5. Mengetahui Asbabul Wuruud Hadits
Asbabul Wuruud = Sebab-Sebab Diriwayatkanya/Datangnya Suatu Hadits.
Mengetahui asbabul wurud suatu hadits sangat membantu dalam memahami maksud hadits. Termasuk cara yang baik dalam memahami sunnah Nabi adalah meneliti (melihat) sebab-sebab tertentu disabdakannya suatu hadits, atau kaitannya dengan 'illat (alasan atau sebab) tertentu yang ditegaskan langsung dari nash (teks) hadits itu, atau dari istinbath/kesimpulan (maknanya), atau yang dipahami (langsung) dari kondisi ketika hadits tersebut diucapkan (oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam).
Untuk memahami suatu hadits dengan pemahaman yang benar dan mendalam, tidak boleh tidak, kita harus mengetahui situasi dan kondisi yang menyebabkan hadits itu diucapkan oleh Nabi. Biasanya, hadits datang sebagai penjelas terhadap kejadian-kejadian tertentu dan sebagai terapi terhadap situasi dan kondisi kejadian tersebut. Dengan begitu, maksud dari hadits itu dapat ditentukan dengan jelas dan rinci. Tujuannya tidak lain agar hadits itu tidak menjadi sasaran bagi dangkalnya perkiraan, atau kita mengikuti zhahir (lahiriah dari hadits tersebut) yang tidak dimaksudkan (oleh maknanya). (Kaifa Nata'aamal ma'as-Sunnah [hlm. 125]).
Contoh:
Ada sebuah hadits yang berbunyi (artinya), "Kalian lebih tahu urusan dunia kalian." (HR Muslim, Kitab Al-Manaaqib, no. 2363).
Sebagian orang menjadikan hadits ini sebagai alasan untuk lari dari hukum-hukum syara' (agama) yang berkaitan dengan masalah ekonomi, perdata, politik, dan yang semisalnya dengan alasan--seperti anggapan mereka yang salah--bahwa itu adalah urusan duniawi, dan kami lebih mengetahui tentang dunia, dan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam telah menyerahkannya kepada kami.
Apakah betul ini yang dimaksud oleh hadits tersebut? Sama sekali tidak! Karena, di dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah terdapat hal-hal yang mengatur urusan muamalah: jual-beli, serikat dagang, pegadaian, sewa-menyewa, utang-piutang, dan sebagainya. Bahkan, ayat terpanjang di dalam Al-Qur'an turun untuk membahas aturan penulisan utang-piutang. "Hai, orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya dengan benar ...." (Al-Baqarah: 282).
Dengan demikian, hadits tersebut di atas ditafsirkan oleh sebab diucapkannya hadits tersebut, yaitu kisah penyerbukan pohon kurma atas anjuran Rasulullah berdasarkan pendapat beliau yang merupakan dugaan belaka dalam masalah penyerbukan pohon kurma. Setelah itu para sahabat menjalankan saran Nabi tersebut dengan penuh ketaatan, padahal ketika itu mereka tidak melakukan penyerbukan, kemudian Rasulullah saw. bersabda dengan hadits tersebut.
Contoh yang lain:
Hadits: "Barang siapa melakukan sunnah yang baik dalam agama Islam ...." (HR Muslim).
Sebagian orang memahami hadits ini dengan pemahaman yang salah. Sehingga, mereka membuat bid'ah-bid'ah (amal yang diada-adakan dan tidak ada dasarnya) dalam agama dengan beranggapan bahwa mereka sedang mendekatkan diri kepada Allah dan beramal dengan sunnah yang baik, yang masuk dalam kandungan makna hadits Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam di atas.
