Go Ihsan - Perkawinan kami telah memasuki usia 13
tahun. Semua berjalan seperti biasa, aku merasa bahagia dengan suami yang penuh
kasih sayang, demokratis dan penuh perhatian, serta sayang kepada ke empat anak
kami yang kian tumbuh besar dan sehat.
Demikian pula aku merasakan sikap suamiku
yang selalu hangat, komunikasi kami sangat baik, terbuka dan saling menghargai.
Segala permasalahan biasa kami bicarakan bersama, Tak ada sumbatan, semua hak
dan kewajiban sebagai suami istri dan tugas kami sebagai orang tua
semua berjalan normal pada relnya, Yach… pendek kata aku merasa kehidupan kami
semua berjalan baik, tak ada komplain dari suami baik soal kebersihan rumah,
masakan, urusan anak, pendidikannya, kebutuhan biologis dan semuanya berjalan
normal.
Sesekali aku mendengar suami memancing
pembicaraan seputar ta’addud. Aku tak menanggapi dengan serius. Karena aku
merasa background keluarga suamiku cukup memberi banyak pelajaran tentang
keluarga yang berantakan akibat suami yang beristri lebih dari satu.
Bibi suamiku cukup menderita ketika
suaminya (paman suamiku) menikah lagi dan menelantarkan anak-anaknya. Sehingga
Ibu mertuaku turut ketiban masalah, mengurus dan merawat keponakan-keponakannya
(sepupu suamiku) yang ditelantarkan oleh pamannya. Akibat hal tersebut suamiku
menjadi trauma dan tidak menerima perbuatan pamannya dan istri mudanya yang
dianggap menjadi biang masalah dalam keluarga bibinya.
Aku yakin suamiku tidak akan berani
mengambil langkah seperti pamannya untuk berta’addud karena melihat sendiri
sepupunya terlantar akibat ulah pamannya.
Sering aku mendengar selentingan berita
miring tentang keluarga tetanggaku yang suaminya ta’addud. Tapi aku menganggap
itu urusan pribadi mereka dan tidak akan berimbas kepada keluargaku.
Namun semuanya berubah ketika suatu hari
aku menerima telepon dari seseorang yang mengaku kakak dari seorang perempuan,
Ia menyampaikan berita yang sungguh mengejutkanku, ia menuduh suamiku telah
mengusik ketenangan keluarganya. Dia menjelek-jelekkan suamiku, menuduh telah
mengganggu adiknya yang masih asyik belajar di bangku kuliah, sehingga sang
adik kehilangan akal sehatnya karena mau dinikahi lelaki tua beristri dan
beranak empat.
Tentu saja aku tidak bisa menerima segala
tuduhan itu. Aku merasa suamiku tak seperti yang dituduhkan lelaki itu. Selama
ini keluarga kami baik-baik saja, suamiku lelaki setia. Namun orang tersebut
terus nyerocos di ujung telepon, dan memaksa aku untuk percaya dengan semua
informasi yang disampaikannya. “Kalau ibu gak percaya… silakan datang ke sini,
suami ibu ada di rumah orang tua saya.”
Bagai langit runtuh… perasaanku campur
aduk tak karuan. Aku merasa dikhianati, benci, marah, kecewa, bingung, sedih,
galau, bercampur jadi satu. Hatiku periiih… bagai diiris-iris sembilu. Apalagi
peristiwa itu sudah terjadi dan berlangsung tiga bulan. Berhari-hari aku
menangis… bingung harus bagaimana, tak tahu harus berbuat apa. Namun walau
begitu akal sehatku masih berfungsi. Bagaimanapun kacaunya pikiran dan
perasaanku, aku tak pernah menunjukkannya kepada anak-anak. Mereka masih
kecil-kecil, belum waktunya mereka merasakan kegetiran dan kegalauan hatiku.
Aku tak menyangka kalau akhirnya suamiku
berani mengambil keputusan dan melangkah sejauh itu, aku berusaha introspeksi
diri, apa yang kurang dalam rumah tangga kami? APA salahku? apa kekuranganku
sehingga hatinya berpaling ke wanita lain…. Ya Robb…. kuatkan aku menerima
cobaan ini.
