Go Ihsan - Jumhur ulama
berpendapat bahwa perbedaan niat imam dan makmum tidak masalah dalam salat
jamaah. Orang yang shalat fardhu boleh mengikuti orang yang shalat nafilah,
orang yang shalat nafilah boleh mengikuti orang yang shalat fardhu, dan orang
yang shalat fardhu boleh mengikuti orang yang juga shalat fardhu dengan niat
berbeda. Dengan demikian dalam kajian ini setidaknya ada tiga bentuk perbedaan
niat.
Bentuk
pertama, misalkan seseorang masuk masjid sementara imam sedang shalat Tarawih.
Ia boleh shalat Isya’ dua rakaat bersama imam, setelah imam salam, ia berdiri
meneruskan dua rakaat sisanya. Demikian pendapat Imam Syafi’i dan
rekan-rekannya, juga salah satu pendapat yang diriwayatkan dari Imam Ahmad,
dipilih Ibnu Qudamah dan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Semoga Allah merahmati
mereka semuanya. (Al- Majmû’, IV/269, Al-Mughni, III/67, Majmû’ Fatâwâ Ibnu
Taimiyah, XXIIII/386)
Pendapat ini
didasarkan pada riwayat Jabir radhiyallahu ‘anha, bahwa sahabat Mu’adz
radhiyallahu ‘anha shalat Isya’ bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam, kemudian ia kembali ke kaumnya lalu mengimami mereka shalat yang
sama. (HR. Bukhari-Muslim)
Dalil lain,
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam shalat bersama kelompok kedua dalam
shalat khauf dan shalat yang kedua ini nafilah bagi beliau. Beliau shalat
dengan kelompok pertama lalu salam, dan shalat lagi bersama kelompok kedua lalu
salam juga. (HR. Abu Dawud, IV/126, An-Nasa`I, III/178 dan disahihkan Albani
dalam Shahîh Abu Dawud, I/232)
Terkait
hadist, Sesungguhnya imam itu dijadikan untuk diikuti, maka jangan
menyalahinya” (HR. Bukhari Muslim) Maka hadits ini tidak menunjukkan bahwa
perbedaan niat dalam shalat tidak boleh, karena maksud perbedaan dalam hadits
ini adalah perbedaan gerakan-gerakan lahir. Seperti itulah yang ditafsirkan
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam lanjutan hadits yang sama. Dengan
asumsi hadits ini berlaku secara umum untuk perbedaan niat dan gerakan-gerakan
lahir, toh dikhususkan dengan hadits lain, seperti hadits Jabir di atas
sehingga tidak ada kontradiksi antara dalil umum dan dalil khusus.
Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah menuturkan, “Mereka yang melarang perbedaan niat antara
imam dan makmum, tidak memiliki hujjah kuat. Mereka hanya bersandar pada lafal
yang sama sekali tidak memperkuat inti masalah yang diperdebatkan, seperti
sabda Nabi SAW, ‘Sesungguhnya imam itu dijadikan untuk diikuti, maka jangan
menyalahinya,’ atau sabda, ‘Imam itu menjamin’ sehingga shalat imam tidak lebih
sempurna daripada shalatnya makmum. Kedua hadits ini sama sekali tidak menolak
hujjah-hujjah perbedaan niat imam dengan makmum yang telah disebut sebelumnya.
Dan perbedaan yang dimaksud dalam hadits ini adalah perbedaan gerakan-gerakan
lahir, seperti dijelaskan dalam lanjutan hadits yang sama’,”
Kemudian
Ibnu Taimiyah juga menjelaskan, “Shalat nafilah di belakang orang yang shalat
fardhu disebutkan dalam sejumlah hadits, begitu juga sebaliknya. Dengan
demikian, diketahui bahwa kesamaan niat dalam shalat fardhu ataupun nafilah
dengan niat imam tidak wajib. Imam tetap menjamin shalatnya makmum, meski si
imam shalat nafilah.” (Majmû’ Fatâwâ Ibnu Taimiyah (XXIII/385-386)
As-Sindi
mengomentari hadits tentang shalat khauf sebelumnya, “Hadits ini mengharuskan
orang yang shalat fardhu mengikuti orang yang shalat nafilah secara pasti. Saya
tidak mengetahui mereka—yang mengharuskan kesamaan niat antara imam dan
makmum—memiliki jawaban memuaskan.” (Hâsyiyat As-Sindi, III/178)
Bentuk
kedua, orang shalat nafilah mengikuti orang shalat fardhu. Misalkan seseorang
masuk masjid dan mendapati jamaah tengah shalat, sementara ia sudah mengerjakan
shalat tersebut. Maka tidak mengapa ia ikut shalat bersama jamaah, dan shalat
tersebut terhitung nafilah (Sunnah) baginya. (Al-Mughni, III/68)
Bentuk
ketiga, orang shalat fardhu mengikuti orang yang juga shalat fardhu. Misalkan
seseorang masuk masjid dan ia belum shalat Zhuhur, sementara imam saat itu
shalat Ashar. Saat itu ia shalat mengikuti imam dengan niat shalat Zhuhur,
kemudian setelah itu baru shalat Ashar, karena tertib dalam shalat hukumnya
wajib, dan tidak gugur meski dikhawatirkan ketinggalan shalat berjamaah.
(Fatâwâ Syaikh Bin Baz, XII/182, 191)
Juga boleh
shalat Zhuhur, Ashar, Maghrib atau Isya’ di belakang orang yang shalat Shubuh,
dengan syarat gerakan-gerakan kedua shalat yang dilakukan tidak berbeda,
berdasarkan hadits “Janganlah kalian menyalahi (gerakan)nya (imam).” Dengan
demikian, tidak boleh shalat Zhuhur di belakang orang yang shalat kusuf
misalnya. (Al-Mughni, III/69)
Ini adalah
pendapat fuqaha Syafi’iyah, salah satu pendapat yang diriwayatkan dari Imam
Ahmad, dan dipilih Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berdasarkan hadits Mu’adz.
Hadits ini menunjukkan bahwa perbedaan niat imam dan makmum tidak berpengaruh.
Seperti itu juga dengan permasalahan yang tengah dibahas di sini. Perbedaan
niat shalat fardhu dengan shalat fardhu lain tidak berpengaruh. Wallahu ‘alam
bisshawab!
Fakhruddin
Sumber: Buku
“Ensiklopedi Shalat” Abu Abdirrahman Adil Bin Sa’ad, Penerbit:
Ummul Qura,
Jakarta
Posting Komentar