Halloween party ideas 2015

Penulis: Ustadz Abdullah bin Taslim al-Buthoni, MA

Ini semua karena mereka memahami dengan yakin bahwa orang yang paling sempurna imannya adalah orang yang paling banyak mengamalkan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam dirinya. Hal ini disebabkan karena pada masing-masing petunjuk yang diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ada satu bagian dari kebaikan, yang ini berarti semakin banyak seseorang menghimpun kebaikan tersebut dalam dirinya, maka semakin sempurna pula keimanannya[22]. Inilah yang diisyaratkan dalam firman Allah Ta’ala,
{يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اسْتَجِيبُوا لِلَّهِ وَلِلرَّسُولِ إِذَا دَعَاكُمْ لِمَا يُحْيِيكُمْ}

“Hai orang-orang beriman, penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul-Nya yang mengajak kamu kepada suatu yang memberi (kemaslahatan/kebaikan)[23] hidup bagimu” (QS al-Anfaal:24).

Peringatan dan Nasehat Penting

Kalau kita membandingkan sikap para ulama Ahlus sunnah di atas dengan sikap sebagian dari orang-orang muslim zaman sekarang, maka kita akan mendapati perbedaan yang sangat jauh sekali. Karena orang-orang muslim zaman sekarang hanya mau mengikuti sunnah dan petunjuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hal-hal yang wajib saja. Adapun anjuran dan adab-adab beliau lainnya, maka mereka sama sekali tidak semangat meneladaninya.

Bahkan sebagian dari mereka, jika dihimbau untuk melaksanakan satu sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, bukannya berusaha segera mengamalkannya, tapi malah berkelit dengan melontarkan pertanyaan yang menunjukkan keengganannya: “Lihat dulu, apakan sunnah tersebut hukumnya wajib atau hanya sekedar anjuran? Kalau hanya anjuran kan tidak berdosa jika ditinggalkan…”.

Sikap seperti ini jelas sangat bertentangan dengan sikap para ulama Ahlus sunnah dalam masalah ini. Karena dalam semangat mengejar keutamaan dan meraih pahala dari Allah Ta’ala, para ulama Ahlus sunnah tidak membeda-bedakan antara amalan yang wajib dengan amalan yang bersifat anjuran, dan mereka berusaha untuk mengerjakankan semua amalan yang dicintai oleh Allah Ta’ala.

Imam al-Qurthubi berkata, “Barangsiapa yang terus-menerus meninggalkan sunnah-sunnah (rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam) maka ini (menunjukkan) kekurangan (kelemahan/celaan) dalam agamnya. Apalagi kalau dia meninggalkan sunnah-sunnah tersebut karena meremehkan dan tidak menyukainya, maka ini kefasikan (rusaknya iman), karena adanya ancaman dalam sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,

“Barangsiapa yang membenci sunnah/petunjukku maka dia bukan termasuk golonganku“[24]. Dulunya para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan orang-orang yang mengikuti (petunjuk) mereka selalu komitmen melaksanakan sunnah-sunnah (yang bersifat anjuran) seperti komitmen mereka dalam melaksanakan amalan-amalan yang wajib (hukumnya), mereka tidak membeda-bedakan kedua (jenis) amalan tersebut dalam (semangat) meraih pahala (dan keutamaan)nya. Dan (tujuan) para ulama ahli fikih dalam membedakan (kedua jenis amalan tersebut dalam masalah hukum) karena (berhubungan dengan) konsekwensi yang harus dilakukan, berupa wajibnya mengulangi perbuatan tersebut atau tidak, dan wajib atau tidaknya memberikan hukuman (karena) meninggalkannya”[25].

Oleh karena itu, syaikh Muhammad bin Shaleh al-’Utsaimin sangat mengingkari orang yang melakukan perbuatan ini, dalam sebuah nasehat beliau yang sangat berharga[26], bahkan beliau mengatakan bahwa orang yang melakuakan perbuatan tersebut dikhawatirkan terancam masuk dalam golongan orang-orang yang disebutkan oleh Allah Ta’ala dalam firman-Nya,
{وَنُقَلِّبُ أَفْئِدَتَهُمْ وَأَبْصَارَهُمْ كَمَا لَمْ يُؤْمِنُوا بِهِ أَوَّلَ مَرَّةٍ وَنَذَرُهُمْ فِي طُغْيَانِهِمْ يَعْمَهُونَ}
“Dan Kami akan memalingkan hati dan penglihatan mereka sebagaimana awalnya dulu mereka tidak beriman, dan Kami biarkan mereka bergelimang dalam kesesatannya yang sangat” (QS al-An’aam:110).

