Halloween party ideas 2015

Go Ihsan - Oleh: Buya Gusrizal Gazahar
Ketua MUI Sumatera Barat

Setelah umat Islam berlapang dada di awal kemerdekaan dengan berobahnya sila pertama Pancasila dari konsep semula (Piagam Jakarta), harapan untuk menjalankan Islam dengan baik tertumpang pada sila 29 UUD 45.

Itu merupakan “‘ahdun”(perjanjian) yang tertera dalam undang-undang dasar negeri ini antara kaum muslimin dengan penguasa dan umat lain dalam negara ini.

Selama kebebasan menjalankan Islam terjamin dalam negara ini, umat Islam merasa nyaman dan terus punya harapan. Karena bagi kaum muslimin, kemerdekaan yang paling utama di muka bumi ini adalah kemerdekan mentaati Allah dengan beribadah menyembah-Nya karena itu lah tujuan utama penciptaan manusia sebagaimana firman Allah swt:

{وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ} [الذاريات : 56]
“Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku”. (QS. al-Dzariyat 51:56)

Ini lah kemerdekaan yang hakiki yaitu menjadi hamba Allah swt bukan menjadi hamba selain Allah swt.

Ini pulalah seruan para Nabi dan Rasul semenjak Nabi Adam as sampai Nabi Muhammad saw sebagaimana diberitakan oleh Allah swt dalam surah al-A’raf ayat ayat 65, 73, 85 dan ayat-ayat lainnya dalam berbagai surat Al-Qur’an al-Karim.

Dengan demikian, tiada arti kemerdekaan bila jiwa dan raga tidak merdeka menghambakan diri kepada Allah swt.


Kemerdekaan beribadah dalam Islam, perlu difahami dengan baik oleh penguasa negeri ini.
Ia bukanlah ancaman untuk umat lain tapi merupakan kenyamanan bagi umat lain dengan syarat adanya perhargaan dan penghormatan timbal balik bukan sepihak.

Kenapa saya katakan “kenyamanan” karena Islam lah agama yang menjamin dalam Kitab Sucinya dan dalam Sunnah Rasulnya, kebebasan manusia memilih dalam berkeimanan dengan segala konsekwensi yang harus mereka pikuk kelak di akhirat.

Bukankah Allah swt dalam firman-Nya mengatakan:
{وَقُلِ الْحَقُّ مِن رَّبِّكُمْ ۖ فَمَن شَاءَ فَلْيُؤْمِن وَمَن شَاءَ فَلْيَكْفُرْ ۚ إِنَّا أَعْتَدْنَا لِلظَّالِمِينَ نَارًا أَحَاطَ بِهِمْ سُرَادِقُهَا ۚ وَإِن يَسْتَغِيثُوا يُغَاثُوا بِمَاءٍ كَالْمُهْلِ يَشْوِي الْوُجُوهَ ۚ بِئْسَ الشَّرَابُ وَسَاءَتْ مُرْتَفَقًا} [الكهف : 29]

“Dan katakanlah: “Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu; maka barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan barangsiapa yang ingin (kafir) biarlah ia kafir”. Sesungguhnya Kami telah sediakan bagi orang orang zalim itu neraka, yang gejolaknya mengepung mereka. Dan jika mereka meminta minum, niscaya mereka akan diberi minum dengan air seperti besi yang mendidih yang menghanguskan muka. Itulah minuman yang paling buruk dan tempat istirahat yang paling jelek.” (QS. al-Kahfi 18:29)

Petunjuk Allah swt di atas telah diterapkan oleh Rasulullah saw dalam dakwah beliau. Perhatikan isi surat Rasulullah saw kepada Ahlul Kitab Yaman sebagaimana yang diriwayatkan oleh ‘Urwah Ibn al-Zubeir :

«.. وأنه من أسلم من يهودي أو نصراني فإنه من المؤمنين: له ما لهم وعليه ما عليهم، ومن كان على يهوديته أو نصرانيته فإنه لا يُفتَن عنها»
“…dan sesungguhnya siapa saja yang memeluk Islam dari yahudi atau nashrani maka dia adalah bagian dari kaum mukminin. Orang itu memiliki hak seperti kaum mukminin dan kewajiban seperti mereka. Dan siapa saja yang tetap berada dalam keyahudiannya atau kenashraniaannya, tidak difitnah dari agamanya”.

Dengan petunjuk yang jelas seperti itu, apakah masih ada kekhawatiran dan ketakutan seperti yang diderita oleh para penganut islamphobia ???

Kalau masih, berarti orang itu bukan lagi khawatir akan dirinya tapi memang berkeinginan mengenyahkan Islam dari negeri ini.

Untuk itu, perlu dicatat dengan baik !

Namun perlu diingat !
Setiap pemikiran atau agama apapun, demi untuk mempertahankan eksistensinya, pasti memiliki ajaran untuk mempertahankan diri.

Dengan itu lah ia menjaga pengikutnya dan pemahamannya.

Agama Islam sebagai satu-satunya agama yang diredhai Allah swt dalam keyakinan kaum muslimin dengan berlandaskan kepada Al-Qur’an :
إِنَّ الدِّينَ عِندَ اللَّهِ الْإِسْلَامُ ۗ.

