Go Ihsan - أَحَسِبَ
النَّاسُ أَنْ يُتْرَكُوا أَنْ
يَقُولُوا آمَنَّا وَهُمْ لا يُفْتَنُونَ
Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja)
mengatakan: “Kami telah beriman”, sedang mereka tidak diuji lagi?
(QS.Al-Ankabut:2)
Sebuah ayat yang tentu sudah masyhur di antara kaum
muslimin. Ayat ini masyhur karena berkenaan dengan keniscayaan sebagai orang
yang telah mengikrarkan keimanan maka pasti akan memperoleh ujian atas
keputusannya.
Di dalam Tafsir Al-Qurtubi, Ibnu Abbas menyebutkan bahwa
ayat ini turun ketika kaum muslimin Makkah yang masih sedikit dan lemah
mendapatkan intimidasi dari kafir Quraisy. Penyiksaan, ancaman bahkan sampai
tertumpahnya darah dan hilangnya nyawa menjadi konsekuensi atas keimanan para
sahabat Rasulullah yang mulia. Pun dalam tafsir Jalalain juga disebutkan bahwa
ayat ini diturunkan berkenaan dengan orang-orang yang masuk Islam, kemudian
mereka disiksa oleh orang-orang musyrik.
Namun, ayat ini turun tidak hanya berlaku untuk mereka.
Sebab, kata an-nâsmemberikan makna umum yang berarti meliputi seluruh manusia.
Ayat ini juga memberitakan bahwa ujian keimanan merupakan sunnatullah dan
berlaku di setiap masa.
Fenomena Hijrah
Telah dijelaskan bahwa ayat tentang ujian setelah beriman
berlaku untuk siapa saja yang telah mengikrarkan keimanan. Disebutkan pula di
dalam tafsir Ibnu Katsir bahwa ujian yang diberikan itu sesuai dengan kadar
keimanan pelakunya. Nabi saw bersabda:
يَا رَسُولَ اللَّهِ أَىُّ النَّاسِ أَشَدُّ
بَلاَءً قَالَ « الأَنْبِيَاءُ ثُمَّ الأَمْثَلُ فَالأَمْثَلُ
فَيُبْتَلَى الرَّجُلُ عَلَى حَسَبِ دِينِهِ
فَإِنْ كَانَ دِينُهُ صُلْبًا
اشْتَدَّ بَلاَؤُهُ
Manusia yang paling berat cobaannya adalah para nabi,
kemudian orang-orang shalih, kemudian berikutnya dan berikutnya. Seseorang
dicoba sesuai dengan (kadar) agamanya. Ketika dia tetap tegar, maka
ditingkatkan cobaannya (HR al-Tirmidzi).
Jadi, bisa dipastikan saat ini kita menjalani ujian keimanan
masing-masing yang berbeda kadarnya sesuai dengan tingkatan keimanan. Dewasa
ini, fenomena hijrahnya seorang yang dulunya jauh dari Islam dan kembali ke
jalan yang lurus ibarat bunga yang mekar di musim semi. Kita temui di media
sosial dan kehidupan nyata banyaknya orang-orang yang telah sadar akan
hakikatnya kehidupan.
Awal kehidupannya yang dulunya bergelimang dunia ternyata
tidak memberikan kepuasan batin dan justru malah semakin haus dan dahaga. Dunia
memang tidak akan ada habisnya jika selalu dikejar dan akan melalaikan manusia
dari kehidupan sebenarnya di akhirat sana. Hidayah Allah pun tiba, hatinya
terketuk untuk kembali pada-Nya dan duduk bersimpuh di hadapan Sang Pencipta.
Fenomena yang menggembirakan jika kita
melihat saudara-saudara kita seiman kembali tersadar akan pentingnya hidup
beragama.
Begitu pula di kalangan aktivis, dulunya yang jauh dari nilai-nilai
agama dalam bertingkah laku berubah drastis menjadi pejuang di dalam dakwah dan
jihad. Perubahan yang sangat menggembirakan dan melegakan hati kaum muslimin.
Namun, perlu diingat bahwa hijrahnya seeorang kembali pada
jalan Allah juga akan diikuti rentetan ujian yang bermacam-macam bentuknya
sesuai dengan kadar keimanan. Siklus inilah yang perlu diwaspadai agar
seseorang tetap istiqomah di dalam hijrahnya menuju jalan Allah yang haq.
