Go Ihsan - Oleh: Buya
Gusrizal Gazahar
Ketua MUI Sumatera Barat
Setelah umat Islam berlapang
dada di awal kemerdekaan dengan berobahnya sila pertama Pancasila dari konsep
semula (Piagam Jakarta), harapan untuk menjalankan Islam dengan baik tertumpang
pada sila 29 UUD 45.
Itu merupakan
“‘ahdun”(perjanjian) yang tertera dalam undang-undang dasar negeri ini antara
kaum muslimin dengan penguasa dan umat lain dalam negara ini.
Selama kebebasan menjalankan
Islam terjamin dalam negara ini, umat Islam merasa nyaman dan terus punya
harapan. Karena bagi kaum muslimin, kemerdekaan yang paling utama di muka bumi
ini adalah kemerdekan mentaati Allah dengan beribadah menyembah-Nya karena itu
lah tujuan utama penciptaan manusia sebagaimana firman Allah swt:
{وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ} [الذاريات : 56]
“Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku”. (QS. al-Dzariyat 51:56)
“Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku”. (QS. al-Dzariyat 51:56)
Ini lah kemerdekaan yang
hakiki yaitu menjadi hamba Allah swt bukan menjadi hamba selain Allah swt.
Ini pulalah seruan para Nabi
dan Rasul semenjak Nabi Adam as sampai Nabi Muhammad saw sebagaimana
diberitakan oleh Allah swt dalam surah al-A’raf ayat ayat 65, 73, 85 dan
ayat-ayat lainnya dalam berbagai surat Al-Qur’an al-Karim.
Dengan demikian, tiada arti
kemerdekaan bila jiwa dan raga tidak merdeka menghambakan diri kepada Allah
swt.
Kemerdekaan beribadah dalam
Islam, perlu difahami dengan baik oleh penguasa negeri ini.
Ia bukanlah ancaman untuk umat
lain tapi merupakan kenyamanan bagi umat lain dengan syarat adanya perhargaan
dan penghormatan timbal balik bukan sepihak.
Kenapa saya katakan
“kenyamanan” karena Islam lah agama yang menjamin dalam Kitab Sucinya dan dalam
Sunnah Rasulnya, kebebasan manusia memilih dalam berkeimanan dengan segala
konsekwensi yang harus mereka pikuk kelak di akhirat.
Bukankah Allah swt dalam firman-Nya mengatakan:
{وَقُلِ الْحَقُّ مِن رَّبِّكُمْ ۖ فَمَن شَاءَ فَلْيُؤْمِن وَمَن شَاءَ فَلْيَكْفُرْ ۚ إِنَّا أَعْتَدْنَا لِلظَّالِمِينَ نَارًا أَحَاطَ بِهِمْ سُرَادِقُهَا ۚ وَإِن يَسْتَغِيثُوا يُغَاثُوا بِمَاءٍ كَالْمُهْلِ يَشْوِي الْوُجُوهَ ۚ بِئْسَ الشَّرَابُ وَسَاءَتْ مُرْتَفَقًا} [الكهف : 29]
“Dan katakanlah: “Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu; maka barangsiapa yang
ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan barangsiapa yang ingin (kafir)
biarlah ia kafir”. Sesungguhnya Kami telah sediakan bagi orang orang zalim itu
neraka, yang gejolaknya mengepung mereka. Dan jika mereka meminta minum,
niscaya mereka akan diberi minum dengan air seperti besi yang mendidih yang
menghanguskan muka. Itulah minuman yang paling buruk dan tempat istirahat yang
paling jelek.” (QS. al-Kahfi 18:29)
Petunjuk Allah swt di atas
telah diterapkan oleh Rasulullah saw dalam dakwah beliau. Perhatikan isi surat
Rasulullah saw kepada Ahlul Kitab Yaman sebagaimana yang diriwayatkan oleh
‘Urwah Ibn al-Zubeir :
«.. وأنه من أسلم من يهودي أو نصراني فإنه من المؤمنين: له ما لهم وعليه ما عليهم، ومن كان على يهوديته أو نصرانيته فإنه لا يُفتَن عنها…»
“…dan sesungguhnya siapa saja yang memeluk Islam dari yahudi atau nashrani maka dia adalah bagian dari kaum mukminin. Orang itu memiliki hak seperti kaum mukminin dan kewajiban seperti mereka. Dan siapa saja yang tetap berada dalam keyahudiannya atau kenashraniaannya, tidak difitnah dari agamanya”.
