Go Ihsan - Ribuan Muslim Rohingya dibantai dalam tiga hari terakhir di
negara bagian Rakhine, Myanmar Barat, demikian pernyataan Dewan Rohingya Eropa,
European Rohingya Council (ERC), Senin (28/08).
Juru bicara Dewan Rohingya Eropa (ERC) Anita Schug saat
berbicara dengan Anadolu mengatakan bahwa antara 2.000 sampai 3.000 Muslim
telah meninggal dunia di negara bagian Rakhine, sementara ribuan lainnya
mengalami luka-luka dalam apa yang dia gambarkan sebagai “slow-burning
genocide”, pembantaian perlahan.
“Ini [situasi di Rakhine] adalah “slow-burning genocide”
[pembantaian perlahan] yang terus berlanjut,” kata Schug.
European Rohingya Council (ERC) menuding Militer Myanmar
berada di balik kematian ribuan Muslim tersebut.
Anita Schug mengatakan hampir seribu umat Islam dibantai
pada hari Ahad (27/08) di Desa Saugpara, Rathedaung.
Lebih dari 100.000 warga sipil telah mengungsi di Rakhine,
sementara 2.000 Muslim lainnya terjebak di perbatasan Myanmar-Bangladesh yang
ditutup oleh pemerintah Bangladesh, papar Schug.
Jubir ERC ini juga mengatakan bahwa seratus penduduk Desa
Auk Nan Yar diculik paksa dan dibawa ke tempat yang tidak diketahui pada hari
Rabu (30/08), Schug menambahkan bahwa banyak kekhawatiran akan keselamatan
mereka.
Serangan mematikan terhadap pos-pos perbatasan di negara
bagian Rakhine, Myanmar Barat, terjadi pada hari Jumat (25/08), mengakibatkan
korban sipil massal, menyebabkan lebih dari 100 orang tewas. Kemudian, laporan
media muncul mengatakan bahwa pasukan keamanan Myanmar dilaporkan telah memindahkan
ribuan penduduk desa-desa Muslim Rohingya, bahkan membakar rumah-rumah mereka
dengan mortir dan senapan mesin.
European Rohingya Council (ERC) mengatakan bahwa banyak
orang termasuk wanita dan anak-anak berlindung di hutan, sementara yang lainnya
walau penuh risiko menyeberangi perbatasan Myanmar-Bangladesh, sementara
sebagian besar kini terdampar di pinggiran Sungai Naf ditengah pemerintah
Bangladesh yang terus memperketat keamanan perbatasannya dan mendorong mundur
para pengungsi yang melarikan diri ke Bangladesh, agar kembali ke Rakhine.
“Kami memohon kepada masyarakat internasional untuk
menerapkan ‘Tanggung Jawab untuk Melindungi’ karena kini penduduk sipil
Rohingya menjadi korban dari episode lain dari meluasnya ‘kejahatan terhadap
kemanusiaan’ di bawah tangan besi Angkatan Bersenjata Myanmar,” kata European
Rohingya Council (ERC) dalam pernyataan
persnya, dikutip dari AA.
Dewan Rohingya Eropa juga mengatakan bahwa waktu dirilisnya
laporan akhir Komisi Penasihat Negara
Bagian Rakhine yang juga mantan Sekjen PBB Kofi Annan bertepatan dengan
momentum insiden kekerasan di Rakhine dan ini bukanlah sebuah kebetulan.
“Ini adalah usaha yang diperhitungkan untuk merongrong
rekomendasi komisi [penasihat] tersebut, yang mengusulkan pemberian status
kewarganegaraan Rohingya, kebebasan bergerak, akses kesehatan dan pendidikan,
akses terhadap bantuan kemanusiaan, serta akses warga sipil dan media,” pungkas
ERC.
Ditrik Maungdaw terletak di sepanjang Sungai Naf yang
memisahkan Myanmar dan Bangladesh di Rakhine Utara.
Dari hampir 90 korban tewas diantarnya merupakan seorang
tentara, 10 petugas polisi, seorang petugas imigrasi dan 77 gerilyawan tewas
dalam serangan tersebut dan 15 orang luka-luka, menurut Kantor Penasihat Negara
Aung San Suu Kyi dalam sebuah pernyataan. Dua militan ARSA ditangkap.
Dikabarkan bahwa beberapa jembatan telah hancur dalam serangan tersebut dan
tiga kendaraan polisi terkena ranjau darat.
Seorang pejabat negara bagian Rakhine mengatakan kepada
Anadolu bahwa kebijakan jam malam telah diberlakukan di Distrik Maungdaw,
menggantikan jam malam parsial yang telah berlangsung bertahun-tahun lamanya.
Setelah penyelidikan sepanjang tahun mengenai situasi di
Rakhine, Komisi Penasihat yang dipimpin Kofi Annan menyerukan “tindakan
mendesak dan berkelanjutan di sejumlah bidang untuk mencegah kekerasan, menjaga
perdamaian, menumbuhkan rekonsiliasi dan menawarkan harapan kepada penduduk
yang tertindas.”
Sebuah operasi keamanan yang diluncurkan pada bulan Oktober
tahun lalu di Maungdaw, wilayah dimana pnduduk Rohingya menjadi mayoritas. Tak
lama kemudian, Operasi militer di Maungdaw menyebabkan PBB merilis laporan
mengenai pelanggaran-pelangggaran hak asasi manusia oleh pasukan keamanan
Myanmar yang mengindikasikan kejahatan terhadap kemanusiaan.
PBB mendokumentasikan pemerkosaan kelompok massal,
pembunuhan, termasuk bayi dan anak-anak, pemukulan dan penghilangan brutal.
Perwakilan Rohingya mengatakan sekitar 400 penduduk tewas dalam operasi militer
tersebut.[Panjimas]
Posting Komentar