Ketika akhirnya pengakuan keluar dari
bibir suamiku… hatiku makin hancur, aku ingin berita yang ku dengar adalah BOHONG
BESAR…. aku berharap hanya sekadar fitnah, barangkali salah alamat. Ada
orang lain yang kebetulan namanya sama dengan nama suamiku. Tetapi ternyata
tidak… aku terpaksa dan dipaksa harus menerima kenyataan ini. Pahit… pahit
sekali`. Perih…perih teramat sangat. Aku seperti terperosok ke dalam lorong
gelap tanpa cahaya… bingung….kecewa…marah.
Ya Robb…. mengapa aku harus menerima ujian
ini? apa salah hamba…? apa dosa hamba?Suamiku mengakui bahwa dia terprovokasi
oleh beberapa temannya yang lebih dulu melakukan ta’addud. Mereka mengatakan
bahwa dengan ta’addud hidup lebih bergairah dan lebih tertantang sebagai
lelaki. Rezeki yang dulu pas-pasan setelah ta’addud jadi tambah luas. Entahlah…
suamiku jadi berani mengambil keputusan itu karena dipengaruhi dan dipromotori
oleh teman-temannya.
Tentang perempuan itu, mengapa bersedia
menjadi istri ke dua? Padahal dia masih muda, masih kuliah, masa depannya masih
terbuka luas untuk mendapatkan pasangan hidup yang lebih baik dari suamiku.
Orang tuanya sendiri menentang keras, begitu pula keluarganya. Karena dia
adalah anak perempuan satu-satunya dari dua bersaudara. Dan tentu saja
keluarganya merasa tertimpa musibah/aib dan tercoreng di mata tetangga dan
kerabatnya mengetahui keputusan anaknya untuk menikah dengan lelaki beristri
dan beranak empat.
Entahlah pikiranku bagai benang kusut tak
berujung… mungkin penampilan suamiku mampu menarik hatinya, atau mungkin memang
banyak perempuan yang tak tahan berada dalam penantian menunggu jodoh, sehingga
jalan ini menjadi pilihannya. Ataukah persaingan sesama perempuan di belantara
perjodohan kian berat…? Sehingga dia tak peduli dengan keberatan orang tuanya
dan keluarganya, sehingga begitu cuek dan keras hati menghadapi segala
pertentangan dalam keluarganya.
Aku merasa hari-hariku menjadi gelap.
Muram, tanpa cahaya, tanpa semangat, tanpa gairah. Bumi serasa seperti berhenti
berputar. Kaki seperti tak berpijak. Jiwaku terguncang, terjebak dalam
kenyataan pahit yang mendera. Wajahku kusut, mataku sembab, bibirku kelu, tak
ada senyum mengukir di situ…sedih… deraian air mata menemani hari-hariku.
Dalam kekacauan batin dan kesedihan yang
mendera, alhamdulillah… ada teman yang senasib datang memberi taushiyah,
berusaha membangunkan kesadaranku untuk melepaskan diri dari kesedihan,
menghiburku, memotivasiku, menguatkan hatiku. Dia mengajak dan menemaniku
berkonsultasi kepada para ustadz dan ustadzah. Aku merasa tak berdaya, tanpa
gairah, pikiran kacau, hati galau.
Alhamdulillah… nasihat dan doa para
sahabat, para ustadz dan ustadzah sedikit mengurai duka dan kesedihanku.
Suamiku masih memperlakukanku dengan baik. Bahkan seperti ingin menebus rasa
bersalahnya, Ia lebih memberi perhatian kepadaku. Dia berusaha sekuat tenaga
mengembalikan keceriaanku dan semangat hidupku. Aku sendiri merasa tersiksa
berada dalam situasi seperti ini dan ingin segera mengakhirinya.
Nasihat para ustadz dan ustadzah coba aku
cerna dan kupahami. Bahwa ta’addud adalah sesuatu yang halal dan disyariatkan
Allah. Bahwa Allah menciptakan laki-laki dengan potensi yang lebih dari
perempuan. Bahwa Allah menciptakan perempuan lebih banyak dari laki-laki. Bahwa
suamiku melangkah dalam jalur yang halal dan bersih bukan jalan haram/maksiat
dan kotor yang melanggar agama. Bahwa wanita lain yang dinikahinya dari
keluarga baik-baik, keturunan orang baik, memiliki pemahaman agama yang baik, ikut
tarbiyah, menutup aurat, sehingga jika Allah kehendaki pernikahan mereka
mendapat keturunan, maka keturunan itu dari bibit yang baik.
