Go Ihsan - Hidup tak ubahnya seperti menelusuri
jalan setapak yang becek di tepian sungai nan jernih. Kadang orang tak sadar
kalau lumpur yang melekat di kaki, tangan, badan, dan mungkin kepala bisa
dibersihkan dengan air sungai tersebut. Boleh jadi, kesadaran itu sengaja
ditunda hingga tujuan tercapai.
Tak ada manusia yang bersih dari salah dan dosa. Selalu saja ada debu-debu lalai yang melekat. Sedemikian lembutnya, terlekatnya debu kerap berlarut-larut tanpa terasa. Di luar dugaan, debu sudah berubah menjadi kotoran pekat yang menutup hampir seluruh tubuh.
Tak ada manusia yang bersih dari salah dan dosa. Selalu saja ada debu-debu lalai yang melekat. Sedemikian lembutnya, terlekatnya debu kerap berlarut-larut tanpa terasa. Di luar dugaan, debu sudah berubah menjadi kotoran pekat yang menutup hampir seluruh tubuh.
Itulah keadaan yang
kerap melekat pada diri manusia. Diamnya seorang manusia saja bisa memunculkan
salah dan dosa. Terlebih ketika peran sudah merambah banyak sisi: keluarga,
masyarakat, tempat kerja, organisasi, dan pergaulan sesama teman. Setidaknya, akan
ada gesekan atau kekeliruan yang mungkin teranggap kecil, tapi berdampak besar.
Belum lagi ketika kekeliruan tidak lagi
bersinggungan secara horisontal atau sesama manusia. Melainkan sudah mulai
menyentuh pada kebijakan dan keadilan Allah swt. Kekeliruan jenis ini mungkin
saja tercetus tanpa sadar, terkesan ringan tanpa dosa; padahal punya delik
besar di sisi Allah swt.
Rasulullah saw. pernah menyampaikan
nasihat tersebut melalui Abu Hurairah r.a. “Segeralah melalukan amal saleh.
Akan terjadi fitnah besar bagaikan gelap malam yang sangat gulita. Ketika itu,
seorang beriman di pagi hari, tiba-tiba kafir di sore hari. Beriman di sore
hari, tiba-tiba kafir di pagi hari. Mereka menukar agama karena sedikit
keuntungan dunia.” (HR. Muslim)
Saatnyalah seseorang merenungi diri
untuk senantiasa minta ampunan Allah swt. Menyadari bahwa siapa pun yang
bernama manusia punya kelemahan, kekhilafan. Dan istighfar atau permohonan
ampunan bukan sesuatu yang musiman dan jarang-jarang. Harus terbangun taubat
yang sungguh-sungguh.
Secara bahasa, taubat berarti kembali. Kembali kepada
kebenaran yang dilegalkan Allah swt. dan diajarkan Rasulullah saw. Taubat
merupakan upaya seorang hamba menyesali dan meninggalkan perbuatan dosa yang
pernah dilakukan selama ini.
Rasulullah saw. pernah ditanya seorang sahabat, “Apakah
penyesalan itu taubat?” Rasulullah saw. menjawab, “Ya.” (HR. Ibnu Majah) Amr
bin Ala pernah mengatakan, “Taubat nasuha adalah apabila kamu membenci
perbuatan dosa sebagaimana kamu mencintainya.”
Taubat dari segala kesalahan tidak
membuat seorang manusia terhina di hadapan Tuhannya. Justru, akan menambah
kecintaan dan kedekatan seorang hamba dengan Tuhannya. Karena Allah sangat
mencintai orang-orang yang bertaubat dan mensucikan diri. “Sesungguhnya
Allah menyukai orang-orang yang taubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan
diri.” (QS. Al-Baqarah: 222)
Taubat dalam Islam
tidak mengenal perantara. Pintu taubat selalu terbuka luas tanpa penghalang dan
batas. Allah selalu menbentangkan tangan-Nya bagi hamba-hamba-Nya yang ingin
kembali kepada-Nya. Seperti terungkap dalam hadis riwayat Imam Muslim dari Abu
musa Al-Asy`ari. “Sesungguhnya Allah membentangkan tangan-Nya di siang hari
untuk menerima taubat orang yang berbuat kesalahan pada malam hari sampai
matahari terbit dari barat.”
Karena itu, merugilah orang-orang yang berputus asa dari rahmat Allah dan
membiarkan dirinya terus-menerus melampaui batas. Padahal, pintu taubat selalu
terbuka. Dan sungguh, Allah akan mengampuni dosa-dosa semuanya karena Dialah
yang Maha Pengampun lagi Penyayang.
Orang yang
mengulur-ulur saatnya bertaubat tergolong sebagai Al-Musawwif. Orang
model ini selalu mengatakan, “Besok saya akan taubat.” Ibnu Abas r.a.
meriwayatkan, berkata Nabi saw. “Binasalah orang-orang yang melambat-lambatkan
taubat (musawwifuun).” Dalam surat Al-Hujurat ayat 21, Allah swt.
berfirman, “Dan barangsiapa yang tidak bertaubat, mereka itulah orang-orang
yang zalim.“
Abu Bakar pernah
mendengar ucapan Rasulullah saw., “Iblis berkata, aku hancurkan manusia dengan
dosa-dosa dan dengan bermacam-macam perbuatan durhaka. Sementara mereka
menghancurkan aku dengan Laa ilaaha illaahu dan istighfar.
Tatkala aku mengetahui yang demikian itu aku hancurkan mereka dengan hawa
nafsu, dan mereka mengira dirinya berpetunjuk.”
Namun, taubat seorang hamba Allah tidak
cuma sekadar taubat. Bukan taubat kambuhan yang sangat bergantung pada cuaca
hidup. Pagi taubat, sore maksiat. Sore taubat, pagi maksiat. Sedikit rezeki
langsung taubat. Banyak rezeki kembali maksiat.
Taubat yang selayaknya dilakukan
seorang hamba Allah yang ikhlas adalah dengan taubat yang tidak
setengah-setengah. Benar-benar sebagai taubat nasuha, atau taubat yang
sungguh-sungguh.
Karena itu, ada syarat buat taubat
nasuha. Antara lain, segera meninggalkan dosa dan maksiat, menyesali dengan
penuh kesadaran segala dosa dan maksiat yang telah dilakukan, bertekad untuk
tidak akan mengulangi dosa.
Selain itu, para ulama menambahkan
syarat lain. Selain bersih dari kebiasaan dosa, orang yang bertaubat mesti
mengembalikan hak-hak orang yang pernah dizalimi. Ia juga bersegera menunaikan
semua kewajiban-kewajibannya terhadap Allah swt. Bahkan, membersihkan segala
lemak dan daging yang tumbuh di dalam dirinya dari barang yang haram dengan
senantiasa melakukan ibadah dan mujahadah.
Hanya Alahlah yang tahu, apakah benar
seseorang telah taubat dengan sungguh-sungguh. Manusia hanya bisa melihat dan
merasakan dampak dari orang-orang yang taubat. Benarkah ia sudah meminta maaf,
mengembalikan hak-hak orang yang pernah terzalimi, membangun kehidupan baru
yang Islami, dan hal-hal baik lain. Atau, taubat hanya hiasan bibir yang
terucap tanpa beban.
Hidup memang seperti menelusuri jalan
setapak yang berlumpur dan licin. Segeralah mencuci kaki ketika kotoran mulai
melekat. Agar risiko jatuh berpeluang kecil. Dan berhati-hatilah, karena tak
selamanya jalan mendatar. (DakwaT)
Posting Komentar