Oleh: Badrul Tamam
Alhamdulillah, segala puji bagi Allah. Shalawat dan salam semoga terlimpah untuk Rasulullah, keluarga, dan para sahabatnya.
Saat khutbah Jum’at disampaikan, bagi jamaah shalat Jum’at wajib diam mendengarkannya dengan seksama. Barangsiapa berbicara sendiri yang memalingkan dari memperhatikan khutbah maka sia-sialah shalat Jum’at yang dikerjakannya.
Diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallaahu 'anhu, Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam bersabda,
إِذَا قُلْتَ لِصَاحِبِكَ أَنْصِتْ وَالْإِمَامُ يَخْطُبُ يَوْمَ الْجُمُعَةِ فَقَدْ لَغَوْتَ
“Apabila engkau berkata kepada saudaramu pada hari Jum’at, ‘diamlah!’ sementara imam sedang berkhutbah, maka sungguh engkau telah berbuat sia-sia.” (HR. Bukhari dan Muslim serta yang lainnya)
Al-Hafidh Ibnu Hajar dalam Fathul Baari berkata, "Dalam hadits ini, Nabi shallallahu 'alaihi wasallam telah menetapkan bahwa memerintahkan diam saat khutbah adalah bentuk lahwun (perbuatan sia-sia), walaupun bentuknya perintah yang ma'ruf dan melarang dari yang munkar. Hadits ini juga menunjukkan bahwa setiap perkataan yang mengganggu dari mendengarkan khutbah, hukumnya lahwun. Dan bila ingin memerintahkan diam orang yang bicara, dengan isyarat."
Beliau menambahkan, “Hadits di atas dijadikan dalil larangan terhadap seluruh macam perkataan pada saat khutbah, dan demikian itu pendapat mayoritas ulama terhadap orang yang mendengarkan khutbah.”
Diriwayatkan dari Abu Darda’ radhiyallaahu 'anhu berkata, “Suatu hari Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam duduk di atas mimbar, lalu beliau berkhutbah di hadapan manusia dan membaca sebuah ayat. Di sampingku ada Ubay. Aku bertanya kepadanya, “Wahai Ubay, kapan ayat ini diturunkan?” Dia tidak mau berbicara kepadaku. Lalu aku bertanya lagi kepadanya, tapi dia tetap tidak mau berbicara kepadaku.
Ketika Rasulullah shallallaahu 'alaihi wasallam sudah turun barulah Ubay berkata kepadanya, “Engkau tidak mendapatkan dari Jum’atanmu kecuali kesia-siaan.” Maka ketika Rasulullah shallallaahu 'alaihi wasallam bertolak, aku (Abu Darda’) mendatanginya, lalu aku beritahukan perihal tadi. Kemudian Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam bersabda, “Ubay benar, Apabila engkau mendengar imammu berkhutbah, diamlah engkau sehingga dia selesai.” (HR. Ibnu Majah dan Ahmad dalam al-Musnad no. 21627 dan 21184 yang oleh muhaqqiqnya Al-Zain dinyatakan isnadnya shahih)
Ibnu Abdilbarr rahimahullaah berkata, “Tidak ada perbedaan pendapat di antara fuqaha’ negeri tentang wajibnya diam memperhatikan khutbah bagi orang yang mendengarnya,” (Al-Istidzkar: 5/43). Tetapi setelah itu disebutkan adanya perbedaan pendapat di kalangan sebagian mutaakhirin, namun itu tidak dianggap sebagai perbedaan yang diakui karena menyelisihi nash-nash yang sharih. Sebagaimana yang disebutkan dalam madzhab Syafi’iyah, Inshat (diam mendengarkan khutbah) adalah mustahab dan tidak wajib. Imam Nawawi dalam Al-Majmu’: 4/523 menyebutkan, dalam hukum inshat ini terdapat dua pendapat yang masyhur. Namun yang shahih dalam madzhab ini, bahwa inshat ini mustahab (dianjurkan), tidak wajib. (Al-Majmu’: 4/523)
Terdapat satu riwayat Ahmad dalam al-Mughni (3/194), tidak diharamkan berbicara.