“…dan sesungguhnya siapa saja yang memeluk Islam dari yahudi atau nashrani maka dia adalah bagian dari kaum mukminin. Orang itu memiliki hak seperti kaum mukminin dan kewajiban seperti mereka. Dan siapa saja yang tetap berada dalam keyahudiannya atau kenashraniaannya, tidak difitnah dari agamanya”.
Dengan petunjuk yang jelas
seperti itu, apakah masih ada kekhawatiran dan ketakutan seperti yang diderita
oleh para penganut islamphobia ???
Kalau masih, berarti orang itu bukan lagi khawatir akan dirinya tapi memang
berkeinginan mengenyahkan Islam dari negeri ini.
Untuk itu, perlu dicatat
dengan baik !
Namun perlu diingat !
Setiap pemikiran atau agama apapun, demi untuk mempertahankan eksistensinya, pasti memiliki ajaran untuk mempertahankan diri.
Setiap pemikiran atau agama apapun, demi untuk mempertahankan eksistensinya, pasti memiliki ajaran untuk mempertahankan diri.
Dengan itu lah ia menjaga pengikutnya dan pemahamannya.
Agama Islam sebagai
satu-satunya agama yang diredhai Allah swt dalam keyakinan kaum muslimin dengan
berlandaskan kepada Al-Qur’an :
إِنَّ الدِّينَ عِندَ اللَّهِ الْإِسْلَامُ ۗ ….
“Sesungguhnya agama (yang diridhai) disisi Allah hanyalah Islam…” (QS. Ali
‘Imran 3:19),
juga memiliki ajaran untuk
mempertahankan eksistensinya yaitu al-amru bil ma’ruf wa al-nahyu ‘an al-munkar
dan ajaran jihad.
Kedua ajaran itu disyari’atkan
untuk melindungi eksistensi dan kemurnian ajaran Islam dari berbagai perusakan
baik dari dalam maupun dari luar.
Kedua ajaran tersebut tidak
bisa dihilangkan karena dia merupakan bagian inti dari ajaran Islam tersebut.
Namun terkait dengan “perusakan dari luar”, umat Islam tidak sembarangan bisa
menerapkan jihad karena banyak ketentuan (dhawabith) yang harus dipenuhi.
Begitu pula al-amru bil ma’ruf wa al-nahyu ‘an al-munkar juga memiliki
persyaratan dan ketentuan yang telah digariskan dalam syari’at.
Terkait dengan hubungan umat
Islam dengan umat lain dalam kondisi saling menghormati, tidak ada perintah
untuk memusuhi mereka yang berbeda aqidah bila tidak memusuhi umat Islam.
Ini tegas dalam firman Allah swt:
{لَّا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُم مِّن دِيَارِكُمْ أَن تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ ۚ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ} [الممتحنة : 8]
“Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap
orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu
dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.” (QS.
al-Mumtahanah 60:8)
Petunjuk Allah swt dalam ayat
di atas, diperkuat lagi oleh sabda Rasulullah saw:
عن عبد الله بن عمرو رضي الله عنهما، عن النَّبيِّ صلى الله عليه وسلم قال: (( مَن قتل نفساً معاهداً لم يرح رائحة الجنة، وإنَّ ريحها توجد من مسيرة أربعين عاماً )) (رواه البخاري)
“”Siapa saja membunuh orang kafir mu’ahid, ia tidak mencium wangi surga padahal
wangi surga itu tercium dari jarak empat puluh tahun” (HR. Al Bukhari)
dan dalam hadits lainnya
beliau bersabda:
رَسُولِ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ: أَلَا مَنْ ظَلَمَ مُعَاهِدًا أَوِ انْتَقَصَهُ أَوْ كَلَّفَهُ فَوْقَ طَاقَتِهِ أَوْ أَخَذَ مِنْهُ شَيْئًا بِغَيْرِ طِيبِ نَفْسٍ فَأَنَا حَجِيجُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
“Ingatlah, siapa yang menzhalimi seorang mu’ahid, merendahkannya, membebaninya
di atas kemampuannya atau mengambil sesuatu darinya tanpa keridhaan dirinya,
maka saya adalah lawan bertikainya pada hari kiamat”. (HR. Abu Daud)
Dengan demikian, sebenarnya
tidak perlu ada ketakutan dari siapapun terhadap umat Islam selama tidak ada
niat untuk mengganggu mereka.