Akan tetapi, kalau kita merujuk kepada sebab disabdakannya hadits ini, akan kita dapatkan sebabnya, yaitu bahwa Nabi pada suatu hari menyuruh para sahabat untuk bersedekah. Kemudian, datanglah seorang pria dengan membawa bungkusan besar yang kedua tangannya hampir tidak mampu untuk membawanya, lalu ia meletakkannya di tengah masjid. Setelah itu, orang-orang pun ikut berinfaq sampai muka Rasulullah saw. berseri-seri (karena senang), seakan-akan wajah beliau seperti sesuatu yang disepuh dengan emas, lalu beliau mengucapkan hadits tersebut.
Maka dari itu, mengartikan hadits tersebut kepada perbuatan bid'ah jelas-jelas secara meyakinkan bukan yang dimaksud. Bahkan, itu merupakan kesesatan yang nyata. Dan, sebab-sebab disabdakannya hadits tersebut menjadi bukti terkuat akan kesalahan cara pengambilan dalil yang ditempuh oleh mereka.
Ibnu Hamzah ad-Dimasyqi mempunyai kitab berjudul Al-Bayaan wa at-Ta'riif fii Ashaab Wuruud al-Hadiits asy-Syariif yang dicetak dalam tiga jilid. Kitab itu termasuk yang paling lengkap dalam bidang ilmu ini (asbaabul wuruud hadits).
6. Mengetahui Ghariibul Hadiits
(Ghariibul Hadiits = Kata-Kata yang Sulit Dipahami pada Teks Hadits)
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam adalah orang yang paling fasih dalam mengucapkan "dhaadd" bahasa Arab dan beliau berbicara kepada para sahabat dengan bahasa Arab yang jelas dan dikenal oleh mereka. Mereka tidak mengalami kesulitan dalam memahami apa yang diinginkan dari lafazh yang diucapkan oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam karena mereka adalah orang Arab asli, yang tidak pernah dimasuki (dipengaruhi) oleh bahasa orang 'Ajam (orang non-Arab).
Tetapi, dengan berlalunya waktu dan berbaurnya sebagian orang dengan yang lain, baik yang Arab maupun yang 'Ajam, bahasa yang dipakai sebagian besar orang Arab menjadi lemah. Selain itu, bahasa mereka bercampur dengan bahasa orang 'Ajam, serta mereka menjadi semakin jauh dari bahasa Arab yang fasih. Sehingga, banyak orang yang menemukan kesulitan dalam memahami hadits-hadits Nabi karena mereka tidak mengetahui arti kata-kata dalam hadits-hadits tersebut.
Oleh sebab itulah, para ulama bangkit menyusun karangan semacam ini, yaitu kitab-kitab ghaariibul hadiits. Mereka menyusun sebuah kitab untuk menerangkan kata-kata yang sulit dipahami dalam suatu hadits beserta penjelasannya. Jika seorang ulama, penuntut ilmu, dan seorang muslim secara umum ingin memahami hadits yang baik, hendaklah dia merujuk kepada kitab-kitab ghariibul hadiits, yang paling penting di antaranya adalah:
- Ghariibul Hadiits karya Al-Harawi.
- Ghariibul Hadiits karya Abu Ishaq al-Harbi.
- Ghariib ash-Shahiihain karya Al-Humaidi.
- An-Nihaayah fii Ghariibil Hadiits karya Ibnul Atsir.
Kitab yang terakhir (An-Nihaayah) adalah kitab terlengkap dan paling bermanfaat daripada kitab-kitab ghariib lainnya.
7. Memahami Sunnah seperti yang Dipahami Sahabat Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam
Kaidah ini termasuk yang paling penting supaya seorang muslim berpegang dengan sunnah, seperti berpegangnya salafush shaleh, serta agar selamat dari penambahan dan pengurangan.
Maka, yang paling utama dalam menerangkan As-Sunnah adalah hadits-hadits Nabi sendiri, kemudian perkataan dan perbuatan para sahabat (al-aatsaar as-salafiyah), karena para sahabat telah menyaksikan turunnya Al-Qur'an dan wahyu turun di hadapan mereka. Maka, jika terjadi pemahaman yang salah dari salah seorang mereka terhadap Sunnah Nabi, niscaya Jibril akan turun kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam untuk meluruskan dan mengoreksi pemahaman yang salah itu.
