu. Yang Rasulullah ajarkan untuk dibaca sebelum makan adalah “bismillah”. Lalu siapa yang hendak dicontoh? Rasulullah atau yang lain?

Berbekal Dengan Ilmu

Tidak terlambat! Maka mulai dari sekarang mari kita bekali diri kita dengan ilmu. Jangan mau menjadi seorang muslim yang salah sangka! Merasa telah berbuat sebaik-baiknya di dunia tapi ternyata amalan kita sia-sia.

Allah subhanahu wata’ala berfirman yang artinya:
“Katakanlah, apakah akan Kami beritahukan kepadamu tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya? Yaitu orang-orang yang telah sia-sia) perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka telah berbuat sebaik-baiknya.” (QS. Al Kahfi: 103-104)

Alhamdulillah sekarang sangat mudah untuk mendapatkan ilmu bagi orang-orang yang mau mencari. Majelis ilmu ada di mana-mana, buku-buku telah banyak yang diterjemahkan, situs-situs Islam sangat mudah untuk diakses. Lalu apa lagi yang menghalangi kita? Semoga kita tidak termasuk orang-orang yang terhalangi dari ilmu karena kemalasan atau karena kesombongan.

Wahai para ibu!
Wahai para calon ibu!
Sungguh mulia niatan kita untuk peduli dengan urusan dien anak-anak kita di saat banyak yang acuh terhadapnya dan merasa cukup dengan dunia. Namun demikian tidak cukup dengan sekedar semangat. Penuhi kantung-kantung perbekalan dengan ilmu! Apa yang mau kita ajarkan pada anak-anak kita kalau kita tidak punya apa-apa? Wallahu a’lam.

Penulis: Ummu Ayyub
Muroja’ah: Ustadz Subhan Lc.
Sumber: www.muslimah.or.id

Go Ihsan - Tak ada rumah tangga yang sepi dari masalah. Tidak ada suami yang tidak pernah marah dan emosi. Meski demikian, seorang istri yang cerdas tahu bagaimana meredam kemarahan suaminya dengan tenang dan penuh kecintaan. Dengan adanya kemarahan, jangan pernah berpikir bahwa ‘sumber’ cinta di antara keduanya telah mengering dan ‘daun-daun’nya telah rontok berguguran.

Kemarahan barangkali merupakan emosi yang paling buruk yang perlu ditangani. Dari waktu ke waktu, siapa pun pernah mengalami perasaan yang kuat ini. Beberapa penyebab umum kemarahan termasuk frustrasi, sakit hati, kejengkelan, kekecewaan, pelecehan, dan ancaman.

Kemarahan suami bukanlah akhir dunia. It’s not the end of the world, but it’s true that is definitely hurt. Menjaga keberlangsungan cinta tergantung pada seberapa besar saling pengertian di antara pasangan suami-istri (pasutri), kepandaian dan kecerdasan sang istri. Kegagalan untuk mengenal dan memahami kemarahan suami berpotensi menggiring Anda ke berbagai problem rumah tangga.


Berikut ini adalah berbagai momen ketika suami marah, dan tips bagaimana seharusnya Anda sebagai istri bertindak:

1. Jika Anda melihat suami Anda marah dan kesal, berusahalah mereda kemarahannya; jangan Anda sambut kemarahannya dengan keluhan mengenai anak-anak atau keruwetan dan keprihatinan rumah tangga. Jangan membantah dengan pertanyaan tentang hal yang tidak mengenakkan kecuali jika dia mengutarakannya. Ingatlah sabda Rasulullah SAW, “Siapa saja istri yang meninggal dunia dalam keadaan suaminya meridhainya, maka dia masuk surga.” (HR. Ibnu Majah).

Setiap kali Anda mengingat hadits tersebut, menyelami dan mempraktikkannya dengan senang dan yakin, Anda akan melihat manfaat yang bakal kembali kepada diri Anda. Pada saat itu Anda akan menikmati rumah tangga bahagia yang jauh dari problematika dan konflik.…Jika Anda melihat suami Anda marah dan kesal, berusahalah mereda kemarahannya. Jangan membantah dengan pertanyaan tentang hal yang tidak mengenakkan…

