2. Mengumpulkan Hadits-Hadits yang Satu Tema dan Pembahasan pada Satu Tempat
Imam Ahmad berkata, "Suatu hadits, kalau tidak engkau kumpulkan jalan-jalannya (sanad-sanadnya), engkau tidak akan paham karena sebagian hadits menafsirkan sebagian yang lainnya." (Al-Jaami' (I/270).
Merupakan suatu keharusan untuk memahami sunnah dengan pemahaman yang benar, yaitu mengumpulkan hadits-hadits shahih yang satu pembahasan supaya hadits yang mutasyabih (yang memiliki banyak penafsiran) bisa dikembalikan ke yang muhkam (maknanya jelas), yang muthlaq (tidak terikat) di bawa ke yang muqayyad (terikat), dan yang 'amm (maknanya umum) ditafsirkan oleh yang khashsh (maknanya khusus).
Dengan cara ini, akan jelas maksud hadits tersebut, maka jangan mempertentangkan antara hadits yang satu dengan yang lainnya.
Apabila sanad-sanad suatu hadits yang satu pembahasan tidak dikumpulkan pada suatu tempat, maka itu bisa menyebabkan terjadinya kesalahan dalam memahami hadits tersebut. Padahal, orang itu berdalil dengan hadits shahih, akan tetapi dia tidak mengumpulkan hadits yang semisal dengannya sehingga menyebabkan pemahamannya terhadap hadits tersebut tidak sempurna. Bahkan, pemahaman dan gambarannya menyimpang tentang masalah yang dia bahas itu.
Contoh: Hadits Abu Umamah radhiyallahu ‘anhu ketika melihat alat pertanian, beliau berkata, "Aku mendengar Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Tidaklah (alat) ini masuk ke rumah suatu kaum, kecuali Allah akan memasukkan padanya kehinaan'." (HR. Bukhari, Fathul Baari, V/4)).
Zhahir (lahiriah) hadits ini memberikan faedah tentang bencinya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap pertanian, padahal kalau seseorang mengumpulkan hadits-hadits yang lain tentang pertanian, maka dia akan mendapatkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam justru menganjurkan untuk bertani dan menerangkan tentang bolehnya bertani, seperti sabda beliau berikut:
"Tidaklah seorang muslim menanam tanaman atau menabur benih, lalu burung memakan dari tanaman itu, atau binatang ternak, melainkan yang demikian itu sebagai sedekah (bagi yang menanam)." (HR. Bukhari, Fathul Baari X/438 dan Muslim, VII/4241).
"Jika kiamat telah mendatangi salah seorang di antara kalian dan di tangannya (masih) ada bibit kurma, maka hendaklah dia menanamnya." (HR Ahmad, III/183, 184).
Dari tiga hadits yang telah disebutkan ini ada satu hadits yang seolah-olah bertentangan, yaitu hadits yang disebutkan pertama. Lalu, bagaimanakah cara para ulama menyatukan antara hadits-hadits yang tampaknya bertentangan ini? Bagaimana pula pemahaman yang benar setelah menyatukan hadits-hadits yang berkaitan dengan masalah ini (bertani)?
Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata:
“Dan Imam Bukhari telah memberikan isyarat dengan cara menjama’ (menyatukan) antara hadits Abu Umamah dan hadits sebelumnya tentang keutamaan bertani dan bercocok tanam, dan itu (dijama’) dengan salah satu dari dua cara, yaitu dengan membawa apa yang bermakna celaan kepada akibat (buruk) dari pertanian, atau dibawa kepada pemahaman jika bertani tidak melalaikannya, akan tetapi dia melampaui batas dalam bertani…” (Fathul Baari, V/5)
Ada hadits yang mendukung pemahaman bahwa maksud larangan tersebut ditujukan apabila seseorang disibukkan dengan bertani dari kewajiban-kewajiban, seperti jihad di jalan Allah, apalagi bagi yang dekat tempatnya dengan musuh-musuh Allah. Hadits tersebut adalah hadits marfu' dari Ibnu 'Umar radhiyallahu ‘anhu:
"Jika kalian berjual-beli dengan (cara) 'inah (salah satu bentuk riba), kalian dilalaikan oleh ternak kalian, dan kalian suka (disibukkan) dengan bertani sehingga kalian meninggalkan (kewajiban) jihad, niscaya Allah akan menimpakan atas kalian kehinaan yang Dia tidak akan mencabutnya sampai kalian kembali kepada agama kalian." (Hadits shahih riwayat Ahmad, XXII/84 dan Abu Dawud, II/246. Lihat Silsilah al-Ahaadiits ash-Shahiihah, Syaikh al-Albani, I/15 no. 11).
