Halloween party ideas 2015

Go Ihsan - Siapa tak kenal aktivitas yang satu ini? Dari anak kecil hingga lanjut usia, baik laki-laki maupun wanita pasti mengenalnya. Tidak dapat dipungkiri bahwa banyak orang tergila-gila belanja atau shopping hingga mereka rela menghabiskan waktu berjam-jam lamanya di mall, supermarket, swalayan atau bahkan pasar. Belanja memang merupakan kebutuhan yang mengharuskan wanita untuk keluar dari rumahnya.

Islam tidak melarang wanita untuk keluar dari rumahnya karena pada asalnya keluar rumah adalah dibolehkan sebagaimana suatu kaidah, “Hukum sarana yang mubah itu tergantung tujuannya.” Begitu pula, keluar untuk berbelanja, baik ke pasar maupun ke pusat-pusat perbelanjaan lainnya merupakan suatu hal yang terkadang sulit untuk dihindari. Namun kaidah ini hanya berlaku apabila keluar rumah menjadi suatu kebutuhan yang mendesak atau sangat penting. Tentu saja tanpa melupakan hal-hal penting yang harus dipenuhi ketika seorang muslimah keluar dari rumahnya, seperti menutup aurat, tidak berhias (tabaruj), tidak campur baur laki-laki dan perempuan, dll.


Jika kita ingat pelajaran ekonomi, kita akan banyak bertemu dengan kata pasar. Istilah pasar didefinisikan sebagai tempat bertemunya penjual dan pembeli dalam rangka melakukan transaksi jual beli. Tentu saja kita mengetahui bahwa ketika ada aktivitas jual beli, maka di sana terdapat akad atau perjanjian antara si penjual dengan pembeli yang dinamakan ijab dan qabul. Lalu apa hubungannya akad ini dengan belanja? Tentu saja ada hubungannya. Akad inilah yang akan menentukan sah atau tidaknya jual beli yang kita lakukan.

Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashr As-Sa’di dalam kitab beliau Manhajus Salikiin (Bab Kitab Jual-Beli hal. 139) menyebutkan bahwa asal dari hukum jual beli adalah halal. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, yang artinya, “Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” (Qs. Al-Baqarah: 275)

Jual beli adalah sesuatu yang dihalalkan oleh Allah apabila terpenuhi syarat-syaratnya, yaitu:
1. Keridhaan kedua belah pihak yaitu penjual dan pembeli
2. Barang yang diperjualbelikan dapat diserahterimakan
3. Pelaku jual beli adalah orang yang memenuhi syarat, yaitu baligh dan melakukannya dengan sadar atau tidak gila.
4. Tidak mengandung unsur riba
5. Tidak memperjualbelikan sesuatu yang haram secara syar’i

Hati-hati, Ada Setan!
Kita dapat menyaksikan segala kejelekan di pasar dengan penglihatan dan pendengaran kita. Begitu kita masuk pasar, maka ucapan-ucapan kasar bahkan umpatan penjual yang dagangannya tidak jadi dibeli akan mampir di telinga kita. Sepanjang perjalanan kita akan mengetahui ada saja orang yang menipu demi mendapatkan keuntungan. Pembeli akan berkata, “Tadi saya membeli di penjual A dengan harga empat ribu, kok di sini enam ribu!” padahal penjual A tidak menjual dagangannya dengan harga empat ribu tapi tujuh ribu rupiah dan si pembeli ini tidak pernah menawar dagangan si A.

Tidak hanya pembeli yang ingin ambil untung, penjual pun tak kalah taktik. “Tapi mangga saya kan besar-besar dan dijamin manis! Boleh dicobain kok!” Padahal semua mangganya karbitan dan ketika si pembeli mencicipi mangganya dipilihkan sampel yang manis dan tidak mewakili dagangannya. Akhirnya sampai di rumah pembeli merasa tertipu dan dirugikan. Intinya, mereka benar-benar berusaha menerapkan prinsip ekonomi “Meraih keuntungan sebesar-besarnya dengan modal yang sekecil-kecilnya”. Mereka tak peduli lagi meski aktivitas yang semula halal berubah menjadi haram akibat menabrak rambu-rambu syari’at. Padahal Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, yang artinya, “ Kecelakaan besarlah bagi orang-orang yang curang, (yaitu) orang-orang yang apabila menerima takaran dari orang lain mereka minta dipenuhi.” (Qs. Muthaffifin: 1-2)

“Itu kan di pasar,” mungkin ini pernyataan sebagian orang. Tapi, siapa bilang di mall, di supermarket atau toko kecil sekalipun setan tidak akan mengambil peran? Ketika kita berjalan-jalan di mall atau supermarket, tak jarang kita melihat wanita-wanita muda berdandan cantik dan dengan PD-nya berlenggang mengenakan busana yang serba “irit”. Pemandangan ini saja sudah cukup mengganggu kita sebagai wanita, apalagi bagi laki-laki! Sering dalam hati terbetik, sungguh kasihan saudari-saudari kita ini yang tanpa sadar telah sukarela mempersilahkan laki-laki melihat kecantikan mereka dan menjadikan mereka sebagai obyek. Mungkin ada yang berdalih, “Ah, itu kan tergantung orangnya!” Namun yang jelas, hati laki-laki mana yang tidak akan tergoda?? Padahal Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, yang artinya, “

Hai Nabi, Katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin: “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka”. yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu. dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Qs. Al-Ahzab: 59)

Bersambung...bagian dua

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.