“Sesungguhnya agama (yang diridhai) disisi Allah hanyalah Islam…” (QS. Ali ‘Imran 3:19),
juga memiliki ajaran untuk mempertahankan eksistensinya yaitu al-amru bil ma’ruf wa al-nahyu ‘an al-munkar dan ajaran jihad.

Kedua ajaran itu disyari’atkan untuk melindungi eksistensi dan kemurnian ajaran Islam dari berbagai perusakan baik dari dalam maupun dari luar.

Kedua ajaran tersebut tidak bisa dihilangkan karena dia merupakan bagian inti dari ajaran Islam tersebut.

Namun terkait dengan “perusakan dari luar”, umat Islam tidak sembarangan bisa menerapkan jihad karena banyak ketentuan (dhawabith) yang harus dipenuhi. Begitu pula al-amru bil ma’ruf wa al-nahyu ‘an al-munkar juga memiliki persyaratan dan ketentuan yang telah digariskan dalam syari’at.

Terkait dengan hubungan umat Islam dengan umat lain dalam kondisi saling menghormati, tidak ada perintah untuk memusuhi mereka yang berbeda aqidah bila tidak memusuhi umat Islam.

Ini tegas dalam firman Allah swt:
{لَّا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُم مِّن دِيَارِكُمْ أَن تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ ۚ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ} [الممتحنة : 8]

“Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.” (QS. al-Mumtahanah 60:8)

Petunjuk Allah swt dalam ayat di atas, diperkuat lagi oleh sabda Rasulullah saw:
عن عبد الله بن عمرو رضي الله عنهما، عن النَّبيِّ صلى الله عليه وسلم قال: (( مَن قتل نفساً معاهداً لم يرح رائحة الجنة، وإنَّ ريحها توجد من مسيرة أربعين عاماً )) (رواه البخاري)

“”Siapa saja membunuh orang kafir mu’ahid, ia tidak mencium wangi surga padahal wangi surga itu tercium dari jarak empat puluh tahun” (HR. Al Bukhari)
dan dalam hadits lainnya beliau bersabda:

رَسُولِ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ: أَلَا مَنْ ظَلَمَ مُعَاهِدًا أَوِ انْتَقَصَهُ أَوْ كَلَّفَهُ فَوْقَ طَاقَتِهِ أَوْ أَخَذَ مِنْهُ شَيْئًا بِغَيْرِ طِيبِ نَفْسٍ فَأَنَا حَجِيجُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ

“Ingatlah, siapa yang menzhalimi seorang mu’ahid, merendahkannya, membebaninya di atas kemampuannya atau mengambil sesuatu darinya tanpa keridhaan dirinya, maka saya adalah lawan bertikainya pada hari kiamat”. (HR. Abu Daud)

Dengan demikian, sebenarnya tidak perlu ada ketakutan dari siapapun terhadap umat Islam selama tidak ada niat untuk mengganggu mereka.

Dalam koridor yang telah dijelaskan di atas lah Majelis Ulama Indonesia (MUI) bersikap dengan berbagai keputusan fatwanya.

Semuanya merupakan tugas syar’i yang akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah swt.
Bila dilihat dari falsafah hidup berbangsa dan undang-undang yang berlaku di negara kita, tak satu pun yang dilanggar oleh tugas majelis ulama tersebut.

Bahkan keberadaan MUI dengan berbagai tugasnya itu merupakan perwujudan dari bhinneka tunggal ika karena yang difahami dari semboyan itu adalah berbeda-beda tapi tetap satu bukanlah yang berbeda menjadi satu.

Jadi, kalau memang ada ide atau pemikiran untuk mengawasi fatwa MUI agar sesuai dengan kemauan penguasa, berarti penguasa negeri ini telah bertindak melebihi Tuhan sehingga mengharamkan perbedaan. Sehingga ulama kaum muslimin pun tidak diizinkan untuk menjaga (ri’ayah) umat dari berbagai penyimpangan. Bahkan Lebih dari itu, para penguasa berarti telah merampas kemerdekaan umat Islam untuk menjalankan ajaran agama mereka.

Semestinya tuan-tuan penguasa tidak perlu sampai sejauh itu dihantui oleh ketakutan yang tak beralasan !

Jadilah pengatur dan penata yang profesional dan proporsional.

MUI dengan segala fatwanya hanya tertuju kepada umat Islam. Kalaupun ada yang tertuju kepada pemerintah, itu adalah dalam rangka tugas memberikan nasehat dan pandangan sebagai wujud kecintaan kepada tanah air ini dan dilindungi oleh undang-undang negara ini.

Hukum yang mereka fatwakan bukanlah hukum yang asing dari tengah bangsa ini. Bahkan hukum yang telah diakui dan dipedomani di pengadilan serta telah dirujuk dalam kehidupan berbangsa yaitu hukum Islam.

