Go Ihsan - Sebagian besar penderitaan kehidupan kita akhir-akhir ini
yang jauh dari arahan Al-Quran, bahkan kondisi fisik yang kronis, merupakan
penyakit makna. Penyakit fisik diakibatkan oleh penyakit psikis. Akal yang
sehat terdapat pada badan yang sehat (al-‘Aqlus Salim Fil Jismis Salim). Dan
sebaliknya, badan yang tidak sehat merupakan turunan (derivat) dari pikiran
yang buruk. Penyakit kanker, penyakit jantung, Alzheimer, dan berbagai gangguan
lain yang kemungkinan besar didahului oleh depresi, rasa lelah, alkoholisme,
dan kecanduan obat adalah bukti dari krisis kekosongan makna yang merasuk ke
dalam sel-sel tubuh kita.
Pada akhirnya kematian pun dialami dengan rasa sakit dan
kengerian, akibat miskin makna sebagai bekal mengelola kehidupan ini secara
utuh, alamiah dan normal. Tidak ada jalan untuk mati secara damai, penuh rahmat
dan berkah. Bahkan, baru-baru ini seorang kriminolog Eropa, setelah meneliti
tingkat kriminalitas di Negeri Paman Sam yang sangat tidak masuk akal, dia
menulis buku yang berisi cara mudah mengakhiri kehidupan (bunuh diri).
Setelah membandingkan angka setahun kriminal bangsa Eropa,
sama dengan 10 tahun bangsa Arab, dia sendiri menjatuhkan dirinya dari gedung
pencakar langit. Diterjemahkan ke dalam bahasa Arab dengan judul: Kaifa inha’ul
hayati bisuhulah (bagaimana mengakhiri kehidupan dengan mudah).
Beberapa dokter spesialis dan kaum profesional di bidang
kesehatan telah mulai memandang penyakit dari sudut pandang yang berbeda
(nonmedis). Mereka mempersepsikan penyakit sebagai jeritan tubuh pemiliknya,
agar mendapatkan perhatian khusus dalam kehidupan, yang apabila diabaikan dan
ditinggalkan akan berefek pada kerusakan yang bersifat fatal dan permanen,
ketidakseimbangan pertumbuhan fisik, emosi dan spiritual, bahkan mengakibatkan
kematian yang mengenaskan. Mungkin sikap atau gaya hidup kitalah yang
mengakibatkan timbulnya berbagai masalah dan kerumitan dalam nilai-nilai,
hakikat atau makna kehidupan.
Inilah inti filsafat Victor Frankle, seorang psikiater besar
dari Wina yang hidup pada zaman Freud, seabad yang silam. Ia disekap dalam kamp
konsentrasi Nazi Jerman bersama seluruh keluarganya. Ia disiksa, dibiarkan
kehausan dan kelaparan, disuruh kerja paksa, anak istrinya dibunuh. Tetapi, ia tetap
hidup. Justru karena itulah ia menemukan makna kehidupan. Ia mengelola berbagai
kesulitannya dengan optimisme. Ia pandai memaknai sesuatu di balik peristiwa.
Nazi Jerman boleh mengerangkeng dia, menyiksa habis (tanpa
sisa) seluruh anggota tubuhnya, membunuh semua orang terdekatnya, tetapi mereka
tidak bisa mencengkeram jiwa dan pikiran yang melayang bebas bersama Tuhan yang
dijadikan tumpuhan akhir harapannya. Inilah makna kehidupan yang ditemukan
orang asing Victor Frankle.
Makna hidup bisa bersifat umum dan universal, tapi bisa pula
sangat sederhana dan mudah. Unik, spesifik dan sangat privat bagi kita
masing-masing. Makna hidup adalah tanpa pura-pura dan pamrih. Makna hidup
adalah untuk makna hidup itu sendiri. Dan makna hidup itu ditemukan bukan berbentuk
barang (materi) yang diburu di mall, tempat-tempat wisata. Makna hidup
diperoleh dari cahaya Allah SWT yang menerangi hati hamba yang dicintai-Nya.