Oleh karena itu, para ulama hadits menggolongkan perkataan seorang sahabat: "Kami berpendapat begini pada zaman Rasulullah," sebagai perkataan yang memiliki hukum marfu' (yang bisa disandarkan kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam). Apabila orang-orang berselisih tentang pemahaman suatu hadits, maka pemahaman yang paling utama didahulukan adalah pemahaman sahabat Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam.
Contoh:
Hadits tentang menghadap ke kiblat atau membelakanginya ketika buang air besar atau kecil. Ada atsar (perkataan sahabat) dari Ibnu Umar radhiyallahu 'anhu, beliau berkata:
"Sesungguhnya yang demikian itu (buang hajat) terlarang jika di tempat yang terbuka, namun jika di antara kamu dan kiblat ada sesuatu yang menutupi (menghalangi), maka tidak mengapa (hukumnya boleh)." (HR Abu Dawud, Kitab Ath-Thaharah Bab "Karaahiyah Istiqbaali Qiblati 'inda Qadhaa-il Haajah" [I/3]).
Kitab-kitab yang penyusunnya banyak menukil atsar-atsar salafiyyah (orang-orang shalih terdahulu) dari sahabat dan tabi'in adalah:
- Mushannaf 'Abdirrazzaq.
- Mushannaf Ibni Abi Syaibah.
- Sunan Sa'id bin Manshur.
- Sunan ad-Darimi.
- As-Sunan al-Kubraa dan As-Sughaa karya Imam Al-Baihaqi.
8. Merujuk Kitab-Kitab Syarah Hadits
Yaitu kitab-kitab yang berisi penjelasan dan keterangan dari matan (teks hadits).
Termasuk hal-hal yang penting dalam memahami hadits-hadits Nabi adalah merujuk kitab-kitab syarah. Sebab, di dalamnya terdapat penjelasan tentang gharib, nasikh-mansukh, fiqhul hadits, dan riwayat-riwayat yang tampaknya bertentangan sehingga seseorang tidak mungkin meninggalkan kitab-kitab seperti ini.
Para ulama hadits telah meninggalkan kitab-kitab syarah untuk kita yang menjelaskan hadits-hadits Nabi saw. Para ulama adalah penerjemah hadits-hadits Nabi untuk seluruh umat. Setiap seorang ulama yang lebih dahulu (lebih dekat masa hidupnya dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam) maka penjelasannya akan lebih dekat kepada kebenaran dan lebih layak untuk diterima, biasanya.
Kitab syarah yang paling utama didahulukan setelah memperhatikan yang lebih dahulu zaman penyusunnya adalah kitab yang penyusunnya memiliki perhatian terhadap dalil-dalil dengan menerangkan makhaarijul ahaadiits (jalan periwayatan hadits) yang bermacam-macam, serta menerangkan shahih dan dha'ifnya dalil tersebut.
Demikian pula harus didahulukan kitab yang penyusunnya paling jauh dari fanatik madzhab, yangmana suatu hadits bisa saja dipalingkan olehnya dari makna yang sesungguhnya yang diinginkan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam tanpa disertai dalil yang rajih (kuat).
Di antara contoh kitab syarah hadits yang sesuai dengan pemahaman para sahabat dan mu'tamad (yang bisa dipertanggungjawabkan) yaitu sebagai berikut.
- Syarhus Sunnah karya Imam Al-Baghawi.
- Fathul Baari karya Ibnu Rajab al-Hanbali.
- Fathul Baari Syarh Shahih al-Bukhari karya Ibnu Hajar al-Asqalani.
-----------------
Sumber: Diringkas dari 8 Kaidah Memahami Sunnah, Pustaka Imam Asy-Syafi'i; judul asli: Dhawaabith Muhimmah li Husni Fahmis Sunnah, Dr. Anis bin Ahmad bin Thahir, Dosen Pasca Sarjana Fakultas Hadits, Universitas Islam Madinah).
Posting Komentar