Sedangkan jumhur ulama berpendapat, diharamkan berbicara saat khutbah disampaikan. Dan inshat ketika itu adalah wajib. Sementara madhab Hanafi berpendapat, berbicara saat khutbah makruh tahrim walaupun itu berupa amar ma’ruf, bertasbih, atau yang lainnya. (Al-Bahr al-Raaiq: 2/168)
Dalam kitab al-Mudawwanah disebutkan, “Apabila imam berkhtubah, maka saat itu juga wajib memutus pembicaraan, menghadap kepadanya, dan diam mendengarkannya.” (Mawahib al-Jalil: 2/530)
Kapan Larangan Berbicara Ini Berlaku?
Sesungguhnya larangan berbicara di sini berlaku pada saat khutbah saja. Karenanya sebelum khutbah dimulai dibolehkan berbicara walaupun imam sudah duduk di atas mimbar. Begitu juga ketika imam sudah mengakhiri khutbahnya, dibolehkan berbicara sebelum shalat dimulai.
Imam Malik meriwayatkan dalam al-Muwatha’, dari Tsa’labah al-Quradzi, mereka pada zaman Umar bin Khathab shalat pada hari Jum’at sehingga Umar keluar. Maka apabila Umar sudah keluar dan duduk di atas mimbar, lalu muadzin mengumandangkan adzan, kami duduk berbincang-bincang. Lalu apabila muadzin diam dan Umar berdiri menyampaikan khutbah, kami semua diam dan tidak seorangpun dari kami yang berbicara.
Ibnu Syihab berkata, “Keluarnya imam memutus shalat, sementara perkataannya memutus perkataan (jama’ah).” (Tanwir al-Hawalik, hal. 125)
Inilah madzhab ‘Atha, Thawus, Bakr al-Muzani, al-Nakha’i, al-Syafi’i, Ishaq, Ya’kub, Muhammad dan juga diriwayatkan dari Ibnu Umar.
Sedangkan berbicara di antara dua khutbah, terdapat dia pendapat. Di dalam al-Mughni disebutkan, al-Hasan al-Bashri membolehkannya. Sementara Malik, al-Syafi’i, al-Auza’i dan Ishaq melarangnya. (Al-Mughni, Ibnu Qudamah: 2/200)
Siapa Yang Dibolehkan Berbicara
Ada beberapa kondisi yang dibolehkan berbicara saat imam menyampaikan khutbahnya. Yaitu:
1. Bagi orang yang tidak mendengar khutbahnya imam karena jauhnya jarak atau tuli atau sebab lainnya, dia boleh menyibukkan diri berdzikir dan berdoa, tanpa mengganggu yang lainnya. diriwayatkan oleh Abdurrazaq dalam Mushannafnya (3/213), dari Ibnu Juraij berkata, “Aku bertanya kepada ‘Atha, ‘Aku tidak mendengar (suara khutbah) imam. Bolehkah aku bertasbih, bertahlil, dan berdoa kepada Allah untuk diriku dan keluargaku serta aku sebut mereka dengan nama-namanya?’ Beliau menjawab, ‘Ya (boleh)’.”
Ibnu Qudamah dalam al-Mughni (2/167) menyebutkan, “Bagi orang yang jauh supaya berdzikir kepada Allah Ta’ala, membaca Al-Qur’an, bershalawat kepada Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam, dan tidak meninggikan (mengeraskan) suaranya.”
2. Apabila imam keluar dari ketentuan khutbah yang semestinya, seperti berbicara batil, memuji orang yang haram dipuji, mencela orang yang tidak boleh dicela, atau semisalnya. Maka bagi makmum tidak wajib diam, dia boleh berbicara. Adalah Sa’id bin Jubair, al-Nakha’i, al-Sya’bi, Ibrahim ibnul Muhajir, dan Abu Burdah berbicara saat al-Hajjaj berkhutbah. Mereka berkata, “Kita tidak diperintahkan diam untuk hal ini.” (Lihat: Al-Mughni 2/165-166, al-Syarhu al-Shaghir milik Imam al-Dardiri al-Maliki 1/183, dan a-Bahru al-Raaiq milik Ibnu Najim al-Hanafi 2/160).
Pendapat ini juga diamini oleh Ibnu Hubaib, al-Lakhmi, Ibnu al‘-Arabi, dan al-Dasuqi dari ulama Malikiyah (Lihat: al-Taaj wa al-Iklil oleh al-Mawaq al-Maliki 2/550 dan Hasyiyah al-Dasuqi 1/615).