Dalam koridor yang telah
dijelaskan di atas lah Majelis Ulama Indonesia (MUI) bersikap dengan berbagai
keputusan fatwanya.
Semuanya merupakan tugas syar’i yang akan dipertanggungjawabkan di hadapan
Allah swt.
Bila dilihat dari falsafah
hidup berbangsa dan undang-undang yang berlaku di negara kita, tak satu pun
yang dilanggar oleh tugas majelis ulama tersebut.
Bahkan keberadaan MUI dengan berbagai tugasnya itu merupakan perwujudan dari
bhinneka tunggal ika karena yang difahami dari semboyan itu adalah berbeda-beda
tapi tetap satu bukanlah yang berbeda menjadi satu.
Jadi, kalau memang ada ide
atau pemikiran untuk mengawasi fatwa MUI agar sesuai dengan kemauan penguasa,
berarti penguasa negeri ini telah bertindak melebihi Tuhan sehingga
mengharamkan perbedaan. Sehingga ulama kaum muslimin pun tidak diizinkan untuk
menjaga (ri’ayah) umat dari berbagai penyimpangan. Bahkan Lebih dari itu, para
penguasa berarti telah merampas kemerdekaan umat Islam untuk menjalankan ajaran
agama mereka.
Semestinya tuan-tuan penguasa
tidak perlu sampai sejauh itu dihantui oleh ketakutan yang tak beralasan !
Jadilah pengatur dan penata yang profesional dan proporsional.
MUI dengan segala fatwanya
hanya tertuju kepada umat Islam. Kalaupun ada yang tertuju kepada pemerintah,
itu adalah dalam rangka tugas memberikan nasehat dan pandangan sebagai wujud
kecintaan kepada tanah air ini dan dilindungi oleh undang-undang negara ini.
Hukum yang mereka fatwakan
bukanlah hukum yang asing dari tengah bangsa ini. Bahkan hukum yang telah
diakui dan dipedomani di pengadilan serta telah dirujuk dalam kehidupan
berbangsa yaitu hukum Islam.
Hukum apa yang diterapkan di
pengadilan agama ? yang dijalankan oleh kementerian agama dalam menata
kehidupan berumah tangga ? Yang dipedomani oleh Bank Indonesia dalam mengizinkan
produk perbankan syari’ah ? Yang menjadi pedoman dalam undang-undah zakat,
wakaf dan lainnya ? Bukankah semua itu adalah bersumber dari syari’at Islam ?
Nah, hukum itu pula lah yang
digali sumber dan dalilnya oleh para ulama ketika berfatwa. Mereka lakukan itu
agar bangsa ini jangan berjalan menantang Allah swt.
Tidak perlu berkilah dan
berhelah dengan “ini bukan negara Islam”.
Karena MUI tidak pernah goyah komitmen mereka terhadap NKRI bahkan komitmen itu
ditegaskan kembali dalam MUNAS MUI terkahir.
Ulama hanya meminta agar
penguasa bisa menjamin umat Islam menjalankan agamanya dengan nyaman serta
dihormati sebagai bagian terbesar bangsa ini.
Sepatutnya peran dan niat baik
itu tidak disikapi dengan permusuhan karena itu berarti pengumuman berseberangan
dengan mayoritas bangsa ini.