2. Ketika Anda melakukan kesalahan dalam suatu pekerjaan, semisal terlambat melaksanakan beberapa tugas domestik karena sibuk berbicara di telepon, dan pada saat itu suami sedang bersama Anda, maka panggillah dia dengan nama yang paling disukainya. Lalu ajukan permintaan maaf dan utarakan alasan keterlambatan Anda menjalankan tugas, sehingga dia merasa bahwa Anda menyadari bahwa tindakan tersebut adalah salah. Bersabarlah dengan ungkapan yang mungkin dilontarkannya kepada Anda.
Jika Anda bersabar dan tidak merespons atau mengkritik balik, maka hal demikian telah membuang sebagian kemarahannya. Meminta maaf dapat mendatangkan tawa suami.
Tengoklah bagaimana para istri-istri Rasulullah meminta maaf kepada beliau, meski mereka yang berada dalam posisi marah. Dari Umar bin Khatthab, dia mengatakan,

“Kami kaum Quraisy sangat berkuasa terhadap kaum perempuan (istri-istri). Dan ketika kami datang ke tempat orang-orang Anshar, (kami terkejut) karena mereka adalah kaum yang dikalahkan (toleran) oleh istri-istri mereka, maka mulailah istri-istri kami mengambil (meniru) etika perempuan-perempuan Anshar. Kemudian aku bertengkar dengan istriku kemudian dia kembali (meminta maaf) kepadaku, namun aku tidak ingin dia kembali (minta maaf), maka dia bertanya, “Kenapa engkau tidak senang aku kembali kepada engkau? Demi Allah! Sesungguhnya istri-istri Rasulullah SAW kembali (meminta maaf) kepada beliau sekalipun salah seorang di antara mereka marah terhadap Rasulullah dari siang sampai malam hari.” (HR. Al-Bukhari)

3. Jika suami yang marah sedang berbicara, maka jangan sekali-kali Anda menyela. Redakanlah dengan kata-kata lunak dan santun, misalnya, “Aku tahu kamu lelah sekali, maaf sayang aku merepotkan diri,” atau lain sebagainya. Kata-kata seperti ini akan meluluhkan hatinya. Dia akan merasa bahwa Anda memerhatikan diri dan kecemasannya. Dan jangan pula membantah apa yang dikatakan atau diinstruksikannya –jika memang itu baik.…Jika suami yang marah sedang berdiri, maka ajaklah dia untuk duduk dan berbicaralah kepadanya dengan baik…

4. Jika suami yang marah sedang berdiri, maka ajaklah dia untuk duduk dan berbicaralah kepadanya dengan baik. Dalam Islam kita diajarkan trik-trik mengatasi kemarahan di antaranya adalah jika sedang marah dalam keadaan berdiri maka hendaknya duduk, dan jika sedang duduk hendaknya berbaring, bisa juga dengan mengambil air wudhu agar mendinginkan emosi kita yang sedang bergolak. Atau ajaklah suami untuk bersujud, maksudnya melakukan shalat sunnah. Dalam sebuah hadits dikatakan,

“Ketahuilah, sesungguhnya marah itu bara api dalam hati manusia. Tidaklah engkau melihat merahnya kedua matanya dan tegangnya urat darah di lehernya? Maka barangsiapa yang mendapatkan hal itu, maka hendaklah dia menempelkan pipinya dengan tanah (sujud).” (HR. At-Tirmidzi)

5. Berusahalah menenangkannya dan menahan emosi Anda, jika Anda ada di pihak yang benar. Berbicaralah kepadanya dengan cara bijak.

6. Ketika dia marah, Anda jangan menyinggung perasaannya dengan berbagai hal. Anda jangan pernah melakukan segala sesuatu yang dia anggap melecehkan dirinya.

7. Ketika suami marah, jangan sampai dia Anda tinggal tidur sendirian. Setelah Anda pastikan bahwa dia sudah lebih tenang, berinisiatiflah melakoni hal-hal yang bisa mendatangkan keridhaannya. Inisiatif dilakukan oleh pihak yang lebih baik pemahaman agama dan akalnya di antara kedua pihak bertikai, atau siapa yang paling memungkinkan dalam masalah marah dan ridha dari keduanya. Seperti yang dikatakan Abu Ad-Darda` kepada Ummu Ad-Darda`, istrinya, “Apabila aku marah, maka redakanlah kemarahanku. Dan jika engkau marah, aku pun akan meredakan kemarahanmu. Jika kita tidak melakukannya, maka bagaimana kita dapat hidup rukun?”

8. Coba sisipkan humor karena terbukti efektif meredakan kemarahan.

9. Ingatlah bahwa rumah yang dipenuhi oleh cinta, kenyamanan, sikap saling menghargai, saling menghormati, dan kesederhanaan dalam segala hal, lebih baik dari rumah yang dipenuhi makanan lezat serta perabotan mewah namun penuh dengan kekesalan hati dan permusuhan.

