Go Ihsan - Tokoh
penting Singapura, Lee Kuan Yew, pernah mengingatkan generasi mudanya : “ Hidup
bukan cuma untuk sepotong roti. Masih ada bianglala di langit Singapura.
Keberhasilan pembangunan fisik bukan segala-galanya dalam hidup ini. ”Ungkapan
arif demi melihat kembali keluhuran tujuan hidup bukan tanpa alasan. Sekarang
kita melihat generasi muda bangsa di dunia rata-rata berfikir dan berorientasi
jangka pendek (mata’).
Oleh: Shalih Hasyim
Pertanyaan
umum klasik rata-rata calon mahasiswa di Amerika dari dulu sampai sekarang
berkisar tentang kebimbangan, ketidakpastian tujuan hidup. “Bagaimana saya
harus memutuskan apa yang harus saya lakukan setelah saya dewasa ?”. Tapi
sayang, perguruan tinggi tak bisa menjawab kegelisahan batin remaja dunia
seperti itu. Bentuk baru kemiskinan idealisme generasi muda zaman ini ketika
setiap fakultas hanya melaksanakan mandat mengajarkan kepada anak-anak bangsa
untuk menjadi “mesin pembuat uang”. Di seberang lain, perguruan tinggi harus
merespon permintaan pasar sehingga berurusan dengan tujuan karir-profesi dan
penambahan income belaka.
Pada saat
yang sama, para guru bangsa, mereka yang berada di koridor kekuasaan, kelas
menengah bangsa, merasakan ketiadaan makna hidup semacam itu. Tidak sedikit
yang bertanya sendiri dalam hati, hidup ini untuk apa, ketika sudah di puncak ?
Ketika semuanya sudah diperoleh dan sangat berlebih ?. Tetapi mengapa seperti
terus saja terasa ada yang belum tuntas dan belum terjawab dengan tuntas ?
Seperti ada yang belum terselesaikan ?. Pesona gemerlapan material, prestise,
terbukti membuat pemburunya kecewa ?.
Kata orang,
itulah fenomena “sakit jiwa” dalam kehidupan modern. Bentuk kekosongan
spiritual insan berdasi karena tidak tepat memilih dan memutuskan tujuan hidup.
Kecenderungan hidup untuk memiliki, bukan untuk menjadi bermakna dengan
memberi. Kebanyakan mereka mempersepsikan, aktifitas memberi dan berkorban
untuk sesama itu kehilangan, bukan mendapatkan. Sungguh, dunia tenggelam dalam
kubangan lumpur materialisme.
“Dan
orang-orang yang kafir, perbuatan mereka seperti fatamorgana di tanah yang
datar, yang disangka air oleh orang-orang yang dahaga, tetapi apabila didatangi
tidak ada apa pun.” [QS. An-Nur (24) : 39].
Disadari,
ternyata hanya pemuasan kebutuhan psikologis, yang tak kunjung terpuaskan.
Akibatnya orang yang mempercayakan kebahagiaan hidupnya pada kebendaan berubah
karakternya. Mereka cenderung agresif, kompetitif, dan antagonistis. Bangsa
sipil yang bertabiat militer. Bangsa maju yang berkarakter primitif. Bangsa
yang bugar secara phisik, tetapi terluka jiwanya. Indikasinya, ketakutan akan
kehabisan alat pemuas sesaat yang dianggap dapat mengancam kehilangan makna
hidup itu, sehingga orang tak henti menimbun dan menumpuk harta. Berebut
pengaruh, posisi, nasi dan kursi. Sekalipun harus menghalalkan segala cara.
Persetan dengan aturan halal dan haram.
Dari kecil,
anak-anak bangsa di dunia, diajarkan kecanduan pada bendawi. Mainan, makanan,
dan hal-hal kebendaan. Mereka menambah deretan panjang barisan kelas konsumen
dunia, bukan di mata Tuhan. Mereka dibiasakan terbius oleh pemenuhan sesaat.
Memperlakukan diri sendiri sebagai komunitas, tapi tak terjawabkan semua itu
sejatinya untuk apa. Pertanyaan klasik yang tak kunjung terjawab dengan
memuaskan. Hidup ini dari mana, untuk apa dan mau kemana ?.
Anak-anak di
dunia diajarkan menjadi manusia yang hidup menurut standar sosial yang labil.
Menghargai orang lain atas apa yang dimiliki, bukan pada apa yang orang sikapi
dan lakukan untuk hidup. Selubung materialisme yang menjadikan mereka sering
merasakan kekeringan, kegersangan dan kehampaan hidup.
Materialisme
yang membuat nilai-nilai, ikatan dalam keluarga dan masyarakat makin longgar
dan rapuh. Jarang berkumpul bersama dalam keluarga, serta bingung mengisi waktu
senggang menjadi pola kejenuhan baru orang modern. Tak habis-habisnya mereka
sibuk dan kekurangan waktu. Makin terasing ditengah keramaian dan kerumunan
manusia, menambah kerumitan hidup manusia. Sebuah keprihatinan sosiologis di
ujung abad globalisasi.
“Industri
hati yang sepi”, menjadi bisnis baru dunia yang kini banyak diminati masyarakat
modern. Mereka merasakan kesepian dan kekosongan jiwa, kian terpojok pada rasa
nihilistik. Generasi muda Jepang sekarang membenci orang tua mereka sendiri
yang pandangan hidupnya cuma untuk kerja dan kerja (karosi). Mereka mengucilkan
orang tua yang telah membuat hidup keluarga mereka terlanjur tak bahagia. Orang
sekarang mengisi kehidupannya di malll dan diskotik, tempat rekreasi, di ajang
politik, free seks, dugem, narkoba, yang penging have fun, dan entah apa lagi.
Tetapi sayang, mereka tidak menemukan yang dicarinya di sana. Karena
kebahagiaan bukan berbentuk barang yang harus diburu di tempat tertentu. Apa
yang diidamkan terwujud, hanya saja membuat pemiliknya justru kehilangan. Bersambung>>>>>>>>
Oleh: Shalih Hasyim
Penulis
adalah kolumnis di www.hidayatullah.com
Posting Komentar