Go Ihsan - Oleh: Shalih Hasyim*
Sekali waktu, tengoklah sepanjang jalan M.H. Thamrin dan jendral Sudirman di Jakarta. Antrian orang-orang yang tersekap dan terpenjara di balik kaca-kaca mobil, dan terpelanting dalam kerumunan.
Sekali waktu, tengoklah sepanjang jalan M.H. Thamrin dan jendral Sudirman di Jakarta. Antrian orang-orang yang tersekap dan terpenjara di balik kaca-kaca mobil, dan terpelanting dalam kerumunan.
Para
eksekutif muda yang mengejar karir duniawi, tak sempat bersantai dan makan di
rumah bersama orang-orang terdekatnya.
Dia harus
membawa roti yang telah disiapkan pembantu dan harus di santapnya dengan
mencuri waktu, sembari mengendarai mobil, diiringi oleh gemerisik musik hard
rock yang melantun di car setereo yang mutakhir. Sementara itu segerombolan
manusia terantuk-antuk di dalam bus yang padat dan pengap. Di dera oleh
kecemasan, sambil terus berjuang menitipkan badan walaupun berdesak-desakan,
sembari terus mewaspadai ada tangan-tangan jahil yang membongkar dompet celana
saku belakang.
Sekelumit
pemandangan tadi, menganggambarkan bagaimana hidup didera dengan segudang
keinginan, obsesi-obsesi, dipacu dan di buru oleh tetek bengek yang terasa
semakin tidak perlu.
Hidup yang
retak-retak, terbelah, tidak utuh lagi. Hidup dalam perlombaan dan persaingan
yang ketat, tetapi tidak sehat. Hidup selalu berjejal-jejal, berhimpitan,
tetapi tidak ada kedekatan, erat dan keakraban hati. Saling membelakangi,
saling memarahi, saling mendengki, saling menindas, saling adu otot. Manusia
bagai serigala yang lain.
Dunia kita
yang sangat luas ini, akhirnya terasa sempit. Dunia yang terang benderang kita
terasa gelap. Dunia kita yang ramai ini terasa sepi. Dunia yang dipadati
masyarakat sipil ini, sesungguhnya berkarakter militer. Penduduk yang sehat
secara pisik, tetapi ruhaninya sakit, kurus. Dunia yang maju dalam iptek,
tetapi berada di pinggir pada aspak imtaq.
Dunia yang
maju dalam berbagai bidang, tetapi terbelakang dalam bidang akhlak. Dunia yang
kita harapkan bisa membasahi kerongkongan ini, setelah diperoleh dan berlebih,
terbukti hanya fatamorgana, menipu.
“Dan
orang-orang kafir amal-amal mereka adalah laksana fatamorgana di tanah yang
datar, yang disangka air oleh orang-orang yang dahaga, tetapi bila didatanginya
air itu dia tidak mendapatinya sesuatu apapun. dan didapatinya (ketetapan)
Allah disisinya, lalu Allah memberikan kepadanya perhitungan amal-amal dengan
cukup dan Allah adalah sangat cepat perhitungan-Nya.”
Ayat ini
menjelaskan, sesungguhnya, orang-orang kafir –karena amal-amal mereka tidak
didasarkan atas iman, hanya mengejar kepentingan dunia saja– tidaklah
mendapatkan balasan dari Allah SWT di akhirat walaupun di dunia mereka mengira
akan mendapatkan balasan atas amalan mereka itu. Tapi tidak sebanding dengan
balasan di akhirat.
Dunia modern
adalah lukisan wajah yang selalu suram, murung, yang tersisa hanya satu pilihan
pahit. Kita harus bertanding, dan harus menjadi pemenang, menjadi number one,
atau sebaliknya menjadi pecundang. Sakti atau mukti (menjadi pemenang atau
bercerai dari dunia ini selama-lamanya).
Semuanya
harus dihitung secara rigit, untung atau rugi. Bangkrut atau jaya secara
material. Tiada ada pertemanan yang bersifat permanen, yang abadi adalah
kepentingan duniawi, pengaruh, tahta dan wanita. Kemanusiaan adalah sebuah
komoditi, dan kata cinta kasih hanya sebagai hiasan bibir, tak lebih dari
lipstik dan kosmetik. Itulah wajah dunia materialis kita yang disulut oleh
paham hedonisme, yang berorientasi pada kepuasan sesaat, uang, peluang dan
huru-hara. Berjuang identik dengan mengumpulkan beras, baju dan uang. Memproduk
UUD akan cepat selesai jika Ujung-Ujungnya Duwit.