Hukum apa yang diterapkan di pengadilan agama ? yang dijalankan oleh kementerian agama dalam menata kehidupan berumah tangga ? Yang dipedomani oleh Bank Indonesia dalam mengizinkan produk perbankan syari’ah ? Yang menjadi pedoman dalam undang-undah zakat, wakaf dan lainnya ? Bukankah semua itu adalah bersumber dari syari’at Islam ?

Nah, hukum itu pula lah yang digali sumber dan dalilnya oleh para ulama ketika berfatwa. Mereka lakukan itu agar bangsa ini jangan berjalan menantang Allah swt.

Tidak perlu berkilah dan berhelah dengan “ini bukan negara Islam”.

Karena MUI tidak pernah goyah komitmen mereka terhadap NKRI bahkan komitmen itu ditegaskan kembali dalam MUNAS MUI terkahir.

Ulama hanya meminta agar penguasa bisa menjamin umat Islam menjalankan agamanya dengan nyaman serta dihormati sebagai bagian terbesar bangsa ini.

Sepatutnya peran dan niat baik itu tidak disikapi dengan permusuhan karena itu berarti pengumuman berseberangan dengan mayoritas bangsa ini.

Umat Islam tentu tidak akan bisa menerima bila keberadaan mereka di negara yang dimerdekakan oleh para pejuang dengan pekikan Allahu Akbar dan diraih kemerdekaan itu berkat rahmat Allah swt, malah dipinggirkan bahkan dimusuhi oleh para penguasa yang dititipi amanah untuk menjadi pemimpin.

Penguasa tidak perlu mengemukakan alasan hak asasi dan toleransi karena tidak ada hak asasi yang terampas. Bila sikap mencurigai bahkan keinginan mengatur fatwa yang diperturutkan maka hak asasi mayoritas bangsa ini (umat Islam) malah yang dikangkangi.

Adapun toleransi, sudah saatnya toleransi antar umat beragama difahami dengan pemahaman yang berimbang dan adil.

Tidak akan terwujud toleransi dan keharmonisan bila yang dituntut hanya sepihak saja yaitu umat Islam.

Toleransi bukan berarti umat Islam harus bergelimang dengan berbagai perayaan dan peribadatan agama lain.

Toleransi bukan berarti umat Islam harus menerima apa saja yang dilakukan terhadap agama mereka bahkan sampai penistaan terhadap Al-Qur’an.

Toleransi bukan berarti diam saja melihat saudara-saudaranya dimurtadkan.

Toleransi bukan berarti menyerahkan bangsa ini kepada mereka yang punya duit dan kekuasaan dan menjadikan darah daging negeri ini menjadi budak.

Toleransi harus memberikan hak dan membebankan kewajiban sesuai dengan porsi yang tepat.
Bila porsi mayoritas diberikan kepada minoritas dab sebaliknya minoritas mendapatkan porsi mayoritas,

Itu tirani minoritas namanya !!!

Mungkin sebagian orang sangat alergi mendengarkan istilah mayoritas fan minoritas. Menurut saya, orang seperti itu tidak memahami kesatuan dalam keragaman yang tersimpan dalam semboyan Bhinneka Tunggal Ika.

Kesatuan tidak bisa diwujudkan kalau kita tidak jujur dalam melihat realita. Realita itulah yang menjadi ukuran bersikap tanpa ada yang dianaktirikan.

JIKA REALITA MAYORITAS DAN MINORITAS ITU DIABAIKAN DAN MALAH DIPALSUKAN SEHINGGA MAYORITAS HARUS MENERIMA PERLAKUAN SEOLAH MEREKA ADALAH MINORITAS BAHKAN PARA ULAMA MEREKA UNTUK MENJAGA KEMURNIAN AJARAN MEREKA PUN HARUS MEMPERTIMBANGKAN SETUJU DAN TIDAK SETUJU PENGUASA DENGAN TUNTUTAN KOORDINASI DAN SEMISALNYA MAKA BERARTI TELAH HANCUR KEBHINNEKAAN YANG SELAMA INI KITA DENGUNGKAN.

Khitam tulisan ini, perlu ditegaskan kembali bahwa kehadiran ulama dalam suatu kelembagaan seperti MUI bukanlah kekuatan yang patut dicurigai apalagi dimusuhi.

Membungkam suara mereka dengan berbagai tekanan dan retorika apapun hanya akan membawa celaka bangsa ini.

Bagi penguasa yang masih merasa muslim, ketahuilah bahwa sikap memusuhi ulama dan fatwa ulama bisa berakibat fatal bahkan sampai kepada tidak pantas menyandang predikat umat Rasulullah saw sebagaimana sabda beliau:

لَيْسَ مِنَّا مَنْ لَمْ يُوَقِّرْ كَبِيْرَنَا وَيَرْحَمْ صَغِيْرَنَا وَلَمْ يَعْرِفْ لِعَالِمِنَا حَقَّهُ

“Bukan dari kalangan kami orang yang tidak menghormati yang lebih tua dan menyayangi yang lebih muda di antara kami. Dan menghargai hak orang yang alim di antara kami.” (HR Imam Ahmad dari ‘Ubadah Ibn al-Shamit ra)

Semoga menjadi renungan demi terjaganya Negara Indonesia.

Wallahu a’lam.

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.