Go Ihsan - Masa
haid dan nifas adalah masa dilarang untuk melakukan shalat. Hikmahnya, gerakan
shalat bisa menimbulkan masyaqqah (masalah) bagi wanita yang tengah haid.
Misalkan, posisi sujud dan rukuk bisa membuat darah kotor mengalir turun
kembali ke rahim. Tentu ini sangat berbahaya. Wanita yang sedang haid dan nifas
juga disarankan tidak melakukan aktivitas dan olahraga berat.
Keistimewaan lagi bagi wanita, mereka tak perlu pula mengqada (mengganti) shalat setelah mereka suci. Hal ini sebagaimana ditetapkan Mazhab Ahlus Sunnah wal Jama'ah. Berbeda dengan kalangan khawarij yang mewajibkan kaum wanitanya mengganti shalat.
Hal ini diterangkan dalam hadis Aisyah RA, Mu’adzah mengatakan, ia pernah bertanya kepada Aisyah RA tetang persoalan mengqada shalat bagi wanita yang sedang haid dan nifas. Aisyah RA lantas bertanya, apakah ia termasuk orang haruriyyah? (orang dari Harura, sebuah kampung di pinggir Kota Kufah yang menjadi tempat berkumpulnya generasi awal kaum khawarij). Mu'azah menjawab, “Aku bukan orang haruriyyah, tetapi aku hanya bertanya. Aisyah RA pun menjelaskan, hal tersebut pernah dia tanyakan kepada Rasulullah SAW. “Kami diperintahkan untuk mengqada puasa, tetapi tidak diperintahkan untuk mengqada shalat.” (HR Muslim).
Hadis lain yang lebih menguatkan seperti yang disebutkan Aisyah RA, “Fatimah binti Abi Hubaisy mendapat darah istihadha (haid), maka Rasulullah SAW bersabda, “Darah haid itu berwarna hitam dan dikenali. Bila yang yang keluar seperti itu, janganlah shalat. Bila sudah selesai, berwudhulah dan lakukan shalat.” (HR Abu Daud dan An-Nasai).
Kendati tidak mengqada shalat yang ditinggalkan semasa haid atau nifas, beberapa kondisi tertentu perlu diperhatikan. Mazhab Syafi'iyah yang banyak dipakai dalam hal ini memerinci kondisi-kondisi wanita yang haid.
Keistimewaan lagi bagi wanita, mereka tak perlu pula mengqada (mengganti) shalat setelah mereka suci. Hal ini sebagaimana ditetapkan Mazhab Ahlus Sunnah wal Jama'ah. Berbeda dengan kalangan khawarij yang mewajibkan kaum wanitanya mengganti shalat.
Hal ini diterangkan dalam hadis Aisyah RA, Mu’adzah mengatakan, ia pernah bertanya kepada Aisyah RA tetang persoalan mengqada shalat bagi wanita yang sedang haid dan nifas. Aisyah RA lantas bertanya, apakah ia termasuk orang haruriyyah? (orang dari Harura, sebuah kampung di pinggir Kota Kufah yang menjadi tempat berkumpulnya generasi awal kaum khawarij). Mu'azah menjawab, “Aku bukan orang haruriyyah, tetapi aku hanya bertanya. Aisyah RA pun menjelaskan, hal tersebut pernah dia tanyakan kepada Rasulullah SAW. “Kami diperintahkan untuk mengqada puasa, tetapi tidak diperintahkan untuk mengqada shalat.” (HR Muslim).
Hadis lain yang lebih menguatkan seperti yang disebutkan Aisyah RA, “Fatimah binti Abi Hubaisy mendapat darah istihadha (haid), maka Rasulullah SAW bersabda, “Darah haid itu berwarna hitam dan dikenali. Bila yang yang keluar seperti itu, janganlah shalat. Bila sudah selesai, berwudhulah dan lakukan shalat.” (HR Abu Daud dan An-Nasai).
Kendati tidak mengqada shalat yang ditinggalkan semasa haid atau nifas, beberapa kondisi tertentu perlu diperhatikan. Mazhab Syafi'iyah yang banyak dipakai dalam hal ini memerinci kondisi-kondisi wanita yang haid.
Gugurnya
kewajiban shalat hanya jika wanita haid berada penuh dalam waktu shalat.
Bagaimana jika hanya mengalami haid pada sebagian waktu shalat? Misalkan, haid
baru datang setelah pertengahan waktu shalat. Atau haid selesai, sedangkan
waktu shalat masih tersisa.
Mazhab Syafi'iyah berpendapat, dalam kondisi ini, wajib bagi wanita untuk melaksanakan shalat. Jika wanita telah berakhir masa haidnya, sedangkan waktu shalat masih tersisa, ia wajib bersuci kemudian shalat. Hal ini disebabkan adanya durasi waktu di mana ia berada dalam keadaan suci.
Misalkan, ketika masuk waktu Zhuhur seorang wanita masih dalam keadaan haid. Namun, pukul 14.00 dipastikan darah haidnya telah berhenti mengalir. Berarti dia telah suci dan waktu shalat Zhuhur masih ada. Maka harus segera mandi wajib dan melaksanakan shalat Zhuhur.
Demikian pula kondisinya bila wanita yang melewati waktu shalat dalam kondisi suci. Ketika masuk waktu shalat, ia sedang dalam kondisi tertentu yang belum memungkinkannya untuk segera melaksanakan shalat. Misalkan, dalam perjalanan atau uzur-uzur lainnya. Namun, menjelang waktu shalat tersebut habis, darah haidnya sudah keluar.