Janganlah
berbicara tentang hari esok. Itu urusan yang belum jelas kepastiannya secara
empiris. Kehidupan itu hanya untuk hari ini, kekinian dan kedisinian. Janganlah
kamu perdulikan orang lain, dirimu adalah segala-galanya. Kamu tidak ada kaitan
langsung dengan mereka. Nafsi, nafsi.
Kamu..kamu.. saya..saya. Perkuat dominasi
dirimu supaya populer, sekalipun harus nabrak sana…nabrak sini. Ingatlah pameo
orang Yahudi, Farriq Tu’rof (yang penting beda, supaya dikenal). Ciptakan
kondisi agar semua orang bertekuk lutut di hadapan pengaruh kekuasaanmu.
Fenomena
kehidupan diatas gambaran kehidupan kaum sekuler. Yang berusaha secara gigih
menceraikan dunia dan akhirat. Memisahkan manusia dari Pencipta. Melepas aspek
lahir dari batin. Lari dari kontrol agama. Mereka mempersepsikan agama bagaikan
musium purba, untuk menyimpan benda-benda antik. Agama berisi serangkaian
aturan yang memenjara potensi manusiawi, kata mereka.
“Dan mereka
berkata: “Kehidupan ini tidak lain hanyalah kehidupan di dunia saja, kita mati
dan kita hidup dan tidak ada yang akan membinasakan kita selain masa”, dan
mereka sekali-kali tidak mempunyai pengetahuan tentang itu, mereka tidak lain
hanyalah menduga-duga saja.” (QS. Al-Jatsiyah (45) : 24).
Kaum sekuler
memandang waktu adalah uang. Semua aspek kehidupan ini harus dinilai dari sisi
materi. Paham inilah yang membidani kehidupan kapitalis, hedonis, konsumtif.
Semakin banyak mereka kumpulkan, indikator kesuksesan seseorang. Segala cara
dan tujuan adalah legal, jika mendatangkan uang (al-Ghoyatu tubarrirul
Wasilah). Pokoknya kehidupan ini serba boleh (ibahiyah).
Nilai-nilai moral yang
diucapkan hanya sebagai basa-basi.
Dunia
bendawi kita gelisah dan tercampak dalam kerumitan. Karena harus menampakkan 10
wajah (dosomuka, Jawa). Beradaptasi dengan segala kondisi, yang penting
mendapatkan keuntungan. Transaksi milyaran harus segera dilakukan, sekalipun
harus merugikan orang banyak. Orang lain bukan dirinya. Yang menjadikannya
survive dalam kehidupan adalah para pesaing dan musuh. Yang kalah bersaing,
harus siap diperbudak.
Orang yang
kalah dipelihara untuk mendukung ambisinya. Dan bagian dari alat produksi
(bukan manusia yang berperasaan) yang terus digenjot dengan target-target
keuntungan yang berlipat. Agar bisa mempertahankan status quo, pengaruh dll.
Inilah yang menjadikan hubungan sosial antar sesama, kering. Komunikasi antar
sesama, tidak care. Orang lain dianggap pesaing, musuh, bukan mitra dan
anugrah.
Dengan
memandang pihak lain musuh, dan perlu dilestarikan adanya pesaing, agar ada
gerak dan dinamika, ada tempat membuang sampah, demi mempertontonkan kekuatan
dan keperkasaannya. Jika tidak ada lawan, maka harus berusaha menciptakan
lawan-lawan baru. Tidaklah heran, apabila ada beberapa pengamat dunia
berpendapat bahwa setelah dunia sosialis dan kapitalis runtuh, negara-negara
Barat mencari musuh baru. Konon, mata mereka sedang melirik musuk baru, ummat
Islam.
Ummat Islam
harus meyakinkan diri dan orang lain, bahwa ada fase kehidupannnya yang telah
meraih kejayaannya secara utuh. Memadukan kekuatan dan kebenaran, menyatukan
otak dan hati, mensinergikan imtaq dan iptek, menyambungkan jembatan dunia
menuju akhirat. Sehingga ummat Islam yang kembali kepada ajarannya yang
orisinil dan otentik, ia akan berbahagia di dunia dan selamat di akhirat.
Mereka menjadi anak akhirat (ibnul akhirah) yang sukses menaklukkan dunia.