10. Jangan mudah cemberut. Upayakan agar Anda selalu tersenyum ceria dan berwajah riang. Dengan demikian Anda bisa memberikan kebahagiaan kepada suami dan menikmati hidup bahagia penuh kedamaian serta kesenangan.…marah dan emosi adalah tabiat manusia. Kita tidak dilarang marah, namun diperintahkan untuk mengendalikannya…

Demikianlah, marah dan emosi adalah tabiat manusia. Kita tidak dilarang marah, namun diperintahkan untuk mengendalikannya agar tidak sampai menimbulkan efek negatif. Dalam riwayat Abu Sa’id Al-Khudri, Rasulullah bersabda, “Sebaik-baik orang adalah yang tidak mudah marah dan cepat meridhai, sedangkan seburuk-buruk orang adalah yang cepat marah dan lambat meridhai.” (HR. Ahmad).

Semoga tips-tips di atas bisa membantu Anda untuk meredam pasangan hidup Anda, agar dia menjadi orang yang kuat, seperti disinyalir dalam hadits berbunyi, “Orang yang kuat tidaklah yang kuat dalam bergulat, namun mereka yang bisa mengendalikan dirinya ketika marah.” [ganna pryadha/voa-islam.com]

Go Ihsan - 2- Menjadi teladan yang baik bagi anak-anak.
Faktor ini sangat berhubungan erat dengan faktor yang pertama, yang perlu kami jelaskan tersendiri karena pentingnya.

Menampilkan teladan yang baik dalam sikap dan tingkah laku di depan anak didik termasuk metode pendidikan yang paling baik dan utama. Bahkan para ulama menjelaskan bahwa pengaruh yang ditimbulkan dari perbuatan dan tingkah laku yang langsung terlihat terkadang lebih besar dari pada pengaruh ucapan[16].
Hal ini disebabkan jiwa manusia itu lebih mudah mengambil teladan dari contoh yang terlihat di hadapannya, dan menjadikannya lebih semangat dalam beramal serta bersegera dalam kebaikan[17].

Oleh karena itulah, dalam banyak ayat al-Qur’an Allah Ta’ala menceritakan kisah-kisah para Nabi yang terdahulu, serta kuatnya kesabaran dan keteguhan mereka dalam mendakwahkan agama Allah Ta’ala, untuk meneguhkan hati Rasululah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dengan mengambil teladan yang baik dari mereka[18]. Allah Ta’ala berfirman,

{وكلا نقص عليك من أنباء الرسل ما نثبت به فؤادك، وجاءك في هذه الحق وموعظة وذكرى للمؤمنين}

“Dan semua kisah para Rasul Kami ceritakan kepadamu, ialah kisah-kisah yang dengannya Kami teguhkan hatimu; dan dalam surat ini telah datang kepadamu kebenaran serta pengajaran dan peringatan bagi orang-orang yang beriman” (QS Hud:120).


Syaikh Bakr Abu Zaid, ketika menjelaskan pengaruh tingkah laku buruk seorang ibu dalam membentuk kepribadian buruk anaknya, beliau berkata,

“Jika seorang ibu tidak memakai hijab (pakaian yang menutup aurat), tidak menjaga kehormatan dirinya, sering keluar rumah (tanpa ada alasan yang dibenarkan agama), suka berdandan dengan menampakkan (kecantikannya di luar rumah), senang bergaul dengan kaum lelaki yang bukan mahramnya, dan lain sebagainya, maka ini (secara tidak langsung) merupakan pendidikan (yang berupa) praktek (nyata) bagi anaknya, untuk (mengarahkannya kepada) penyimpangan (akhlak) dan memalingkannya dari pendidikan baik yang membuahkan hasil yang terpuji, berupa (kesadaran untuk) memakai hijab (pakaian yang menutup aurat), menjaga kehormatan dan kesucian diri, serta (memiliki) rasa malu, inilah yang dinamakan dengan ‘pengajaran pada fitrah (manusia)’ “[19].

Sehubungan dengan hal ini, imam Ibnul Jauzi membawakan sebuah ucapan seorang ulama salaf yang terkenal, Ibarahim al-Harbi[20]. Dari Muqatil bin Muhammad al-’Ataki, beliau berkata: Aku pernah hadir bersama ayah dan saudaraku menemui Abu Ishak Ibrahim al-Harbi, maka beliau bertanya kepada ayahku: “Mereka ini anak-anakmu?”. Ayahku menjawab: “Iya”. (Maka) beliau berkata (kepada ayahku): “Hati-hatilah! Jangan sampai mereka melihatmu melanggar larangan Allah, sehingga (wibawamu) jatuh di mata mereka”[21].