Mirip dengan kasus di atas, syaikh Muhammad bin Shaleh al-’Utsaimin juga pernah ditanya tentang seorang penuntut ilmu, yang kalau dia ditanya oleh orang awam tentang masalah-masalah ibadah, maka dia hanya menjelaskan hal-hal yang wajib saja dan tidak menjelaskan sunnah-sunnah yang bersifat anjuran, dengan alasan dia tidak ingin memberatkan/membebani mereka.

Maka syaikh al-’Utsaimin berkata, “Orang yang hanya menjelaskan hal-hal yang wajib dalam syariat Islam (tanpa menjelaskan sunnah-sunnah yang bersifat anjuran) adalah termasuk orang yang menyembunyikan ilmu[27], karena wajib bagi penuntut ilmu untuk menjelaskan (kepada masyarakat) hal-hal yang wajib dan hal-hal yang bersifat anjuran, setelah itu dia menjelaskan kepada mereka: ini (hukumnya) wajib dan ini anjuran, barangsiapa yang melaksanakan yang wajib maka itu mencukupinya, dan barangsiapa yang melaksanakan hal-hal yang (bersifat) anjuran maka akan bertambah pahala (keutamaan)nya.

Adapun jika dia (sengaja) tidak menjelaskan sunnah-sunnah yang (bersifat) anjuran karena (alasan) takut memberatkan orang awam (maka ini jelas tidak dibenarkan), karena demi Allah, dia tidak lebih penyayang dari pada Allah kemudian dari pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Padahal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri menjelaskan kepada umatnya hal-hal yang wajib dan sunnah-sunnah yang bersifat anjuran. Maka sampaikanlah nasehatku kepada pemuda tersebut: hendaknya dia bertakwa kepada Allah dan menjelaskan kepada masyarakat (awam) hal-hal yang wajib dan yang bersifat anjuran, sehingga kalau mereka mengamalkan hal-hal yang bersifat anjuran berdasarkan ilmu yang disampaikannya, maka dia akan mendapatkan pahala (yang besar) …”[28].

Penutup

Setelah kita memahami besarnya keutamaan menghidupkan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan semangatnya para ulama Ahlus sunnah dalam mengamalkannya, maka masihkah kita ragu untuk mengambil bagian dari keutamaan dan kemuliaan yang agung ini? Tidakkah kita ingin meraih keutamaan yang lebih besar lagi di akhirat nanti, yaitu dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjadi pemimpin dan imam yang akan membela kita dihadapan Allah Ta’ala ketika kita mengahadap-Nya nanti?

Renungkanlah firman Allah Ta’ala berikut,
{يَوْمَ نَدْعُو كُلَّ أُنَاسٍ بِإِمَامِهِمْ}
“(Ingatlah) suatu hari (yang pada waktu itu) Kami memanggil tiap orang dengan pemimpinnya” (QS al-Israa:71).

Imam Ibnu Katsir berkata, “Salah seorang ulama salaf berkata: “Ayat ini (menunjukkan) kemuliaan yang sangat agung bagi orang-orang yang mencintai hadits (sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam), karena imam (pemimpin) mereka (pada hari kiamat nanti) adalah Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam“[29].
Oleh karena itu, salah seorang ulama Ahlus sunnah, Zakaria bin ‘Adi bin Shalt bin Bistam[30], ketika beliau ditanya, “Alangkah besarnya semangatmu untuk (mempelajari dan mengamalkan) hadits (sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam), (apa sebabnya?)”. Beliau menjawab, “Apakah aku tidak ingin (pada hari kiamat nanti) masuk ke dalam iring-iringan (rombongan) keluarga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam?“[31].

Semoga Allah senantiasa melimpahkan taufik-Nya kepada kita semua untuk selalu berpegang teguh dengan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sampai di akhir hayat kita, amin.