3. Menyatukan Hadits-Hadits yang Tampak Bertentangan
Pada dasarnya tidak ada pertentangan antara nash-nash Al-Qur'an dan As-Sunnah yang shahih. Seandainya terjadi suatu pertentangan, maka itu anggapan kita semata, bukan hakikat dari nash-nash tersebut. Inilah keyakinan seorang mukmin pada hadits-hadits yang dapat dipercaya (hadits-hadits yang shahih atau hasan).
Firman Allah berikut harus selalu menjadi pedoman: "Kalau kiranya Al-Qur'an itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya." (An-Nisaa': 82).
Contoh hadits-hadits yang tampaknya bertentangan adalah hadits-hadits yang melarang seseorang menghadap ke kiblat ketika buang air besar atau kecil, sementara ada hadits-hadits lain yang membolehkan hal tersebut. Cara jama' yang dipakai para ulama untuk menyatukan hadits-hadits yang tampak bertentangan tersebut adalah dengan menyatakan bahwa hadits-hadits larangan dimaksudkan bila dilakukan di tempat terbuka, sedangkan hadits-hadits yang membolehkan dimaksudkan bila dilakukan di dalam suatu tempat yang ada pembatasnya (seperti seseorang melakukannya di WC). (Ta-wiil Mukhtalafil Hadiits hlm. 90 dan Nailul Authaar, I/98).
Kitab yang paling bermanfaat (dan bagus) yang bisa dijadikan rujukan untuk mendapatkan mukhtalaful hadits (hadits yang tampaknya bertentangan dengan hadits yang lain tetapi memungkinkan untuk dijamak/disatukan) adalah Musykilul Aatsaar karya Ath-Thahawi dan Ta'wiil Mukhtalaf al-Hadiits karya Ibnu Qutaibah.
4. Mengetahui Nasikh dan Mansukh Suatu Hadits
(Nasakh = Hadits yang Menghapus Hadits yang Lain; Mansukh = Hadits yang Dihapus)
Nasakh (hukum yang lama diganti hukum yang baru) dalam hadits memang terjadi. Seorang muslim yang mengamalkan suatu hadits tanpa mengetahui kalau hadits itu mansukh, berarti dia telah terjatuh ke dalam ilmu yang tidak diperintahkan syara' untuk mengamalkannya. Sebab, kita tidak diperintahkan untuk mengamalkan hadits-hadits yang mansukh. Sementara nasakh adalah suatu 'illat (penyebab) dilarangnya beramal dengan satu hadits (yang mansukh, ed.).
Al-Hafizh as-Suyuthi rahimahullah berkata, " Dan nasakh telah dimasukkan oleh Imam at-Tirmidzi dalam kategori al-'ilal (cacat hadits). Namun, beliau hanya mengkhususkannya dalam masalah pengalamannya saja (bukan status haditsnya)." (Al-Alfiyah, hlm. 22).
Seseorang tidak boleh tergesa-gesa dalam masalah ini sehingga mengatakan hadits ini mansukh, kecuali setelah mengetahui dalil-dalil dan qara-in (tanda-tanda) yang menunjukkan adanya nasakh.
Kitab-kitab yang bisa membantu untuk mengetahui yang mansukh dari hadits-hadits adalah:
- Ittihaaf Dzawiir Rusuukh karya Al-Ju'buri.
- An-Naasikh wal-Mansuukh karya Ibnul Jauzi.
- Al-I'tibaar fin Naasikh wal-Mansuukh minal Akbaar karya Al-Hazimi.
Bersambung Insyaallah
Posting Komentar