3- Memilih metode pendidikan yang baik bagi anak
Syaikh Muhammad bin Shaleh al-’Utsaimin berkata, “Yang menentukan (keberhasilan) pembinaan anak, susah atau mudahnya, adalah kemudahan (taufik) dari Allah Ta’ala, dan jika seorang hamba bertakwa kepada Allah serta (berusaha) menempuh metode (pembinaan) yang sesuai dengan syariat Islam, maka Allah akan memudahkan urusannya (dalam mendidik anak), Allah Ta’ala berfirman,

{وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مِنْ أَمْرِهِ يُسْراً}

“Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan menjadikan baginya kemudahan dalam (semua) urusannya” (QS. ath-Thalaaq:4)[22].
Termasuk metode pendidikan yang benar adalah membiasakan anak-anak sejak dini melaksanakan perintah Allah Ta’ala dan menjauhi larangan-Nya, sebelum mereka mencapai usia dewasa, agar mereka terbiasa dalam ketaatan.

Imam Ibnu Hajar al-’Asqalani ketika menjelaskan makna hadits yang shahih ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang Hasan bin ‘Ali memakan kurma sedekah, padahal waktu itu Hasan t masih kecil[23], beliau menyebutkan di antara kandungan hadits ini adalah: bolehnya membawa anak kecil ke mesjid dan mendidik mereka dengan adab yang bermanfaat (bagi mereka), serta melarang mereka melakukan sesuatu yang membahayakan mereka sendiri, (yaitu dengan) melakukan hal-hal yang diharamkan (dalam agama), meskipun anak kecil belum dibebani kewajiban syariat, agar mereka terlatih melakukan kebaikan tersebut[24].

Syaikh Bakr Abu Zaid berkata, “Termasuk (pembinaan) awal yang diharamkan (dalam Islam) adalah memakaikan pada anak-anak kecil pakaian yang menampakkan aurat, karena ini semua menjadikan mereka terbiasa dengan pakaian dan perhiasan tersebut (sampai dewasa), padahal pakaian tersebut menyerupai (pakaian orang-orang kafir), menampakkan aurat dan merusak kehormatan”[25].

Syaikh Muhammad bin Shaleh al-Utsaimin ketika ditanya: apakah diperbolehkan bagi anak kecil, laki-laki maupun perempuan, untuk memakai pakaian pendek yang menampakkan pahanya? Beliau menjawab: “Sudah diketahui bahwa anak kecil yang umurnya dibawah tujuh tahun, tidak ada hukum (larangan menampakkan) bagi auratnya.

Akan tetapi membiasakan anak-anak kecil memakai pakaian yang pendek dan menampakkan aurat (seperti) ini tentu akan membuat mereka mudah (terbiasa) membuka aurat nantinya (setelah dewasa). Bahkan bisa jadi seorang anak (setelah dewasa) tidak malu menampakkan pahanya, karena sejak kecil dia terbiasa menampakkannya dan tidak peduli dengannya… Maka menurut pandanganku anak-anak (harus) dilarang memakai pakaian (seperti) ini, meskipun mereka masih kecil, dan hendaknya mereka memakai pakaian yang sopan dan jauh dari (pakaian) yang dilarang (dalam agama)”[26].

Seorang penyair mengungkapkan makna ini dalam bait syairnya:
Anak kecil itu akan tumbuh dewasa di atas apa yang terbiasa (didapatkannya) dari orang tuanya

Sesungguhnya di atas akarnyalah pohon itu akan tumbuh[27]
Senada dengan syair di atas, ada pepatah arab yang mengatakan:
“Barangsiapa yang ketika muda terbiasa melakukan sesuatu maka ketika tua pun dia akan terus melakukannya”[28].