Ya Allah, wafatkanlah kami di atas agama Islam dan di atas sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam[32]
وصلى الله وسلم وبارك على نبينا محمد وآله وصحبه أجمعين، وآخر دعوانا أن الحمد لله رب العالمين
Kota Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, 9 Dzulqa’dah 1430 H

[1] Tafsir Ibnu Katsir (1/477).
[2] Kitab “asy-Syifa bita’riifi huquuqil mushthafa” (2/24).
[3] Lihat kitab “Taujiihun nazhar ila ushuulil atsar” (1/40).
[4] HSR Muslim (no. 746).
[5] Lihat keterangan imam an-Nawawi dalam kitab “Syarh shahih Muslim” (6/26).
[6] Lihat keterangan syaikh Abdurrahman as-Sa’di dalam tafsir beliau (hal. 481).
[7] Tafsir Ibnu Katsir (3/626).
[8] Kitab “Taisiirul Kariimir Rahmaan” (hal. 481).
[9] HR Ibnu Majah (no. 209), pada sanadnya ada kelemahan, akan tetapi hadits ini dikuatkan dengan riwayat-riwayat lain yang semakna, oleh karena itu syaikh al-Albani menshahihkannya dalam kitab “Shahih sunan Ibnu Majah” (no. 173).
[10] Kitab “Sunan Ibnu Majah” (1/75).
[11] Kitab “Manaasikul hajji wal ‘umrah” (hal. 92).
[12] Dinukil oleh imam al-Khatib al-Baghdadi dalam kitab “al-Jaami’ li akhlaaqir raawi” (1/216).
[13] Beliau adalah imam yang sangat terpercaya dalam meriwayatkan hadits Rasulullah r, dari kalangan atba’ut tabi’in (wafat setelah 140 H), lihat kitab “Taqriibut tahdziib” (hal. 381).
[14] Dinukil oleh imam al-Khatib al-Baghdadi dalam kitab “al-Jaami’ li akhlaaqir raawi” (1/219).
[15] Ibid (1/168).
[16] Kitab “Ighatsatul lahfaan min mashaayidisy syaithaan” (1/70).
[17] Beliau adalah imam besar, penghafal hadits, syaikhul Islam Abul Hasan al-Kindi al-Khuraasaani (wafat 242 H), lihat biografi beliau dalam “Siyaru a’laamin nubala’” (12/195).
[18] HR Ibnu Majah (no. 3950) dan lain-lain, hadits sangat lemah, karena dalam sanadnya ada Abu Khalaf Haazim bin ‘Ahta’ al-A’ma, dia adalah seorang perawi yang matruk (ditinggalkan riwayatnya), lihat kitab “Taqriibut tahdziib” (hal. 381). Hadits ini dilemahkan oleh al-’Iraqi, al-Haitsami dan al-Albani.
[19] Sebagaimana yang diisyaratkan dalam firman Allah QS an-Nisaa’:115.
[20] Dinukil oleh imam al-Khatib al-Baghdadi dalam kitab “al-Jaami’ li akhlaaqir raawi” (1/220).
[21] Dinukil oleh imam Ibnul Jauzi dalam kitab “Talbiisu Ibliis” (hal.398).
[22] Lihat keterangan Ibnul Qayyim dalam kitab “al-Fawa-id” (hal. 121- cet. Muassasatu ummil qura’).
[23] Lihat “Tafsir Ibnu Katsir” (4/34).
[24] HSR al-Bukhari (no. 4776) dan Muslim (no. 1401).
[25] Dinukil oleh imam Ibnu Hajar dalam kitab “Fathul Baari” (3/265).
[26] Lihat nasehat tersebut dalam kitab “Washaaya wa taujiihaat li tullaabil ‘ilmi” (1/55-57).
[27] Ini adalah termasuk dosa besar, berdasarkan HR Ibnu Majah (no. 266) dan dinyatakan shahih oleh syaikh al-Albani.
[28] Liqa-aatul baabil maftuuh (1/388-389), pertanyaan no. 525.
[29] Tafsir Ibnu Katsir (3/73).
[30] Beliau adalah imam yang sangat terpercaya dalam meriwayatkan hadits Rasulullah r (wafat 212 H), lihat kitab “Taqriibut tahdziib” (hal. 166).
[31] Dinukil oleh imam Ibnul Qayyim dalam kitab “Miftaahu daaris sa’aadah” (1/74).
[32] Doa yang selalu diucapkan oleh imam Ahmad bin Hambal, dinukil oleh al-Khathib al-Baghdadi dalam kitab “Tarikh Baghdad” (9/349).

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.