3. Orang yang berbicara kepada Imam karena suatu hajat atau imam mengajaknya bicara. Hal ini berdasarkan hadits Salik al-Ghathafani, dia masuk masjid pada hari Jum’at ketika Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam sedang berkhutbah. Lalu beliau bertanya, “Apakah kamu sudah shalat?” Dia menjawab, “Belum.” Beliau bersabda, “Bangunlah dan shalat dua rakaat!.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)
Juga didasarkan kepada kisah Umar bin Khathab radliyallah 'anhu ketika berkhutbah di hari Jum'at, tiba-tiba Utsman bin 'Affan masuk. Maka Umar memotong khutbahnya untuk menegurnya seraya berkata, "Kenapa orang-orang terlambat setelah seruan dikumandangkan?" Utsman menjawab, "Ketika aku mendengar seruan Adzan, aku tidak dapat berbuat lebih daripada sekedar wudlu' dan kemudian berangkat. . . . “( HR. Muslim)
Dalam Shahihain dari Anas, ada seseorang masuk masjid pada hari Jum’at ketika Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam sedang berkhutbah. Dia berkata, “Ya Rasulallah, harta benda telah hancur dan perbekalan telah habis, berdoalah kepada Allah agar menurunkan hujan kepada kami.” Lalu beliau mengangkat kedua tangannya seraya berdoa, “Ya Allah turunkan hujan kepada kami, Ya Allah turunkan hujan kepada kami.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Ibnul Qayyim dalam al-Hadyu al-Nabawi (1/427) berkata, “Beliau shallallaahu 'alaihi wasallam memutus khutbahnya karena suatu hajat yang nampak, atau pertanyaan dari salah seorang shabatnya lalu beliau menjawabnya kemudian kembali melanjutkan khutbahnya, dan menyempurnakannya.”
4. Perkataan yang wajib dia keluarkan untuk menolong kehidupan orang, seperti memperingatkan orang buta akan adanya sumur sehingga dia tidak jatuh ke dalamnya, atau ada ular, atau kebakaran dan semisalnya. (Al-Mughni: 2/168) dalam kondisi seperti itu, seseorang harus berbicara untuk menyelamatkan nyawa orang atau harta seseorang. Wallahu a’lam.
إِذَا قُلْتَ لِصَاحِبِكَ أَنْصِتْ وَالْإِمَامُ يَخْطُبُ يَوْمَ الْجُمُعَةِ فَقَدْ لَغَوْتَ
“Apabila engkau berkata kepada saudaramu pada hari Jum’at, ‘diamlah!’ sementara imam sedang berkhutbah, maka sungguh engkau telah berbuat sia-sia.” (HR. Bukhari dan Muslim serta yang lainnya)
Al-Hafidh Ibnu Hajar dalam Fathul Baari berkata, "Dalam hadits ini, Nabi shallallahu 'alaihi wasallam telah menetapkan bahwa memerintahkan diam saat khutbah adalah bentuk lahwun (perbuatan sia-sia), walaupun bentuknya perintah yang ma'ruf dan melarang dari yang munkar. Hadits ini juga menunjukkan bahwa setiap perkataan yang mengganggu dari mendengarkan khutbah, hukumnya lahwun. Dan bila ingin memerintahkan diam orang yang bicara, dengan isyarat."
Beliau menambahkan, “Hadits di atas dijadikan dalil larangan terhadap seluruh macam perkataan pada saat khutbah, dan demikian itu pendapat mayoritas ulama terhadap orang yang mendengarkan khutbah.”
Diriwayatkan dari Abu Darda’ radhiyallaahu 'anhu berkata, “Suatu hari Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam duduk di atas mimbar, lalu beliau berkhutbah di hadapan manusia dan membaca sebuah ayat. Di sampingku ada Ubay. Aku bertanya kepadanya, “Wahai Ubay, kapan ayat ini diturunkan?” Dia tidak mau berbicara kepadaku. Lalu aku bertanya lagi kepadanya, tapi dia tetap tidak mau berbicara kepadaku.
