Go Ihsan - Dari Ibnu Umar rhuma,
Rasulullah Shallallu ‘Alaihi Wassallambersabda:
أَلَا إِنَّ مِنْ أَشْرَاطِ السَّاعَةِ أَنْ تُرْفَعَ الْأَشْرَارُ وَتُوضَعَ الْأَخْيَارُ
“Ketahuilah,
di antara tanda-tanda hari Kiamat adalah orang-orang jahat dan kejam diangkat
menjadi pemimpin, sedangkan orang-orang pilihan dihinakan..
Dalam perintah shalat
berjama’ah, banyak ibrah dan pelajaran tentang kepemimpinan yang bisa diambil.
Rasulullah saw memerintahkan agar seorang imam itu dipilih yang paling baik
bacaannya, paling paham terhadap sunnah nabi, paling dahulu masuk Islam dan
paling tua usianya. Jika itu merupakan standar dalam imamatus shughra (kepemimpinan kecil), lalu bagaimana dengan imamatul udzma (kepemiminan besar)?
Lihatlah bagaimana seorang
imam itu harus yang paling baik akhlak dan ilmunya, paling tua (dewasa secara
psikologis dan spiritualnya) dan paling dahulu dalam kebajikan. Dalam shalat
Imam harus merapikan barisan jamaahnya, yang berarti seorang pemimpin harus
punya kemampuan untuk menata masyarakatnya. Imam harus ditaati makmum, dimana
makmum tidak boleh menyamai apalagi mendahului imam.
Meski demikian imam juga harus
tahu diri, tidak boleh lama berdiri dalam shalatnya hingga memberatkan makmum
yang mengikutinya.
Jika imam salah maka makmum
harus menegurnya, tentu saja dengan cara yang sopan, bukan dengan kalimat
kasar. Hal lain yang juga sangat penting diperhatikan oleh imam adalah bahwa
orang-orang di shaf pertama, yaitu jamaah yang ada di belakangnya adalah mereka
yang punya kapasitas mirip dengan imam. Dimana bila suatu saat imam udzur atau batal, merekalah yang paling pantas
menggantikannya.
Dalam kontek kepemimpinan
masyarakat, maka seorang pemimpin harus memilih orang-orang terdekat yang punya
kapasitas layak; ilmu, akhlak, usia dan kontribusi perjuangan yang jelas.
Demikianlah gambaran sederhana tentang kepemimpinan dalam Islam yang bisa
diambil dari konsep shalat berjamaah.
Berubahnya pola kepemimpinan
di akhir zaman
Sekian tahun lamanya para
sahabat dibina oleh Rasulullah Shallallu ‘Alaihi Wassallam tentang
kepemimpinan yang salah satunya dengan pembinaan shalat berjamaah. Sehingga
jadilah mereka para pemimpin handal yang bisa memakmurkan dunia.
Di era khilafah rasyidah,
langit dan bumi mengalirkan keberkahan yang tiada henti, keadilan dan
kesejahteraan bisa dirasakan banyak rakyat. Semua bersumber dari keberadaan
orang-orang shalih yang memimpin umat.
Namun, Rasulullah Shallallu ‘Alaihi Wassallam juga
mengingatkan kepada umatnya akan datangnya suatu masa dimana semua sumber
keberkahan dan kebahagiaan hidup itu akan berakhir.
Rasulullah Shallallu ‘Alaihi Wassallam mengabarkan
akan datangnya suatu zaman yang umat manusia justru menyingkirkan
manusia-manusia shalih dan memilih para penjahat dan perusak agama sebagai
pemimpin mereka.
Siapapun tahu bahwa para
pemangku kekuasaan itu lebih didominasi oleh orang-orang yang gila jabatan dan
kedudukan, pemburu popularitas dan kekuasaan. Kita tidak melihat tanda-tanda
keshalihan yang nyata, baik individual apalagi sosial. Jikapun terlihat, maka
fenomena yang sesungguhnya adalah upaya pencitraan yang penuh dengan manipulasi
dan rekayasa. Tentu saja kita tidak mengabaikan adanya segelintir dari mereka
yang boleh jadi hatinya masih ‘bersih’, ikhlas bekerja dan punya niat untuk
memperbaiki umat.