Semua coba ku cerna satu persatu. Aku
mencoba memaafkan suamiku, dan istrinya yang telah mengusik kebahagiaanku.
Aku berusaha menerima bahwa ini bukan sesuatu yang salah. Bahwa ini
adalah bagian dari ujian kehidupan. Bahwa ini adalah takdir Allah yang harus
kujalani. Bahwa aku harus mencoba memahami dan menjalani peran seperti yang
dialami oleh para ummahatul mukminiin, para istri baginda Nabi yang harus rela
berbagi suami. Bahwa Allah telah memilihku menjalani takdir ini.
Aku berusaha keras menata hati, mengurai
masalah, merubah cara pandang tentang hidup berkeluarga dalam tuntunan Islam.
Bahwa peristiwa Ini sudah terjadi… tak mungkin aku surut ke belakang. Jika aku
ingin menuntut cerai dari suamiku… apa alasanku? Aku tak sanggup hidup
sebagai single parent. Anak-anakku tak boleh jadi korban sikap egoisku. Suami
tetap memperlakukan aku dengan baik, aku dan anak-anak terpenuhi hak-haknya.
Karena pada dasarnya suamiku memang menyayangi kami semua.
Jika aku menuntut suamiku menceraikan
“madu”ku, dengan alasan apa dia harus diceraikan? Dia menikah secara sah, dia
sudah menerima mahar dan sudah menyerahkan “dirinya” kepada suamiku. Aku
khawatir… Aku akan menjadi wanita yang menzhalimi sesama perempuan, karena dia
pasti akan sangat menderita jika harus hidup dengan menyandang status janda,
dan bagaimana dengan anak buah perkawinan mereka? Haruskah anak tanpa dosa
menanggung derita akibat perbuatan orang tuanya? .
Yach…aku tak ingin terus berada dalam
tekanan jiwa yang menghimpit. Aku harus mengakhiri semuanya. Tak ada yang bisa
mengatasi persoalan ini kecuali diriku sendiri. Aku harus berjuang melepaskan
diri dari kesedihan. Aku harus bisa menerima kenyataan, harus bisa keluar dari
kungkungan rasa kecewa yang menghimpit dada. Harus…. dan harus membebaskan
diriku dari penderitaan ini. Tak ada orang yang bisa menolongku kecuali aku
berusaha keras menolong diriku sendiri.
Ya Allah… bantulah hamba melepaskan segala
beban batin ini…. bantulah aku menjadi hamba yang ikhlas…. Yaa Robb… hamba
ridha dengan semua takdir-Mu… asalkan Engkau ridha kepada hamba… Ya Robb…
kembalikan kebahagiaan hamba bersama keluarga. Kembalikan keceriaan dan
semangat hidup hamba…. Bukalah hati hamba untuk berbagi kepada “dia”… Jadikan
kami keluarga yang hidup rukun… berilah hamba ketabahan dan kesabaran
menjalaninya… Sujud dan doaku di setiap penghujung malam memohon kekuatan dari
yang Maha Kuat.
Aku mulai terhibur ketika mengetahui bahwa
aku hamil. Yach… kehamilan ini benar-benar memotivasiku dan menghiburku. Aku
mulai melupakan kesedihanku dan sibuk dengan perkembangan janinku. Setidaknya
aku bisa mencuri perhatian suamiku agar dia menyadari akan kehadiran “benihnya”
yang ditanam di rahimku, salah satu “ladangnya”. Karena aku dengar “ladangnya
yang lain” juga sedang menyemai benihnya. Kehamilan ini mengalihkan pikiranku
yang kusut secara perlahan mulai terurai.
Waktu terus berjalan… perlahan kedamaian
mulai mengisi relung hatiku, aku mulai bisa menerima kehadirannya. Aku mulai
terbiasa dengan “pergiliran waktu” yang diatur suamiku. Aku berusaha menjalin
komunikasi dengan “maduku”. Aku mencoba menghilangkan beban hatiku dengan
seringnya aku memberi hadiah kepadanya. Awalnya berat aku melakukannya. Tapi
harus ku coba dan terus ku coba.
