Go Ihsan - DALAM sebuah kisah sufi yang terkenal, tersebutlah sebuah
kisah tentang seorang pemuda ahli ibadah dan seorang pecinta dunia. Suatu hari,
si ahli ibadah memasuki hutan yang penuh dengan singa. Melihat kedatangan
pemuda ahli ibadah tadi, singa-singa di hutan itu merasa senang dan
menyambutnya. Sementara itu, si pecinta dunia yang tatkala itu sedang berburu,
baru saja memasuki hutan yang sama. Melihat kedatangan si pecinta dunia dan
rombongannya, singa-singa itu mengaum siap menerkam sehingga membuat mereka
merasa ketakutan.
Si ahli ibadah melihat kejadian itu dan dia berusaha
menenangkan singa-singa tersebut. Maka berkatalah si ahli ibadah kepada si
pecinta dunia dan orang-orangnya setelah menenangkan singa-singa ini, “Kalian
hanya memperbagus dan memperindah penampilan luar saja, maka kalian takut
kepada singa. Adapun kami, kami selalu memperbaiki dan memperbagus batin kami,
sehingga singa pun takut kepada kami.”
Kisah di atas memuat pelajaran penting tentang hati sebagai
pusat kebaikan. Hati adalah ibarat Raja yang punya hak veto dalam memerintah
seluruh anggota jasmani menuju perbuatan baik atau jahat. Untuk merawat dan
memperindah hati agar bercahaya, maka seseorang perlu terus-menerus mempertahankan
dan mengamalkan kebaikan. Hati akan terus bersih, bening dan bercahaya jika
kejahatan terus dihindari, jauh dari debu-debu dengki, riya`, takabbur, dan
cobaan dijalani dengan ikhlas.
Memelihara hati bukanlah tugas yang sulit. Ini merupakan tugas
yang wajib dilakukan setiap Muslim. Andaikata pun sulit atau mudah, itu harus
dilakukan agar hati yang bersih berpendar dengan sinar kebaikan. Hati adalah
wajahnya jiwa. Orang yang jiwanya baik, hatinya akan baik. Cara memperbaiki
jiwa dengan memperbaiki hati.
Hati, dalam pandangan Imam Abdullah Al-Haddad adalah tempat
penglihatan Allah. Sebelum yang lain, Allah melihat hati seseorang terlebih
dahulu. Di sisi berbeda, anggota lahir badan kita menjadi tempat perhatian
sesama makhluk yang acap dipandang dengan pandangan kekaguman.
Dalam sebuah doanya, Rasulullah SAW mengatakan :
“Allahummaj`al Sariiratiy Khairan Min `Alaaniyatiy Waj`al
`Alaaniyatiy Shaalihah.” (Ya Allah, jadikanlah keadaan batinku lebih baik dari
keadaan lahirku dan jadikanlah keadaan lahirku baik). Inilah salah satu doa
yang sering dipanjatkan oleh Nabi kepada Allah. Di dalamnya terkandung
permintaan agar menjadikan suasana hati lebih bagus ketimbang keadaan lahir.
Pertanyaanya, mengapa nabi menitikberatkan pada batin atau
hati? Imam Abdullah menjawab: “Ketika hati baik, maka keadaan lahir akan
mengikuti kebaikan itu pula. Ini merupakan sebuah kepastian.” Keyakinan ini
didasarkan pada peringatan sabda Nabi Muhammad SAW sendiri: “Di dalam jasad ada
sekerat daging jika ia baik maka baiklah seluruh jasadnya dan jika ia rusak
maka rusaklah seluruh jasadnya. Ketahuilah bahwa segumpal daging itu adalah
hati.” (HR. Bukhari-Muslim)
Hati Sebagai Pusat Segalanya
Setiap orang pasti menyukai keindahan. Banyak orang yang
memandang keindahan sebagai sumber pujian. Ribuan kilometer pun akan ditempuh
demi mencari suasana dan pemandangan yang indah. Uang berjuta-juta akan dirogoh
untuk memperindah pakaian. Waktu akan disediakan demi membentuk tubuh yang
indah.