Ketika Rasulullah shallallaahu 'alaihi wasallam sudah turun barulah Ubay berkata kepadanya, “Engkau tidak mendapatkan dari Jum’atanmu kecuali kesia-siaan.” Maka ketika Rasulullah shallallaahu 'alaihi wasallam bertolak, aku (Abu Darda’) mendatanginya, lalu aku beritahukan perihal tadi. Kemudian Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam bersabda, “Ubay benar, Apabila engkau mendengar imammu berkhutbah, diamlah engkau sehingga dia selesai.” (HR. Ibnu Majah dan Ahmad dalam al-Musnad no. 21627 dan 21184 yang oleh muhaqqiqnya Al-Zain dinyatakan isnadnya shahih)
Ibnu Abdilbarr rahimahullaah berkata, “Tidak ada perbedaan pendapat di antara fuqaha’ negeri tentang wajibnya diam memperhatikan khutbah bagi orang yang mendengarnya,” (Al-Istidzkar: 5/43). Tetapi setelah itu disebutkan adanya perbedaan pendapat di kalangan sebagian mutaakhirin, namun itu tidak dianggap sebagai perbedaan yang diakui karena menyelisihi nash-nash yang sharih. Sebagaimana yang disebutkan dalam madzhab Syafi’iyah, Inshat (diam mendengarkan khutbah) adalah mustahab dan tidak wajib. Imam Nawawi dalam Al-Majmu’: 4/523 menyebutkan, dalam hukum inshat ini terdapat dua pendapat yang masyhur. Namun yang shahih dalam madzhab ini, bahwa inshat ini mustahab (dianjurkan), tidak wajib. (Al-Majmu’: 4/523)
Terdapat satu riwayat Ahmad dalam al-Mughni (3/194), tidak diharamkan berbicara.
Sedangkan jumhur ulama berpendapat, diharamkan berbicara saat khutbah disampaikan. Dan inshat ketika itu adalah wajib. Sementara madhab Hanafi berpendapat, berbicara saat khutbah makruh tahrim walaupun itu berupa amar ma’ruf, bertasbih, atau yang lainnya. (Al-Bahr al-Raaiq: 2/168)
Dalam kitab al-Mudawwanah disebutkan, “Apabila imam berkhtubah, maka saat itu juga wajib memutus pembicaraan, menghadap kepadanya, dan diam mendengarkannya.” (Mawahib al-Jalil: 2/530)
Kapan Larangan Berbicara Ini Berlaku?
Sesungguhnya larangan berbicara di sini berlaku pada saat khutbah saja. Karenanya sebelum khutbah dimulai dibolehkan berbicara walaupun imam sudah duduk di atas mimbar. Begitu juga ketika imam sudah mengakhiri khutbahnya, dibolehkan berbicara sebelum shalat dimulai.
Imam Malik meriwayatkan dalam al-Muwatha’, dari Tsa’labah al-Quradzi, mereka pada zaman Umar bin Khathab shalat pada hari Jum’at sehingga Umar keluar. Maka apabila Umar sudah keluar dan duduk di atas mimbar, lalu muadzin mengumandangkan adzan, kami duduk berbincang-bincang. Lalu apabila muadzin diam dan Umar berdiri menyampaikan khutbah, kami semua diam dan tidak seorangpun dari kami yang berbicara.
Ibnu Syihab berkata, “Keluarnya imam memutus shalat, sementara perkataannya memutus perkataan (jama’ah).” (Tanwir al-Hawalik, hal. 125)
Inilah madzhab ‘Atha, Thawus, Bakr al-Muzani, al-Nakha’i, al-Syafi’i, Ishaq, Ya’kub, Muhammad dan juga diriwayatkan dari Ibnu Umar.
Sedangkan berbicara di antara dua khutbah, terdapat dia pendapat. Di dalam al-Mughni disebutkan, al-Hasan al-Bashri membolehkannya. Sementara Malik, al-Syafi’i, al-Auza’i dan Ishaq melarangnya. (Al-Mughni, Ibnu Qudamah: 2/200)
Siapa Yang Dibolehkan Berbicara
Ada beberapa kondisi yang dibolehkan berbicara saat imam menyampaikan khutbahnya. Yaitu:
1. Bagi orang yang tidak mendengar khutbahnya imam karena jauhnya jarak atau tuli atau sebab lainnya, dia boleh menyibukkan diri berdzikir dan berdoa, tanpa mengganggu yang lainnya. diriwayatkan oleh Abdurrazaq dalam Mushannafnya (3/213), dari Ibnu Juraij berkata, “Aku bertanya kepada ‘Atha, ‘Aku tidak mendengar (suara khutbah) imam. Bolehkah aku bertasbih, bertahlil, dan berdoa kepada Allah untuk diriku dan keluargaku serta aku sebut mereka dengan nama-namanya?’ Beliau menjawab, ‘Ya (boleh)’.”
