Halloween party ideas 2015

Go Ihsan - Contoh sederhana adalah kisah Stuart Donnelly, remaja kaya-raya yang justru mati muda. Ia ditemukan tewas pada usia 29 tahun di rumah mewah yang dibelinya, setelah memenangkan hadiah hampir 2 juta pound, saat ia masih berumur 17 tahun.


Stuart Donnelly mendadak kaya setelah memenangkan jackpot tahun 1997, berbagi total hadiah sebesar 25 juta pound dengan 12 pemenang lainnya. Dengan kekayaannya, dia mampu membeli rumah mewah di barat daya Skotlandia, tepatnya di bungalonya di Buittle Bridge dengan harga Rp10,2 miliar.

Tapi,menjadi orang kaya justru membuat Donnelly tidak bahagia. Kata teman-temannya, ia sepertinya tidak sanggup mengatasi tekanan hidup sebagai seorang jutawan. Rupanya, kekayaan hanya mampu membeli lampu penerang rumahnya yang mewah, namun tetap tak bisa menerangkan hatinya yang paling dalam.


“Atau (keadaan orang-orang kafir) seperti gelap gulita di lautan yang dalam, yang diliputi oleh gelombang, diatasnya ada (lagi) awan gelap. Itulah gelap gulita yang berlapis-lapis. Apabila dia mengeluarkan tangannya hampir tidak dapat melihatnya. Barangsiapa tidak diberi cahaya (petunjuk) oleh Allah, maka dia tidak mempunyai cahaya sedikitpun.” (QS. An-Nur (24) : 40).

Sekarang Amerika tercatat sudah menjadi mall terbesar di dunia. Lebih banyak mall dibangun di dunia dibanding dengan sekolah. Lebih banyak alat elektronik canggih diciptakan. Semua untuk pemuas kehidupan manusia. Hanya saja, tidak bisa menolong orang dengan krisis spiritual dalam kehidupan yang glamor. Kelaparan orang modern berbentuk miskin orientasi dan sikap hidup.

Alan Thein Durning melihat gaya hidup konsumerisme Barat tak membuat kebahagiaan orang meningkat. Peningkatan gizi, minim sekali sumbangannya bagi kebahagiaan orang seorang di Amerika Serikat, dari tahun 1957 sampai sekarang tetap saja sepertiganya. Padahal selama lebih dari tiga dasawarsa, pola hidup konsumerisme telah berlipat kali lebih besar.

Anak di dunia harus menggendong cita-cita, ambisi, dan falsafah hidup yang keliru yang bukan miliknya sendiri. Mereka hanya memikul ambisi orangtua, kemauan politik, dan kesalahan sistem pendidikan bangsanya. Mereka disetting agar siap sukses dan berprestasi di mata dunia. Mereka dipilihkan jalan hidup yang terbukti salah.

Kita terlanjur mengajarkan pada anak-anak untuk menjadi “nomor satu”, seperti dilazimkan dalam kredo bangsa Amerika. Tapi tak pernah mengajarkan sikap legawa (sportif) jika menjadi kalah. Ternyata itu pun tak membuat mereka menjadi kaya di mata Tuhan. Itulah agaknya tuntutan kodrati mesin kapitalis mondial. Semua anak digiring bercita-cita menjadi dokter, insinyur, atau apa saja bukan lantaran keterpanggilan, melainkan lebih karena profesi semacam itu dinilai orang potensial meraup uang. Tapi alpa mendidik mereka apa yang tidak mungkin diperoleh dengan uang dalam menempuh ziarah panjang kehidupannya.

“Pendidikan modern tidak mengajarkan air mata pada mata, dan kekhusuan di hati”, serta karakter, kata Mohammad Iqbal.

Kita memerlukan guru dan orangtua, senior bangsa, sesepuh pinisepuh, dan birokrat yang mengajarkan kepada anak-anak bagaimana membangun proyek kehidupan ini lebih sejuk, rekreatif dan edukatif serta beradab. Sebab, makin bertambah orang modern yang kini gunda gulana dan minta bantuan ahli jiwa, ahli agama, dan ahli filsafat, bagaimana cara yang tepat mengorganisasikan kehidupan pribadi mereka yang mulai retak-retak dan terbelah (split personality).

Hidup menghajatkan struktur, komunitas, dan makna. Kehidupan orang sekarang terancam kehilangan unsur penting itu. Kita dan anak-anak kita memerlukan logoterapi, bentuk terapi agar hidup yang pecah menjadi utuh dan bernilai. Sekarang kita membutuhkan kembali ilmu kehidupan itu bagi semua anak bangsa agar tahu bahwa menemukan cara hidupnya yang indah sama baiknya dengan cara matinya yang mempesona. Kematian yang berkesan dihati banyak orang (‘isy kariiman au mut syahiidan).

Maka tak ada pililah lain. Kembali kepada pemahaman, penghayatan dan pengamalan beragama secara benar (iqamatul haq, iqamatud din) adalah jawabannya. Agama bukan sebatas serimonial formallistik, tetapi miskin aplikasi. Agama menyeru kepada arti hidup, iman, kesucian, kejujuran, kebenaran, petunjuk, perjuangan dan segala yang berkaitan dengan kebahagiaan hidup kedisinian dan nanti.

Jika sekiranya kita bisa merasakan manisnya kelezatan iman dan spiritual itu sekarang, mengapa harus menunggu lama lagi?

Oleh: Shalih Hasyim
Penulis adalah kolumnis di www.hidayatullah.com


Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.