Go Ihsan - Agama Islam
sangat memuliakan dan mengagungkan kedudukan kaum perempuan, dengan menyamakan
mereka dengan kaum laki-laki dalam mayoritas hukum-hukum syariat, dalam
kewajiban bertauhid kepada Allah, menyempurnakan keimanan, dalam pahala dan
siksaan, serta keumuman anjuran dan larangan dalam Islam.
Allah Ta’ala
berfirman,
{وَمَنْ يَعْمَلْ
مِنَ الصَّالِحَاتِ مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَأُولَئِكَ
يَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ وَلا يُظْلَمُونَ نَقِيرًا}
“Barangsiapa
yang mengerjakan amal-amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan sedang dia
orang yang beriman, maka mereka itu akan masuk ke dalam surga dan mereka tidak
dianiaya walau sedikitpun” (QS an-Nisaa’:124).
Dalam ayat lain
Allah Ta’ala berfirman,
{مَنْ عَمِلَ
صَالِحاً مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً
طَيِّبَةً وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُمْ بِأَحْسَنِ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ}
“Barangsiapa
yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan
beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik (di
dunia), dan sesungguhnya akan Kami berikan balasan kepada mereka (di akhirat)
dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan” (QS
an-Nahl:97)[1].
Sebagaimana Islam juga sangat memperhatikan
hak-hak kaum perempuan, dan mensyariatkan hukum-hukum yang agung untuk menjaga
dan melindungi mereka[2].
Syaikh Shaleh al-Fauzan berkata, “Wanita
muslimah memiliki kedudukan (yang agung) dalam Islam, sehingga disandarkan
kepadanya banyak tugas (yang mulia dalam Islam).
Oleh karena itu, Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam selalu menyampaikan nasehat-nasehat yang khusus bagi kaum wanita[3],
bahkan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menyampaikan wasiat khusus tentang
wanita dalam kutbah beliau di Arafah (ketika haji wada’)[4]. Ini semua
menunjukkan wajibnya memberikan perhatian kepada kaum wanita di setiap
waktu…[5].
Tugas dan peran penting wanita
Agungnya tugas dan peran wanita ini
terlihat jelas pada kedudukannya sebagai pendidik pertama dan utama generasi
muda Islam, yang dengan memberikan bimbingan yang baik bagi mereka, berarti
telah mengusahakan perbaikan besar bagi masyarakat dan umat Islam.
Syaikh Muhammad bin Shaleh al-Utsaimin
berkata, “Sesungguhnya kaum wanita memiliki peran yang agung dan penting dalam
upaya memperbaiki (kondisi) masyarakat, hal ini dikarenakan (upaya) memperbaiki
(kondisi) masyarakat itu ditempuh dari dua sisi:
- Yang pertama: perbaikan (kondisi) di
luar (rumah), yang dilakukan di pasar, mesjid dan tempat-tempat lainnya di luar
(rumah). Yang perbaikan ini didominasi oleh kaum laki-laki, karena merekalah
orang-orang yang beraktifitas di luar (rumah).
- Yang kedua: perbaikan di balik dinding
(di dalam rumah), yang ini dilakukan di dalam rumah. Tugas (mulia) ini umumnya
disandarkan kepada kaum wanita, karena merekalah pemimpin/pendidik di dalam
rumah, sebagaimana firman Allah Ta’ala kepada istri-istri
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
{وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلَا
تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الْأُولَى، وَأَقِمْنَ الصَّلَاةَ
وَآَتِينَ الزَّكَاةَ وَأَطِعْنَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ، إِنَّمَا يُرِيدُ اللَّهُ
لِيُذْهِبَ عَنْكُمُ الرِّجْسَ أَهْلَ الْبَيْتِ وَيُطَهِّرَكُمْ تَطْهِيرًا}
“Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu, dan
janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang
dahulu, dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan taatilah Allah dan
Rasul-Nya. Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu,
hai ahlul bait, dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya” (QS al-Ahzaab:33).
Oleh karena itu, tidak salah kalau
sekiranya kita mengatakan: bahwa sesungguhnya kebaikan separuh atau bahkan
lebih dari (jumlah) masyarakat disandarkan kepada kaum wanita. Hal ini
dikarenakan dua hal:
1. Jumlah kaum wanita sama dengan jumlah
laki-laki, bahkan lebih banyak dari laki-laki. Ini berarti umat manusia yang
terbanyak adalah kaum wanita, sebagaimana yang ditunjukkan dalam hadits-hadits
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam…Berdasarkan semua ini, maka kaum
wanita memiliki peran yang sangat besar dalam memperbaiki (kondisi) masyarakat.