4- Kesungguhan dan keseriusan dalam mendidik anak
Syaikh Bakr Abu Zaid berkata: “Anak-anak adalah amanah (titipan Allah Ta’ala) kepada kedua orang tua atau orang yang bertanggungjawab atas urusan mereka. Maka syariat (Islam) mewajibkan mereka menunaikan amanah ini dengan mendidik mereka berdasarkan petunjuk (agama) Islam, serta mengajarkan kepada mereka hal-hal yang menjadi kewajiban mereka, dalam urusan agama maupun dunia. Kewajiban yang pertama (diajarkan kepada mereka) adalah: menanamkan ideologi (tentang) iman kepada Allah, para malaikat, kitab-kitab suci, para Rasul, hari akhirat, dan mengimani takdir Allah yang baik dan buruk, juga memperkokoh (pemahaman) tauhid yang murni dalam jiwa mereka, agar menyatu ke dalam relung hati mereka. Kemudian mengajarkan rukun-rukun Islam pada diri mereka, (selalu) menyuruh mereka mendirikan shalat, menjaga kejernihan sifat-sifat bawaan mereka (yang baik), menumbuhkan (pada) watak mereka akhlak yang mulia dan tingkah laku yang baik, serta menjaga mereka dari teman pergaulan dan pengaruh luar yang buruk.

Inilah rambu-rambu pendidikan (Islam) yang diketahui dalam agama ini secara pasti (oleh setiap muslim), yang karena pentingnya sehingga para ulama menulis kitab-kitab khusus (untuk menjelaskannya)…Bahkan (metode) pendidikan (seperti) ini adalah termasuk petunjuk para Nabi dan bimbingan orang-orang yang bertakwa (para ulama salaf)”[29].

Lebih lanjut, syaikh Muhammad bin Shaleh al-Utsaimin menekankan pentingnya masalah ini dalam ucapan beliau: “Anak-anak pada masa awal pertumbuhan mereka, yang selalu bersama mereka adalah seorang ibu, maka jika sang ibu memiliki akhlak dan perhatian yang baik (kepada mereka), (tentu) mereka akan tumbuh dan berkembang (dengan) baik dalam asuhannya, dan ini akan memberikan dampak (positif) yang besar bagi perbaikan masyarakat (muslim).

Oleh karena itu, wajib bagi seorang wanita yang mempunyai anak, untuk memberikan perhatian (besar) kepada anaknya dan kepada (upaya) mendidiknya (dengan pendidikan yang baik). Kalau dia tidak mampu melakukannya seorang diri, maka dia bisa meminta tolong kepada suaminya atau orang yang bertanggung jawab atas urusan anak tersebut…
Dan tidak pantas seorang ibu (bersikap) pasrah dengan kenyataan (buruk yang ada), dengan mengatakan: “Orang lain sudah terbiasa melakukan (kesalahan dalam masalah) ini dan aku tidak bisa merubah (keadaan ini)”.

Karena kalau kita terus menerus pasrah dengan kenyataan (buruk ini), maka nantinya tidak akan ada perbaikan, sebab (dalam) perbaikan mesti ada (upaya) merubah yang buruk dengan cara yang baik, bahkan merubah yang (sudah) baik menjadi lebih baik (lagi), supaya semua keadaan kita (benar-benar) menjadi baik.

Di samping itu, (sikap) pasrah pada kenyataan (buruk yang ada) adalah hal yang tidak diperbolehkan dalam syariat Islam. Oleh karena itulah, ketika Allah mengutus Nabi kepada kaumnya yang berbuat syirik (bangsa Arab jahiliyyah), yang masing-masing mereka menyembah berhala, memutuskan hubungan kekeluargaan, berbuat aniaya dan melampaui batas terhadap orang lain tanpa alasan yang benar, (pada waktu itu)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak lantas (bersikap) pasrah (pada kenyataan yang ada), bahkan Allah sendiri tidak mengizinkan beliau (bersikap) pasrah pada kenyataan (buruk tersebut). Allah memerintahkan kepada beliau:
“Maka sampaikanlah (secara terang-terangan) segala apa yang diperintahkan (kepadamu) dan berpalinglah (jangan pedulikan) orang-orang yang musyrik” (QS al-Hijr:94)”[30].