Jika kita masuk dalam kategori barisan orang-orang yang
dipandang sukses materi, hidup berkecukupan, pakaian serba wah, kendaraan
mengkilat, ladang yang luas, tempat tinggal yang layak, bahkan berlebih, tetapi
kebingungan mencari makna hidup, cobalah kita melakukan hal yang sederhana dan
mudah. Buatlah program kehidupan Anda bermulti guna bagi orang lain.
Sebaik-baik manusia adalah yang lebih banyak manfaatnya untuk orang lain (HR.
Bukhari dan Muslim). Kehidupan kita berarti jika kita mengedepankan tradisi
berkorban, memberi. Bukan berapa yang bisa saya ambil dari orang lain.
Carilah anak-anak yatim piatu, kaum dhu’afa (grass root) dan
mustadh’afin (tertindas) untuk diasuh di rumah kita. Carikan orang yang terkena
Pemutusan Hubungan Kerja. Buatlah agar komunitas yang termarginalkan oleh
pemodal dan penguasa itu tersenyum bahagia, berkat uluran tangan Anda. Berilah
apa yang berlebih pada diri Anda dan jangan dihitung berapakah pemberian yang
kita keluarkan. Pemberian kita harus di atas standar minimal. Sekalipun banyak
orang tidak mau memberi, biarlah. Kita tetap memberi, karena semua pemberian
itu akan kembali kepada kita (QS. Al Isra (17) : 7).
Allah SWT Yang Maha Pemberi, tidak pernah menghitung
pemberian-Nya. Dengan suka memberi, kita tertantang untuk kreatif, produktif,
dan inovatif. Yang tidak memiliki, tidak memiliki kemampuan untuk memberi
(faqidusy syai’i laa yu’thihi). Setelah sukses satu pekerjaan, angkatlah
pekerjaan baru yang lebih menantang (QS. Al Insyirah (94) : 7).
Makna hidup tidak harus orang lain tahu. Justru makna hidup
yang sejati adalah sepi ing pamrih, rame ing gawe (beramal shalih tanpa hiruk
pikuk). Hanya kita sendiri yang merasakan, memaknai, dan menikmatinya.
Belajarlah makna hidup dari binatang penyu. Sekali bertelur berjumlah 500-3000
buah. Mencari tempat yang sepi dan gelap. Pemiliknya sendiri, tidak
mengetahuinya. Binatang penyu boleh dikata, contoh kongkrit keikhlasan. Orang
yang ikhlas, kata ibunda Amin Rais : Dicokot dadi otot, dijiwit dadi kulit,
syetan ora doyan, dhemit ora ndulit. Orang ikhlas itu memiliki jiwa besar.
Selalu bersikap positif dengan orang-orang yang menjahatinya. Justru dengan
jiwa besar, setan dan makhluk halus lainnya tidak akan mampu menggodanya.
Barangsiapa yang awal kehidupannya tanpa makna, ending-nya
akan sengsara. Sesungguhnya berbagai keluhan, protes, kejenuhan, gundah gulana,
kecemasan, kekhawatiran, ketakutan terhadap sesuatu secara berlebih-lebihan,
disebabkan oleh rusaknya cara pandang dalam melihat dan mencermati makna
kehidupan (innama tatawalladud da’awaa min fasadil ibtida).
Hiduplah dalam keadaan mulia, kehidupan sekali yang berarti,
dengan memberi manfaat kepada orang lain atau jangan sekedar hidup, dan matilah
dengan kesan yang sulit dilupakan bagi yang kita tinggalkan (‘isy kariman au
mut syahidan). Jika dalam kehidupan kita tidak seimbang antara kebutuhan
aktualisasi diri dan potensialisasi diri, akan mengalami kesepian. Dan kesepian
cenderung melakukan tindakan destruktif. Dengan cara hidup mulia dan mati
syahid, kehadiran kita selalu dirindukan dan kematian kita selalu dikenang.
Semoga kita bisa mengambil ‘ibrah dari pelajaran “krisis makna”.
Ahmad Syauqi, sastrawan terkenal dari Mesir mengatakan:
“Jagalah dirimu sebelum kematianmu dengan sebutan baik, sesungguhnya sebutan
baik bagi manusia merupakan umur kedua.”
[Sumber:hidayatullah.com]
Oleh: Shalih Hasyim
Penulis adalah dai, sekarang tinggal di Kudus
Posting Komentar