Namun, lihatlah fakta yang
terjadi; jumlah orang-orang ‘baik’ itu tidak sebanding dengan para penguasa
yang rusak moral dan iradahnya.
Ketika ada di antara mereka
hendak menegakkan keadilan dan perbaikan moral, maka para penjegalnya adalah
kelompok mayoritas yang tidak rela kesenangan mereka dirampas. Karena negeri
ini menggunakan sistem demokrasi yang berpihak kepada suara terbanyak, maka
suara kebenaran itu terdengar lirih bahkan nyaris tak berdampak.
Lihatlah upaya penegakkan
undang-undang anti minuman keras (Miras), anti prostitusi dan anti pornografi,
para penguasa yang amoral selalu menjadi batu penghalang yang mementahkan
keinginan orang-orang ‘baik’ itu. Jikapun akhirnya undang-undang itu disetujui,
maka para penguasa bejat itu akan menggunakan kekuatan tangan besinya untuk
bermain licik melalui jaringannya. Hingga akhirnya undang-undang itu hanya
menjadi macan kertas yang tidak berdampak untuk perbaikan masyarakat.
Melihat fenomena pemilu dan
pilpres di negeri ini, nampaknya fenomena semakin menguatkan kebenaran nubuwat
di atas. Lihatlah orang-orang yang terpilih sebagai anggota legislatif maupun
eksekutif.
Mereka didominasi oleh para
kapitalis berkantong tebal yang membeli kekuasaan untuk kemudian mereka jadikan
sebagai tambang emas untuk mengeruk kekayaan. Tak heran jika pasca terpilihnya
bukan kemudian berbenah memperbaiki kehidupan rakyat, namun segera menjalankan
mesin kekuasaannya untuk mendulang rupiah untuk menebus mahalnya harga
demokrasi yang terlanjur dibelinya dengan cara hutang.
Dr. Ahmad Al-Mubayyadh
menjelaskan bahwa fenomena terpilihnya para penjahat dan tersingkirnya
orang-orang shalih menggambarkan bahwa kondisi masyarakat saat itu memang sudah
rusak dan parah.
Kerusakan masyarakat sacara
moral dan spiritual membuat mereka juga menolak jika orang-orang baik memimpin
mereka, sebab masyarakat yang telah rusak juga sangat keberatan jika berbagai
kesenangan dan syahwat yang selama ini telah menjadi kebiasaan mereka tiba-tiba
dihapuskan.
Lalu, apa yang dapat kita
perbuat?
Berat sekali fitnah yang harus
dihadapi oleh kaum muslimin di akhir zaman, terutama bila sudah berhadapan
dengan kekuasaan yang berada di tangan orang-orang zalim. Fenomena rakyat dan
pemimpin yang zalim adalah lingkaran setan yang terus berputar tanpa diketahui
jalan untuk memutusnya. Semua saling ketergantungan. Mungkin tidak banyak yang
dapat kita lakukan, namun mudah-mudahan wasiat Nabi shallallu ‘alaihi Wassallam ini
bisa diperhatikan oleh setiap Muslim:
لَيَأْتِيَنَّ عَلَيْكُمْ أُمَرَاءُ يُقَرِّبُونَ شِرَارَ النَّاسِ وَ يُؤَخِّرُونَ الصَّلاَةَ عَنْ مَوَاقِيتِهَا. فَمَنْ أَدْرَكَ ذَلِكَ مِنْهُمْ فَلاَ يَكُونَنَّ عَرِيفًا وَلاَ شُرْطِيًّا وَلاَ جَابِيًا وَلاَ خَازِنًا.
”Benar-benar
akan datang kepada kalian suatu zaman yang para penguasanya menjadikan
orang-orang jahat sebagai orang-orang kepercayaan mereka dan mereka
menunda-nunda pelaksanaan shalat dari awal waktunya. Barangsiapa mendapati masa
mereka, janganlah sekali-kali ia menjadi seorang penasehat, polisi, penarik
pajak, atau bendahara bagi mereka.”
Ya, menghindar sekuat mungkin
untuk tidak berdekat-dekatan dengan mereka adalah solusi yang harus ditempuh
oleh setiap Muslim.
Setidaknya, cara itu sedikit
meringankan fitnah yang menimpanya. Wallahu a’lam bish shawab.*
oleh: Abu Fatiah Al-Adnani
Sumber Hidayatullah
Posting Komentar