Ibnu Qudamah dalam al-Mughni (2/167) menyebutkan, “Bagi orang yang jauh supaya berdzikir kepada Allah Ta’ala, membaca Al-Qur’an, bershalawat kepada Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam, dan tidak meninggikan (mengeraskan) suaranya.”
2. Apabila imam keluar dari ketentuan khutbah yang semestinya, seperti berbicara batil, memuji orang yang haram dipuji, mencela orang yang tidak boleh dicela, atau semisalnya. Maka bagi makmum tidak wajib diam, dia boleh berbicara. Adalah Sa’id bin Jubair, al-Nakha’i, al-Sya’bi, Ibrahim ibnul Muhajir, dan Abu Burdah berbicara saat al-Hajjaj berkhutbah. Mereka berkata, “Kita tidak diperintahkan diam untuk hal ini.” (Lihat: Al-Mughni 2/165-166, al-Syarhu al-Shaghir milik Imam al-Dardiri al-Maliki 1/183, dan a-Bahru al-Raaiq milik Ibnu Najim al-Hanafi 2/160).
Pendapat ini juga diamini oleh Ibnu Hubaib, al-Lakhmi, Ibnu al‘-Arabi, dan al-Dasuqi dari ulama Malikiyah (Lihat: al-Taaj wa al-Iklil oleh al-Mawaq al-Maliki 2/550 dan Hasyiyah al-Dasuqi 1/615).
3. Orang yang berbicara kepada Imam karena suatu hajat atau imam mengajaknya bicara. Hal ini berdasarkan hadits Salik al-Ghathafani, dia masuk masjid pada hari Jum’at ketika Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam sedang berkhutbah. Lalu beliau bertanya, “Apakah kamu sudah shalat?” Dia menjawab, “Belum.” Beliau bersabda, “Bangunlah dan shalat dua rakaat!.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)
Juga didasarkan kepada kisah Umar bin Khathab radliyallah 'anhu ketika berkhutbah di hari Jum'at, tiba-tiba Utsman bin 'Affan masuk. Maka Umar memotong khutbahnya untuk menegurnya seraya berkata, "Kenapa orang-orang terlambat setelah seruan dikumandangkan?" Utsman menjawab, "Ketika aku mendengar seruan Adzan, aku tidak dapat berbuat lebih daripada sekedar wudlu' dan kemudian berangkat. . . . “( HR. Muslim)
Dalam Shahihain dari Anas, ada seseorang masuk masjid pada hari Jum’at ketika Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam sedang berkhutbah. Dia berkata, “Ya Rasulallah, harta benda telah hancur dan perbekalan telah habis, berdoalah kepada Allah agar menurunkan hujan kepada kami.” Lalu beliau mengangkat kedua tangannya seraya berdoa, “Ya Allah turunkan hujan kepada kami, Ya Allah turunkan hujan kepada kami.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Ibnul Qayyim dalam al-Hadyu al-Nabawi (1/427) berkata, “Beliau shallallaahu 'alaihi wasallam memutus khutbahnya karena suatu hajat yang nampak, atau pertanyaan dari salah seorang shabatnya lalu beliau menjawabnya kemudian kembali melanjutkan khutbahnya, dan menyempurnakannya.”
4. Perkataan yang wajib dia keluarkan untuk menolong kehidupan orang, seperti memperingatkan orang buta akan adanya sumur sehingga dia tidak jatuh ke dalamnya, atau ada ular, atau kebakaran dan semisalnya. (Al-Mughni: 2/168) dalam kondisi seperti itu, seseorang harus berbicara untuk menyelamatkan nyawa orang atau harta seseorang. Wallahu a’lam.
Posting Komentar