Alhamdulillah… beban itu makin terasa
ringan…. hatiku makin terasa lapang. Akhirnya jiwaku penasaran dan siap
menerima kehadirannya. Ku minta suamiku membawa “maduku” ke rumah,
memperkenalkannya kepada kami sebagai bagian dari keluarganya.
Anak-anakku ku perkenalkan dengan “ibu dan
adik” barunya. Alhamdulillah… mereka dapat menerimanya set aku memperlihatkan
keikhlasanku… keikhlasan yang tulus… tanpa dibuat-buat. Yach… semua bisa
menjadi indah asal kita melibatkan Allah dalam setiap kehidupan kita.
Sikap dan perilaku suamiku yang tetap mengutamakan diriku sebagai istri pertama
yang berjuang dalam pahit getir di awal kehidupan berumah tangga, menjadi kunci
utama segala penerimaan ini.
Kekecewaan yang menghimpit berubah menjadi
kelapangan yang damai. Kegundahan dan kegalauan menjadi ketenangan dan
kenyamanan. Senyumku kembali merekah… wajahku kembali cerah… semangat dan
gairah hidupku kembali membuncah.
Yach.. Nyaman dalam kerukunan hidup saling
berbagi. Hingga anak “maduku” pun merasa nyaman tinggal bersama kami. Ketika
mencari sekolah yang terbaik untuk mendidiknya, kami putuskan dia sekolah di
SDIT bersama “saudara-saudara tirinya” nya. Karena jarak tempuh sekolah itu
sangat jauh dari rumah ibu kandungnya, dan sebaliknya hanya dibutuhkan beberapa
langkah dari rumahku, akhirnya anak “suamiku/ yang juga anak tiriku” tinggal
dan hidup bersama ku dalam asuhanku. Hanya sepekan sekali setiap hari Sabtu
Ahad dia pulang ke rumah “ibu”nya karena ibu dan neneknya kangen kepadanya.
Sekarang “maduku” beranak dua, dia sering berkunjung ke rumahku, rumah
suaminya.
Keikhlasanku tumbuh berkat kedekatanku
kepada Allah dan kerjasama yang baik dari suamiku. Dia begitu memahami
kegalauan hatiku dan berusaha keras menghiburku dan mengurai kesedihanku.
Pesanku kepada para suami istri yang
bernasib sama seperti aku, cobalah menata kembali hubungan komunikasi dalam
keluarga, perbaiki dan penuhi hak-hak pasangan agar terjadi kerjasama yang baik
dalam menjalani biduk rumah tangga.
Kepada para suami Utamakan istri “pertama”
karena bersamanya dimulai perjuangan di awal rumah tangga bersabar dalam pahit
getir kehidupan. Banyak pengorbanan yang telah diberikan oleh istri pertama.
Karena Islam sangat memuliakan perempuan. Arrijaalu qowwamuna alannisaa’ jangan
salah diartikan sebagai legitimasi bahwa istri harus taat tanpa reserve dan
tanpa hak berpendapat untuk menyuarakan hatinya. Sebaliknya ayat itu harus
dipahami bahwa tanggung jawab para suami untuk mengayomi, mendidik dan
mengapresiasi istri, sehingga segala potensi istri dapat berkembang optimal
tentu tanpa meninggalkan peran utamanya dalam rumah tangga.
Istri yang bahagia akan berdampak luas dan
besar dalam kehidupan rumah tangga. Semua penghuni rumah, terutama anak-anak
akan sangat berpengaruh perkembangan jiwa raganya jika diasuh oleh ibu yang
bahagia. Selalu menyertakan Allah dalam setiap langkah kita. Semoga anak yang
lahir dalam keluarga besar ini tumbuh dalam suasana kedamaian dan ketenteraman.
Sertakan Allah dalam setiap langkah kita
agar setiap masalah yang timbul, bisa dicarikan solusi sesuai syariah. Sehingga
tidak menimbulkan petaka dan kerusakan dalam keluarga seperti “broken home”,
kenakalan remaja, kecanduan narkoba yang merusak jiwa raga anak. Sehingga
terhindar dari perceraian yang menimbulkan luka mendalam di hati anak-anak.
Ciptakan rasa damai dan nyaman di dalam rumah, agar anak-anak tumbuh dan
berkembang dalam suasana batin yang hangat dan mesra, semoga lahir generasi
baru yang lebih baik.
Posting Komentar