Dunia adalah
wasilah (sarana) menuju tujuan akhir (ghoyah, akhirat). Bisa jadi sarana
prasarana dihukumi tujuan jika mendekatkan jarak ke akhirat. Sesungguhnya dunia
dan seisinya ini tidak berharga, kecuali di dalamnya masih ada peluang untuk
istighfar dan taubat. Memohon agar kelemahan demi kelemahannya di tutupi oleh
Allah SWT. Sehingga grafik kualitas dirinya terdongkrak. Adakah yang lebih
berharga di dunia ini melebihi dari terbukanya peluang untuk menata ulang
struktur kepribadian kita ?.
“Ketahuilah,
bahwa sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah permainan dan suatu yang
melalaikan, perhiasan dan bermegah- megah antara kamu serta berbangga-banggaan
tentang banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang tanam-tanamannya
mengagumkan para petani, kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat
warnanya kuning kemudian menjadi hancur. dan di akhirat (nanti) ada azab yang
keras dan ampunan dari Allah serta keridhaan-Nya. dan kehidupan dunia ini tidak
lain hanyalah kesenangan yang menipu.” (QS. Al-Hadid (57) : 20).
Ummat Islam
dituntut sebagai khairu ummah, untuk menyiram benak publik yang sedang lemes,
loyo, kurang bertenaga, tidak berstamina, karena serangan berbagai penyakit.
Kita harus mampu mengarahkan kehidupan mereka yang terlanjur membuat jiwa
mereka terbelah. Kita tidak mungkin mengisolasi diri, berada di balik layar,
berada di pinggir dalam panggung kehidupan ini. Ummat Islam dituntut
mukhtalithun (membaur dengan mereka), wa lakin mutamyyizun (memiliki
keistimewaan). Tidak larut dalam kubangan lumpur materialisme mereka, tetapi
melepaskan mereka, agar bisa menikmati dan memaknai potensialisasi dan
aktualisasi (kiprah) kehidupan mereka di dunia.
Kita tidak
mungkin menyelamatkan mereka, jika kita inklusif dalam kubangan mazhab, partai,
ashabiyyah, ananiyyah, suku dan etnis. Seakan-akan kita yang patut memonopoli,
memiliki otoritas kebenaran, sekalipun jauh dari kebenaran.
Ada tiga
kunci untuk mensukseskan peran yang kita ambil, sebagai penyeru kepada Allah
SWT. Yaitu; pertama, bersatu, tegas dalam prinsip aqidah (iman), ushul. Kedua,
toleran dalam furu’iyah. Ketiga, Fastabiqul khairat dalam amal shalih
(prestasi). Amal shalih yang mengangkat derajat kita dan menghapus dosa kita
serta sebagai wasilah kita dalam mengurai kerumitan-kerumitan.
Kita
mengedepankan berbagai kesamaan kita, aqidah, ibadah dan akhlaq (tujuan
puncak). Tetapi kita menyederhanakan dalam wasilah (media) menuju tujuan.
Silahkan kreatif, dinamis, inovatif dalam sarana prasarana. Tetapi, kita harus
sami’na wa ‘atho’ana dalam memandang niat, tujuan. Kita kumandangkan slogan :
minallah (dari Allah), billah (dengan cara Allah), ilallah (menuju Allah).
Paham
material tidak akan berhenti berproduksi untuk menawarkan pahamnya dengan
metode super canggih, berbaju teknologi komunikasi. Kuku tajamnya secara halus,
pelan tapi pasti mencengkram hati anak-anak kita yang masih lugu, polos. Banyak
diantara mereka yang menjadi korban penjajahan duniawi, sehingga terpelanting
dari ikatan agama (uculuddin, Jawa), lepas tali agamanya. Na’udzu billah. Pada
akhirnya semakin banyak menikmati dunia, bagaikan meminum air laut. Batinnya
tersiksa. Karena mengarungi samudera kehidupan tanpa arah, tanpa pegangan.
Budaya
materialisme mengantarkan pengagumnya menjadi pemangsa bagi yang lain. Hari ini
makan apa, besuk, lusa, makan siapa. Dan, endingnya, apa yang dimilikinya
menghancurkan kehidupannya secara total.
“Pada hari
dipanaskan emas perak itu dalam neraka Jahannam, lalu dibakar dengannya dahi
mereka, Lambung dan punggung mereka (lalu dikatakan) kepada mereka: “Inilah
harta bendamu yang kamu simpan untuk dirimu sendiri, Maka rasakanlah sekarang
(akibat dari) apa yang kamu simpan itu.”(QS. At Taubah (9) : 35).
Semoga, kita
bagian dari orang-orang yang rugi, sebagai orang yang akhirnya sia-sia karena
mengejar dunia.
Posting Komentar