2. Awal mula tumbuhnya generasi baru
adalah dalam asuhan para wanita, yang ini semua menunjukkan mulianya tugas kaum
wanita dalam (upaya) memperbaiki masyarakat[6].
Makna inilah yang diungkapkan seorang penyair
dalam bait syairnya:
الأم مدرسة إذا أعددتَها
أعددتَ شَعْباً طَيِّبَ الأعراق
Ibu adalah sebuah madrasah (tempat
pendidikan) yang jika kamu menyiapkannya
Berarti kamu menyiapkan (lahirnya) sebuah
masyarakat yang baik budi pekertinya[7]
Bagaimana seorang wanita mempersiapkan
dirinya agar menjadi pendidik yang baik bagi anak-anaknya?
Agar seorang wanita berhasil mengemban
tugas mulia ini, maka dia perlu menyiapkan dalam dirinya faktor-faktor yang
sangat menentukan dalam hal ini, di antaranya:
1- Berusaha memperbaiki diri sendiri.
Faktor ini sangat penting, karena
bagaimana mungkin seorang ibu bisa mendidik anaknya menjadi orang yang baik,
kalau dia sendiri tidak memiliki kebaikan tersebut dalam dirinya? Sebuah
ungkapan Arab yang terkenal mengatakan:
فاقِدُ الشَّيْءِ لا يُعْطِيْهِ
“Sesuatu yang tidak punya tidak bisa
memberikan apa-apa”[8].
Maka kebaikan dan ketakwaan seorang
pendidik sangat menetukan keberhasilannya dalam mengarahkan anak didiknya
kepada kebaikan. Oleh karena itu, para ulama sangat menekankan kewajiban
meneliti keadaan seorang yang akan dijadikan sebagai pendidik dalam agama.
Dalam sebuah ucapannya yang terkenal Imam
Muhammad bin Sirin berkata: “Sesungguhnya ilmu (yang kamu pelajari) adalah
agamamu (yang akan membimbingmu mencapai ketakwaan), maka telitilah dari siapa
kamu mengambil (ilmu) agamamu”[9].
Faktor penting inilah yang merupakan salah
satu sebab utama yang menjadikan para sahabat Nabi menjadi generasi terbaik
umat ini dalam pemahaman dan pengamalan agama mereka. Bagaimana tidak? Da’i dan
pendidik mereka adalah Nabi yang terbaik dan manusia yang paling mulia di sisi
Allah Ta’ala, yaitu Nabi kita Muhammad bin Abdillah shallallahu ‘alaihi wa
sallam. Makna inilah yang diisyaratkan oleh Allah Ta’ala dalam firman-Nya,
{وكيف تكفرون وأنتم تتلى عليكم آيات الله
وفيكم رسوله}
“Bagaimana mungkin (baca: tidak mungkin)
kalian (wahai para sahabat Nabi), (sampai) menjadi kafir, karena ayat-ayat
Allah dibacakan kepada kalian, dan Rasul-Nya pun berada di tengah-tengah kalian
(sebagai pembimbing)” (QS Ali ‘Imraan:101).
Contoh lain tentang peranan seorang
pendidik yang baik adalah apa yang disebutkan dalam biografi salah seorang Imam
besar dari kalangan tabi’in, Hasan bin Abil Hasan Al Bashri[10], ketika Khalid
bin Shafwan[11] menerangkan sifat-sifat Hasan Al Bashri kepada Maslamah bin
Abdul Malik[12] dengan berkata: “Dia adalah orang yang paling sesuai antara apa
yang disembunyikannya dengan apa yang ditampakkannya, paling sesuai ucapan
dengan perbuatannya, kalau dia duduk di atas suatu urusan maka diapun berdiri
di atas urusan tersebut…dan seterusnya”, setelah mendengar penjelasan tersebut
Maslamah bin Abdul Malik berkata: “Cukuplah (keteranganmu), bagaimana mungkin
suatu kaum akan tersesat (dalam agama mereka) kalau orang seperti ini
(sifat-sifatnya) ada di tengah-tengah mereka?”[13].
Oleh karena itulah, ketika seorang
penceramah mengadu kepada Imam Muhammad bin Waasi’[14] tentang sedikitnya
pengaruh nasehat yang disampaikannya dalam merubah akhlak orang-orang yang
diceramahinya, maka Muhammad bin Waasi’ berkata, “Wahai Fulan, menurut
pandanganku, mereka ditimpa keadaan demikian (tidak terpengaruh dengan nasehat
yang kamu sampaikan) tidak lain sebabnya adalah dari dirimu sendiri,
sesungguhnya peringatan (nasehat) itu jika keluarnya (ikhlas) dari dalam hati
maka (akan mudah) masuk ke dalam hati (orang yang mendengarnya)” [15].
Posting Komentar