Go Ihsan - Ilmu adalah kekayaan yang
sangat bernilai. Bahkan, dalam Islam ia didudukkan sebagai satu perkara yang
utama dan amat penting. Siapa ingin meraih keberuntungan dunia, ilmulah yang
dibutuhkan. Demikian pula surga, dengan ilmu pula menujunya. Rasulullah saw
bersabda:
“Barang siapa menginginkan
dunia, hendaklah dengan ilmu.Barang siapa menginginkan akhirat, hendaklah
dengan ilmu. Barangsiapa yang menginginkan keduanya, hendaklah dengan ilmu.”
(Hr. Muslim).
Orang berilmu, di hadapan
Allah swt memiliki kemuliaan tersendiri, memeroleh kedudukan yang tinggi. Allah
swt menyatakan dalam sebuah ayat:
“… niscaya Allah akan
mengangkat (derajat) orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang
diberi ilmu beberapa derajat…” (Al-Mujadalah [58]: 11).
Oleh karena sebegitu
pentingnya ilmu, mencarinya pun bersifat wajib bagi lelaki maupun perempuan
yang beriman. Bahkan tak berbatas umur, sejak lahir hingga akan berpindah ke
alam kubur, ilmu harus terus diburu. Sebagaimana sebuah ungkapan Arab:
“Tuntutlah ilmu mulai dari buaian sampai ke liang lahat!”
Dalam Islam, gerak langkah apa
pun yang dilakukan oleh oleh Muslim ada adab-adabnya. Hal ini agar apa yang
dikerjakan bernilai ibadah, menghadirkan berkah manfaat, serta selamat, tanpa
menginjak jalur yang salah, yang merugikan orang lain, alam, maupun diri
sendiri. Termasuk menuntut ilmu, ada aturan dan adab dalam melakukannya, agar
keberhasilan tercapai optimal, dapat menancap di jiwa, terasa dan memancarkan
cahaya, tak berhenti hanya sebatas pengetahuan yang tak berguna bagi kehidupan.
Para ulama telah menjelaskan
adab-adab menuntut ilmu. Salah satunya adalah Imam al-Ghazali, yang ditulisnya
di dalam karya masterpiece, Ihya Ulumuddin, yang akan kami sampaikan di tulisan
ini.
Adab pertama, menyucikan jiwa
dari akhlaq tercela. Ilmu adalah ibadah hati, shalatnya jiwa. Shalat tidak sah
tanpa suci dari hadas dan najis. Maka mengisi jiwa dengan ilmu tidak sah
sebelum hati dan jiwa disucikan dari noda dan najis. Firman Allah swt: “… Sungguh orang musyrik itu
najis… (at-Taubah [9]: 28)
Satu pelajaran kita dapatkan
di sini, bahwa noda dan najis ada tak hanya dalam hal fisik semata. Seorang
musyrik dikatakan najis walau pakaiannya bersih dan suci. Maksudnya, secara
hakikat ia najis, batinnya bernoda kotoran. Kata ‘najis’ merupakan ungkapan
tentang perkara yang harus dihindari. Hal-hal yang kotor harus dihindari karena
menyebabkan kerugian, kerusakan, kebinasaan.
Adab kedua, mengurangi
ketertarikan dan kesibukan duniawi. Sungguh, hiasan dan hiburan dunia sangat
berpotensi memalingkan manusia dari perkara yang penting. Ia membuyarkan
konsentrasi dalam mendalami ilmu. Firman Allah SWT: “Allah sekali-kali tak
menjadikan bagi seseorang dua buah hati dalam rongganya.” (al-Ahzab [33]: 4).
Buyarnya konsentrasi,
kekhusyukan, menyebabkan si bersangkutan tak dapat mengenali, mencapai,
berbagai hakikat. al-Ghazali mengatakan, “Ilmu tak akan memberimu sebagiannya
sebelum engkau memberikan sepenuh jiwamu. Bila engkau telah memberikan sepenuh
jiwamu namun ilmu tak memberi sebagiannya kepadamu, maka engkau dalam bahaya.”
Dua adab menuntut ilmu di atas
hendaknya menjadi renungan hening bagi kita. Mawas diri sangat kita perlukan
pada saat yang bersamaan. Apabila selama ini kita, keluarga, anak-anak, sudah
berusaha menuntut ilmu dengan keringat dan biaya, namun dirasa belum begitu
tampak manfaatnya dalam kehidupan, belum memberi dampak peningkatan kualitas
kehidupan, keimanan, kedekatan kepada Allah swt, mungkin kita perlu
mengevaluasi kembali, jangan-jangan karena kedua adab di atas belum kita
terapkan.
Di samping dua adab tersebut,
masih ada delapan poin lagi yang insya Allah akan kami rangkaikan pada kuliah
akhlaq edisi berikutnya. Wallahu a’lam. [IB]
Posting Komentar