Go Ihsan - Siapa tak kenal aktivitas yang satu ini?
Dari anak kecil hingga lanjut usia, baik laki-laki maupun wanita pasti
mengenalnya. Tidak dapat dipungkiri bahwa banyak orang tergila-gila belanja
atau shopping hingga mereka rela menghabiskan waktu berjam-jam lamanya di mall,
supermarket, swalayan atau bahkan pasar. Belanja memang merupakan kebutuhan
yang mengharuskan wanita untuk keluar dari rumahnya.
Islam tidak melarang wanita untuk keluar
dari rumahnya karena pada asalnya keluar rumah adalah dibolehkan sebagaimana
suatu kaidah, “Hukum sarana yang mubah itu tergantung tujuannya.” Begitu pula,
keluar untuk berbelanja, baik ke pasar maupun ke pusat-pusat perbelanjaan
lainnya merupakan suatu hal yang terkadang sulit untuk dihindari. Namun kaidah
ini hanya berlaku apabila keluar rumah menjadi suatu kebutuhan yang mendesak
atau sangat penting. Tentu saja tanpa melupakan hal-hal penting yang harus
dipenuhi ketika seorang muslimah keluar dari rumahnya, seperti menutup aurat,
tidak berhias (tabaruj), tidak campur baur laki-laki dan perempuan, dll.
Jika kita ingat pelajaran ekonomi, kita
akan banyak bertemu dengan kata pasar. Istilah pasar didefinisikan sebagai
tempat bertemunya penjual dan pembeli dalam rangka melakukan transaksi jual
beli. Tentu saja kita mengetahui bahwa ketika ada aktivitas jual beli, maka di
sana terdapat akad atau perjanjian antara si penjual dengan pembeli yang
dinamakan ijab dan qabul. Lalu apa hubungannya akad ini dengan belanja? Tentu
saja ada hubungannya. Akad inilah yang akan menentukan sah atau tidaknya jual
beli yang kita lakukan.
Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashr As-Sa’di
dalam kitab beliau Manhajus Salikiin (Bab Kitab Jual-Beli hal. 139) menyebutkan
bahwa asal dari hukum jual beli adalah halal. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
yang artinya, “Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan
riba.” (Qs. Al-Baqarah: 275)
Jual beli adalah sesuatu yang dihalalkan
oleh Allah apabila terpenuhi syarat-syaratnya, yaitu:
1. Keridhaan kedua belah pihak yaitu
penjual dan pembeli
2. Barang yang diperjualbelikan dapat
diserahterimakan
3. Pelaku jual beli adalah orang yang
memenuhi syarat, yaitu baligh dan melakukannya dengan sadar atau tidak gila.
4. Tidak mengandung unsur riba
5. Tidak memperjualbelikan sesuatu yang
haram secara syar’i
Hati-hati, Ada Setan!
Kita dapat menyaksikan segala kejelekan di
pasar dengan penglihatan dan pendengaran kita. Begitu kita masuk pasar, maka
ucapan-ucapan kasar bahkan umpatan penjual yang dagangannya tidak jadi dibeli
akan mampir di telinga kita. Sepanjang perjalanan kita akan mengetahui ada saja
orang yang menipu demi mendapatkan keuntungan. Pembeli akan berkata, “Tadi saya
membeli di penjual A dengan harga empat ribu, kok di sini enam ribu!” padahal
penjual A tidak menjual dagangannya dengan harga empat ribu tapi tujuh ribu
rupiah dan si pembeli ini tidak pernah menawar dagangan si A.
Tidak hanya pembeli yang ingin ambil
untung, penjual pun tak kalah taktik. “Tapi mangga saya kan besar-besar dan
dijamin manis! Boleh dicobain kok!” Padahal semua mangganya karbitan dan ketika
si pembeli mencicipi mangganya dipilihkan sampel yang manis dan tidak mewakili
dagangannya. Akhirnya sampai di rumah pembeli merasa tertipu dan dirugikan.
Intinya, mereka benar-benar berusaha menerapkan prinsip ekonomi “Meraih
keuntungan sebesar-besarnya dengan modal yang sekecil-kecilnya”. Mereka tak
peduli lagi meski aktivitas yang semula halal berubah menjadi haram akibat
menabrak rambu-rambu syari’at. Padahal Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
yang artinya, “ Kecelakaan besarlah bagi orang-orang yang curang, (yaitu)
orang-orang yang apabila menerima takaran dari orang lain mereka minta
dipenuhi.” (Qs. Muthaffifin: 1-2)
“Itu kan di pasar,” mungkin ini pernyataan
sebagian orang. Tapi, siapa bilang di mall, di supermarket atau toko kecil
sekalipun setan tidak akan mengambil peran? Ketika kita berjalan-jalan di mall
atau supermarket, tak jarang kita melihat wanita-wanita muda berdandan cantik
dan dengan PD-nya berlenggang mengenakan busana yang serba “irit”. Pemandangan ini
saja sudah cukup mengganggu kita sebagai wanita, apalagi bagi laki-laki! Sering
dalam hati terbetik, sungguh kasihan saudari-saudari kita ini yang tanpa sadar
telah sukarela mempersilahkan laki-laki melihat kecantikan mereka dan
menjadikan mereka sebagai obyek. Mungkin ada yang berdalih, “Ah, itu kan
tergantung orangnya!” Namun yang jelas, hati laki-laki mana yang tidak akan
tergoda?? Padahal Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, yang artinya, “
Hai Nabi, Katakanlah kepada
isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin:
“Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka”. yang demikian
itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu.
dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Qs. Al-Ahzab: 59)
Bersambung...bagian dua
Posting Komentar