Perhatikan bagaimana Rasulullah SAW yang meski pakaiannya
tidak bertabur bintang penghargaan, tanda jasa dan pangkat, tapi tidak
berkurang kemuliaannya sepanjang waktu. Rasulullah SAW tidak menempuh ribuan
kilo, merogoh harta demi singgasana dari emas yang gemerlap, ataupun memiliki
rumah yang megah dan indah. Akan tetapi, penghargaan terhadap beliau tidak
luntur dan menyusut ditelan masa. Beliau adalah orang yang sangat menjaga mutu
keindahan dan kesucian hatinya. Kunci keindahan yang sesungguhnya adalah ketika
kita mampu merawat serta memperhatikan kecantikan dan keindahan hati. Inilah
pangkal kemuliaan sebenarnya.
Hati adalah penggerak, raja, poros, dan pusat segala ibadah.
Hati yang thuma`ninah (tenang) akan dapat membuat orang ringan bangun malam,
membaca Al-Qur`an, datang ke masjid, dan semua amal shalih lainnya. Hati bisa
mengajak kepada kebaikan sekaligus di saat yang sama bisa mengajak kepada
kejahatan.
Kita melihat tidak sedikit orang yang mempunyai anggapan
bahwa melakukan maksiat tidaklah mengapa asal hati kita baik. Anggapan dan
keyakinan seperti ini jelas merupakan kesalahan besar. Menurut Imam Abdullah,
orang yang berpendirian semacam ini adalah pendusta besar. Lahir dan batin
haruslah berimbang dan sama-sama baik. Seumpama makanan, ia akan diminati orang
jika isi dan bungkusnya baik.
Kebaikan yang dibuat-buat juga harus dihindari. Ada orang
yang berjalan membungkuk, mengenakan tasbih, pakaiannya pakaian orang saleh. Di
balik semua ini, kita melihat dalam batinnya orang seperti ini tertanam cinta
dunia mengakar kuat, keangkuhan, kebanggaan pada diri sendiri, serta kegilaan
pada pujian. Menurut Imam Abdullah, orang semacam ini adalah orang yang
berpaling dari Allah.
Dalam sebuah peristiwa, Sayidina Umar ra. melihat seorang
yang berjalan di hadapannya dengan membungkuk sebagai bentuk ke-tawadhu-an.
Melihat ini, Sayidina Umar berkata, “Takwa itu bukan dengan cara membungkukkan
badanmu. Takwa itu ada di dalam hati.”
Bagaimana jika seseorang tidak mampu memperbaiki batin lebih
dari keadaan lahirnya? Menurut Imam Abdullah Al-Haddad, hendaknya ia menyamakan
kebaikan lahir dan batin meski idealnya meningkatkan kebaikan batin lebih
diutamakan dan disukai.
Orang yang memiliki hati yang bersih, tak pernah absen
bersyukur kepada Allah, Penguasa jagat alam raya ini. Pribadinya menyimpan mutu
dan pesona. Tak mudah jatuh dalam kesombongan dan kepongahan di kala merebut
sesuatu namun tetap istiqamah tunduk pada Allah.
Orang yang mempunyai hati yang baik akan terus bersikap
rendah hati walaupun berpangkat tinggi dan harta melimpah.
Mari bersihkanlah hati ini, beningkanlah dari segala
kotoran, isilah dengan sifat-sifat yang baik agar ia tetap terang benderang,
bersinar dan bercahaya serta selalu cenderung kepada kebaikan dan takwa.*
Ali Akbar Bin Agil
Penulis staf pengajar di Ponpes. Darut Tauhid, Malang- Jawa
timur
Sumber: hidayahtullah
Posting Komentar