Ketika Ujian Keimanan Tiba
Terkadang seseorang mencari jalan lain di kehidupannya
karena adanya rasa jenuh yang memenuhi diri. Harta dan dunia yang ia kira mampu
memberikan segalanya ternyata hampa dan akan ditinggal ketika nyawa telah
terpisah dari raga. Maka, pada saat itulah hidayah datang dan menuntunnya pada
kenikmatan iman.
Akan tetapi, sekali lagi ujian itu akan datang bertubi-tubi.
Tidak sedikit yang bergelimpangan tatkala cobaan itu datang. Ketika niatnya
hijrah dari kejahiliyahan menuju cahaya Islam hanya karena lari dari kebosanan,
tak heran jika ia kembali berbalik ke kehidupan awal. Atau karena kurangnya
rasa tawakal pada Allah,maka iming-iming dunia akan membabat habis keimanan di
hatinya.
Banyak orang yang tidak siap dengan ujian keimanan ini. Ia
mengira ketika ia telah kembali di jalan Allah, maka kehidupan akan berjalan
begitu saja. Atau kehidupannya akan tetiba makmur dan bergelimang harta. Rasa
nyaman, rasa tenang dan rasa bahagia dalam hidup itu akan didapat seorang
muslim jika ia telah mampu mengalahkan ujian-ujian yang datang dan berharap
pada janji Allah yang nyata. Rasa harap dan mengharap keridhaan-Nya inilah yang
akan membuat hatinya tenang walau kehidupannya bertambah sempit, dicerca,
diusir setelah ia berniat hijrah dari kejahiliyahan. Orang yang berpandangan
salah dalam hal ini, silakan bersiap-siap menjadikan proses hijrah hanya
menjadi batu loncatan semata.
Bagi seorang aktivis dakwah, poin ini memegang peranan
penting dalam keberlangsungan aktivitasnya dalam perjuangan. Tidak semua
aktivis menemukan jalan hijrahnya sedari kecil dan terdidik secara formal.
Berangkat dari background kehidupan yang bermacam-macam menuju satu tujuan,
yaitu mengharap keridhaan Allah dalam dakwah dan jihad.
Ujian pun akan menimpa para aktivis ini. Justru akan lebih
berat karena mereka adalah orang-orang yang bersinggungan dengan dakwah secara
langsung. Godaan dunia akan lebih menerjang lebih dahsyat di saat kemiskinan
menimpa dan kebutuhan hidup terus bertambah. Ujian kedudukan juga akan
menghadang ketika hidup bercampur dengan masyarakat yang majemuk. Tentu hal ini
harus segera disadari agar para aktivis mampu menghadapinya hingga pertolongan
Allah datang menghampiri.
Satu hal yang tak kalah penting adalah soal hijrahnya
seorang aktivis yang kurang totalitas atau kaafah. Memang secara zahir ia
tampak sebagai seorang aktivis, tetapi rasa bosan yang rasakan ketika
meninggalkan kemaksiatan berubah menjadi rasa penasaran. Mulailah ia
bernostalgia dengan kemaksiatan yang telah lampau, beranggapan itu hanyalah
selingan dan tidak akan mengubah keimanannya secara signifikan, berbeda dengan
aktivis yang diuji dengan cobaan yang berat dan terlihat oleh kasat mata
perubahannya.
Kembalinya rasa penasaran akan masa lalu itu terjadi karena
kurangnya tazkiyatun nafs dalam hatinya. Imbasnya cukup besar jika hal seperti
ini diteruskan dan tidak sadar bahwa itu perbuatan yang salah karena dianggap
hanya selingan. Perbuatan maksiat walaupun sekecil apapun akan berdampak pada
seorang muslim apalagi aktivis. Bisa jadi, proses perjalanan dakwah sering
buntu karena adanya kasus seperti ini. Proses hijrah yang belum totalitas
sehingga masih sering mencuri-curi kesempatan untuk menengok kejahilayahan.
Naudzubillah min dzalik.
Maka dari itu, bagi para pejuang di jalan dakwah, hal ini
patut menjadi bagian dari kehidupan yang perlu diberi perhatian khusus. Mungkin
bagi khalayak ramai sudah terbiasa melihat di layar kaca orang-orang yang bolak
balik hijrah. Namun, bagi seorang aktivis ini adalah prinsip dasar yang harus
dipegang teguh. Ketika telah berazam hidup di jalan perjuangan, haruslah tetap
konsekuen dengan pilihan hingga Allah memanggil. Hijrah yang totalitas, hijrah
yang kaafah hanya mengharap balasan dari-Nya semata. Wallahu a’lam bi shawab.
Penulis: Dhani El_Ashim
Sumber: Kiblat
Posting Komentar