Umat Islam tentu tidak akan
bisa menerima bila keberadaan mereka di negara yang dimerdekakan oleh para
pejuang dengan pekikan Allahu Akbar dan diraih kemerdekaan itu berkat rahmat
Allah swt, malah dipinggirkan bahkan dimusuhi oleh para penguasa yang dititipi
amanah untuk menjadi pemimpin.
Penguasa tidak perlu
mengemukakan alasan hak asasi dan toleransi karena tidak ada hak asasi yang
terampas. Bila sikap mencurigai bahkan keinginan mengatur fatwa yang
diperturutkan maka hak asasi mayoritas bangsa ini (umat Islam) malah yang
dikangkangi.
Adapun toleransi, sudah
saatnya toleransi antar umat beragama difahami dengan pemahaman yang berimbang
dan adil.
Tidak akan terwujud toleransi dan keharmonisan bila yang dituntut hanya sepihak
saja yaitu umat Islam.
Toleransi bukan berarti umat
Islam harus bergelimang dengan berbagai perayaan dan peribadatan agama lain.
Toleransi bukan berarti umat
Islam harus menerima apa saja yang dilakukan terhadap agama mereka bahkan
sampai penistaan terhadap Al-Qur’an.
Toleransi bukan berarti diam
saja melihat saudara-saudaranya dimurtadkan.
Toleransi bukan berarti
menyerahkan bangsa ini kepada mereka yang punya duit dan kekuasaan dan
menjadikan darah daging negeri ini menjadi budak.
Toleransi harus memberikan hak
dan membebankan kewajiban sesuai dengan porsi yang tepat.
Bila porsi mayoritas diberikan
kepada minoritas dab sebaliknya minoritas mendapatkan porsi mayoritas,
Itu tirani minoritas namanya !!!
Mungkin sebagian orang sangat
alergi mendengarkan istilah mayoritas fan minoritas. Menurut saya, orang
seperti itu tidak memahami kesatuan dalam keragaman yang tersimpan dalam
semboyan Bhinneka Tunggal Ika.
Kesatuan tidak bisa diwujudkan kalau kita tidak jujur dalam melihat realita.
Realita itulah yang menjadi ukuran bersikap tanpa ada yang dianaktirikan.
JIKA REALITA MAYORITAS DAN
MINORITAS ITU DIABAIKAN DAN MALAH DIPALSUKAN SEHINGGA MAYORITAS HARUS MENERIMA
PERLAKUAN SEOLAH MEREKA ADALAH MINORITAS BAHKAN PARA ULAMA MEREKA UNTUK MENJAGA
KEMURNIAN AJARAN MEREKA PUN HARUS MEMPERTIMBANGKAN SETUJU DAN TIDAK SETUJU
PENGUASA DENGAN TUNTUTAN KOORDINASI DAN SEMISALNYA MAKA BERARTI TELAH HANCUR
KEBHINNEKAAN YANG SELAMA INI KITA DENGUNGKAN.
Khitam tulisan ini, perlu
ditegaskan kembali bahwa kehadiran ulama dalam suatu kelembagaan seperti MUI
bukanlah kekuatan yang patut dicurigai apalagi dimusuhi.
Membungkam suara mereka dengan berbagai tekanan dan retorika apapun hanya akan
membawa celaka bangsa ini.
Bagi penguasa yang masih
merasa muslim, ketahuilah bahwa sikap memusuhi ulama dan fatwa ulama bisa
berakibat fatal bahkan sampai kepada tidak pantas menyandang predikat umat
Rasulullah saw sebagaimana sabda beliau:
لَيْسَ مِنَّا مَنْ لَمْ يُوَقِّرْ كَبِيْرَنَا وَيَرْحَمْ صَغِيْرَنَا وَلَمْ يَعْرِفْ لِعَالِمِنَا حَقَّهُ
“Bukan dari kalangan kami
orang yang tidak menghormati yang lebih tua dan menyayangi yang lebih muda di
antara kami. Dan menghargai hak orang yang alim di antara kami.” (HR Imam Ahmad
dari ‘Ubadah Ibn al-Shamit ra)
Semoga menjadi renungan demi
terjaganya Negara Indonesia.
Wallahu a’lam.
Posting Komentar