Penutup

Demikianlah, semoga Allah Ta’ala senantiasa melimpahkan taufik-Nya kepada para wanita muslimah, agar mereka menyadari mulianya tugas dan peran mereka dalam Islam, dan agar mereka senantiasa berpegang teguh dengan petunjuk-Nya dalam mendidik generasi muda Islam dan dalam urusan-urusan kehidupan lainnya.
وصلى الله وسلم وبارك على نبينا محمد وآله وصحبه أجمعين، وآخر دعوانا أن الحمد لله رب العالمين
Kota Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, 8 Syawwal 1430 H
Penulis: Ustadz Abdullah bin Taslim al-Buthoni, MA
Sumber: www.muslim.or.id

[1] Lihat keterangan syaikh Bakr Abu Zaid dalam kitab “Hiraasatul fadhiilah” (hal. 17).
[2] Lihat kitab “al-Mar’ah, baina takriimil Islam wa da’aawat tahriir” (hal. 6).
[3] Misalnya dalam HSR al-Bukhari (no. 3153) dan Muslim (no. 1468).
[4] Dalam HSR Muslim (no. 1218).
[5] Kitab “at-Tanbiihaat ‘ala ahkaamin takhtashshu bil mu’minaat” (hal. 5).
[6] Kitab “Daurul mar-ati fi ishlaahil mujtama’” (hal. 3-4).
[7] Dinukil oleh syaikh Shaleh al-Fauzan dalam kitab “Makaanatul mar-ati fil Islam” (hal. 5).
[8] Dinukil oleh syaikh al-Albani dalam kitab “at-Tawassul, ‘anwaa’uhu wa ahkaamuhu” (hal. 74).
[9] Muqaddimah shahih Muslim (1/12).
[10] Beliau adalah Imam besar dan terkenal dari kalangan Tabi’in ‘senior’ (wafat 110 H), memiliki banyak keutamaan sehingga sebagian dari para ulama menobatkannya sebagai tabi’in yang paling utama, biografi beliau dalam kitab “Tahdziibul kamaal” (6/95) dan “Siyaru a’laamin nubala’” (4/563).
[11] Beliau adalah Abu Bakr Khalid bin Shafwan bin Al Ahtam Al Minqari Al Bashri, seorang yang sangat fasih dalam bahasa Arab, biografi beliau dalam kitab “Siyaru a’laamin nubala’” (6/226).
[12] Beliau adalah Maslamah bin Abdil Malik bin Marwan bin Al Hakam (wafat 120 H), seorang gubernur dari Bani Umayyah, saudara sepupu Umar bin Abdul Aziz dan meriwayatkan hadits darinya, biografi beliau dalam kitab “Tahdziibul kamaal” (27/562) dan “Siyaru a’laamin nubala’” (5/241).
[13] Siyaru a’laamin nubala’ (2/576).
[14] Beliau adalah Muhammad bin Waasi’ bin Jabir bin Al Akhnas Al Azdi Al Bashri (wafat 123 H), seorang Imam dari kalangan Tabi’in ‘junior’ yang taat beribadah dan terpercaya dalam meriwayatkan hadits, Imam Muslim mengeluarkan hadits beliau dalam kitab “Shahih Muslim” . Biografi beliau dalam kitab “Tahdziibul kamaal” (26/576) dan “Siyaru a’laamin nubala’” (6/119).
[15] Kitab “Siyaru a’laamin nubala’” (6/122).
[16] Lihat “al-Mu’in ‘ala tahshili adabil ‘ilmi” (hal. 50) dan “Ma’alim fi thariqi thalabil ‘ilmi” (hal. 124).
[17] Lihat keterangan syaikh Abdurrahman as-Sa’di dalam tafsir beliau (hal. 271).
[18] Lihat “Tafsir Ibnu Katsir” (2/611).
[19] Kitab “Hirasatul fadhiilah” (hal. 127-128).
[20] Beliau adalah Imam besar, penghafal hadits, Syaikhul Islam Ibrahim bin Ishak bin Ibrahim bin Basyir al-Baghdadi al-Harbi (wafat 285 H), biografi beliau dalam “Siyaru a’alamin nubala’” (13/356).
[21] Kitab “Shifatush shafwah” (2/409).
[22] Kutubu wa rasaa-ilu syaikh Muhammad bin Shaleh al-’Utsaimiin (4/14).
[23] HSR al-Bukhari (no. 1420) dan Muslim (no. 1069).
[24] Fathul Baari (3/355).
[25] Kitab “Hiraasatul fadhiilah” (hal. 10).
[26] Kitab “Majmu’atul as-ilah tahummul usratal muslimah (hal. 146).
[27] Kitab “Adabud dunya wad diin” (hal. 334).
[28] Dinukil dan dibenarkan oleh syaikh Muhammad bin Shaleh al-’Utsaimin dalam “Majmu’atul as-ilah tahummul usratal muslimah (hal. 43).
[29] Kitab “Hiraasatul fadhiilah” (hal. 122).
[30] Kitab “Daurul mar-ati fi ishlaahil mujtama’” (hal. 14-15).

Diberdayakan oleh Blogger.