Dalam hal ini, ia mengqada (mengganti) shalatnya tersebut setelah ia suci dari haid. Kewajiban shalatnya tidak gugur karena ia ada dalam keadaan suci di waktu shalat. Wanita tetap diwajibkan mengganti shalat yang terlewat, meski pada sebagian waktunya berada dalam keadaan haid.
Mazhab Syafi'iyah berpendapat, dalam kondisi ini, wajib bagi wanita untuk melaksanakan shalat. Jika wanita telah berakhir masa haidnya, sedangkan waktu shalat masih tersisa, ia wajib bersuci kemudian shalat. Hal ini disebabkan adanya durasi waktu di mana ia berada dalam keadaan suci.
Misalkan, ketika masuk waktu Zhuhur seorang wanita masih dalam keadaan haid. Namun, pukul 14.00 dipastikan darah haidnya telah berhenti mengalir. Berarti dia telah suci dan waktu shalat Zhuhur masih ada. Maka harus segera mandi wajib dan melaksanakan shalat Zhuhur.
Demikian pula kondisinya bila wanita yang melewati waktu shalat dalam kondisi suci. Ketika masuk waktu shalat, ia sedang dalam kondisi tertentu yang belum memungkinkannya untuk segera melaksanakan shalat. Misalkan, dalam perjalanan atau uzur-uzur lainnya. Namun, menjelang waktu shalat tersebut habis, darah haidnya sudah keluar.
Dalam hal ini, ia mengqada (mengganti) shalatnya tersebut setelah ia suci dari haid. Kewajiban shalatnya tidak gugur karena ia ada dalam keadaan suci di waktu shalat. Wanita tetap diwajibkan mengganti shalat yang terlewat, meski pada sebagian waktunya berada dalam keadaan haid.
Kondisi
lainnya, misalkan seorang wanita menunaikan shalat Zhuhur. Setelah selesai satu
rakaat, ia merasakan darah haidnya keluar. Maka dalam hal ini ia wajib mengqada
shalatnya setelah ia suci dari haidnya nanti. Ulama fikih mengatakan, ia bisa
melanjutkan shalatnya sampai selesai sebagai langkah taaddub (adab dalam
shalat) yang tidak main asal meninggalkan shalat saja.
Demikian juga seorang wanita yang ragu kapan persisnya darah haidnya akan selesai. Ia memutuskan untuk menunggu dari waktu Zhuhur hingga Ashar. Ternyata memang haid sudah selesai. Hal ini disyariatkan, sebagaimana merujuk pada kaidah fikih Da' ma yuribuka ila ma la yuribuka (tinggalkan apa yang diragui, lakukan apa yang diyakini). Ia menunggu sampai ia benar-benar yakin bahwa darah haidnya tidak lagi mengalir.
Dalam hal ini, wanita tersebut wajib untuk mandi janabah (mandi wajib) dan menjamak shalat Zhuhur dan Ashar sekaligus. Hal tersebut disebabkan kewajiban Zhuhur baginya tidaklah gugur karena ia berada dalam waktu shalat dalam keadaan suci.
Adapun Mazhab Hanafiyah tidaklah demikian. Bagi wanita yang ketika masuk waktu shalat fardhu dalam keadaan suci, lalu di tengah waktu shalat dia mendapatkan darah haid padahal belum sempat shalat, kewajiban shalatnya menjadi gugur.
Wanita tersebut tidak perlu mengqada shalat bila nanti telah suci. Namun, yang paling rajih (kuat) dalam masalah ini adalah pendapat dari Mazhab Syafi'iyah. Pendapat tersebut juga diambil sebagai langkah ikhtiyath (kehati-hatian) dalam urusan shalat. Wallahu'alam. (Republika)
Demikian juga seorang wanita yang ragu kapan persisnya darah haidnya akan selesai. Ia memutuskan untuk menunggu dari waktu Zhuhur hingga Ashar. Ternyata memang haid sudah selesai. Hal ini disyariatkan, sebagaimana merujuk pada kaidah fikih Da' ma yuribuka ila ma la yuribuka (tinggalkan apa yang diragui, lakukan apa yang diyakini). Ia menunggu sampai ia benar-benar yakin bahwa darah haidnya tidak lagi mengalir.
Dalam hal ini, wanita tersebut wajib untuk mandi janabah (mandi wajib) dan menjamak shalat Zhuhur dan Ashar sekaligus. Hal tersebut disebabkan kewajiban Zhuhur baginya tidaklah gugur karena ia berada dalam waktu shalat dalam keadaan suci.
Adapun Mazhab Hanafiyah tidaklah demikian. Bagi wanita yang ketika masuk waktu shalat fardhu dalam keadaan suci, lalu di tengah waktu shalat dia mendapatkan darah haid padahal belum sempat shalat, kewajiban shalatnya menjadi gugur.
Wanita tersebut tidak perlu mengqada shalat bila nanti telah suci. Namun, yang paling rajih (kuat) dalam masalah ini adalah pendapat dari Mazhab Syafi'iyah. Pendapat tersebut juga diambil sebagai langkah ikhtiyath (kehati-hatian) dalam urusan shalat. Wallahu'alam. (Republika)
Posting Komentar