Go Ihsan - Contoh
sederhana adalah kisah Stuart Donnelly, remaja kaya-raya yang justru mati muda.
Ia ditemukan tewas pada usia 29 tahun di rumah mewah yang dibelinya, setelah
memenangkan hadiah hampir 2 juta pound, saat ia masih berumur 17 tahun.
Oleh: Shalih Hasyim
Stuart
Donnelly mendadak kaya setelah memenangkan jackpot tahun 1997, berbagi total
hadiah sebesar 25 juta pound dengan 12 pemenang lainnya. Dengan kekayaannya,
dia mampu membeli rumah mewah di barat daya Skotlandia, tepatnya di bungalonya
di Buittle Bridge dengan harga Rp10,2 miliar.
Tapi,menjadi
orang kaya justru membuat Donnelly tidak bahagia. Kata teman-temannya, ia
sepertinya tidak sanggup mengatasi tekanan hidup sebagai seorang jutawan.
Rupanya, kekayaan hanya mampu membeli lampu penerang rumahnya yang mewah, namun
tetap tak bisa menerangkan hatinya yang paling dalam.
“Atau
(keadaan orang-orang kafir) seperti gelap gulita di lautan yang dalam, yang
diliputi oleh gelombang, diatasnya ada (lagi) awan gelap. Itulah gelap gulita
yang berlapis-lapis. Apabila dia mengeluarkan tangannya hampir tidak dapat
melihatnya. Barangsiapa tidak diberi cahaya (petunjuk) oleh Allah, maka dia
tidak mempunyai cahaya sedikitpun.” (QS. An-Nur (24) : 40).
Sekarang
Amerika tercatat sudah menjadi mall terbesar di dunia. Lebih banyak mall
dibangun di dunia dibanding dengan sekolah. Lebih banyak alat elektronik
canggih diciptakan. Semua untuk pemuas kehidupan manusia. Hanya saja, tidak
bisa menolong orang dengan krisis spiritual dalam kehidupan yang glamor.
Kelaparan orang modern berbentuk miskin orientasi dan sikap hidup.
Alan Thein
Durning melihat gaya hidup konsumerisme Barat tak membuat kebahagiaan orang
meningkat. Peningkatan gizi, minim sekali sumbangannya bagi kebahagiaan orang
seorang di Amerika Serikat, dari tahun 1957 sampai sekarang tetap saja
sepertiganya. Padahal selama lebih dari tiga dasawarsa, pola hidup konsumerisme
telah berlipat kali lebih besar.
Anak di
dunia harus menggendong cita-cita, ambisi, dan falsafah hidup yang keliru yang
bukan miliknya sendiri. Mereka hanya memikul ambisi orangtua, kemauan politik,
dan kesalahan sistem pendidikan bangsanya. Mereka disetting agar siap sukses
dan berprestasi di mata dunia. Mereka dipilihkan jalan hidup yang terbukti
salah.
Kita
terlanjur mengajarkan pada anak-anak untuk menjadi “nomor satu”, seperti
dilazimkan dalam kredo bangsa Amerika. Tapi tak pernah mengajarkan sikap legawa
(sportif) jika menjadi kalah. Ternyata itu pun tak membuat mereka menjadi kaya
di mata Tuhan. Itulah agaknya tuntutan kodrati mesin kapitalis mondial. Semua
anak digiring bercita-cita menjadi dokter, insinyur, atau apa saja bukan
lantaran keterpanggilan, melainkan lebih karena profesi semacam itu dinilai
orang potensial meraup uang. Tapi alpa mendidik mereka apa yang tidak mungkin
diperoleh dengan uang dalam menempuh ziarah panjang kehidupannya.
“Pendidikan
modern tidak mengajarkan air mata pada mata, dan kekhusuan di hati”, serta
karakter, kata Mohammad Iqbal.
Kita
memerlukan guru dan orangtua, senior bangsa, sesepuh pinisepuh, dan birokrat
yang mengajarkan kepada anak-anak bagaimana membangun proyek kehidupan ini
lebih sejuk, rekreatif dan edukatif serta beradab. Sebab, makin bertambah orang
modern yang kini gunda gulana dan minta bantuan ahli jiwa, ahli agama, dan ahli
filsafat, bagaimana cara yang tepat mengorganisasikan kehidupan pribadi mereka
yang mulai retak-retak dan terbelah (split personality).
Hidup
menghajatkan struktur, komunitas, dan makna. Kehidupan orang sekarang terancam
kehilangan unsur penting itu. Kita dan anak-anak kita memerlukan logoterapi,
bentuk terapi agar hidup yang pecah menjadi utuh dan bernilai. Sekarang kita
membutuhkan kembali ilmu kehidupan itu bagi semua anak bangsa agar tahu bahwa
menemukan cara hidupnya yang indah sama baiknya dengan cara matinya yang
mempesona. Kematian yang berkesan dihati banyak orang (‘isy kariiman au mut
syahiidan).
Maka tak ada
pililah lain. Kembali kepada pemahaman, penghayatan dan pengamalan beragama
secara benar (iqamatul haq, iqamatud din) adalah jawabannya. Agama bukan
sebatas serimonial formallistik, tetapi miskin aplikasi. Agama menyeru kepada
arti hidup, iman, kesucian, kejujuran, kebenaran, petunjuk, perjuangan dan
segala yang berkaitan dengan kebahagiaan hidup kedisinian dan nanti.
Jika
sekiranya kita bisa merasakan manisnya kelezatan iman dan spiritual itu
sekarang, mengapa harus menunggu lama lagi?
Oleh: Shalih Hasyim
Penulis adalah kolumnis di www.hidayatullah.com
Posting Komentar