Padang - Sejumlah masyarakat yang terdiri dari organisasi masyarakat Paga Nagari, Majelis Tinggi Kerapatan Adat Alam Minangkabau (MTKAAM) dan tokoh perantau Minangkabau meminta Hanung Bramantyo selaku supervisi dalam film Cinta Tapi Beda agar datang ke Minangkabau dalam kurun waktu 5x24 jam.
Hal ini disampaikan dalam jumpa pers, Kamis (10/1) di DPRD Sumbar. Menurut Ketua Paga Nagari Ibnu Aqil D.Ghani, kedatangan Hanung ke Minangkabau ini akan dijamin aman. Tujuannya untuk meminta pertangungjawaban Hanung yang dianggap melecehkan masyarakat Minangkabau melalui film Cinta Tapi Beda. Hanung harus mempertangungjawabkan perbuatannya di depan tokoh adat Minang. Menurut tetua adat Azwir Datuak Rajo Malano, perbuatan Hanung sudah tergolong kesalahan berat. Hukuman yang pantas adalah minimal menjalani pengabdian di Minangkabau selama 20 tahun. “Pengabdian ini berarti melakukan kegiatan kerja bakti. Dulu namanya, kerja paksa,” ujar Azwir.
Hal ini sudah sesuai UUD 1945 pasal 18 B ayat 2. Menyebutkan, negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat serta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang. “Hukum adat Minangkabau masih berlaku di Sumbar. Jadi hukum adat ini bisa dipakai untuk kasus Hanung,” jelasnya.
Penerapan sanksi adat ini juga pernah terjadi dulunya, kata Ketua MTKAAM Irfianda Abidin Datuak Pangulu Basa. Yaitu terhadap Komandan Komando Distrik Militer 0309 Solok, Sumbar, Letnan Kolonel Infantri Untung Sunanto, tahun 2007 lalu. Akibat perbuataannya yang menewaskan warga, Untung diwajibkan membayar denda satu ekor kerbau atau senilai Rp10 juta. Hukuman terhadap Hanung ini, tambah Azwir, masuk dalam kategori hukum adat yang disebut tuok palang yang berarti hukum yang berlaku bagi anak di luar Minangkabau. Sedangkan hukum yang berlaku bagi anak nagari bernama guliang batang.
Dalam jumpa pers, elemen masayarakat menyatakan Hanung telah sengaja melecehkan orang Minang. Seperti cerita yang menunjukkan Diana, tokoh dalam film tersebut, yang menyukai makanan yang bahan dasarnya babi. Ditambah lagi, seperti yang diungkapkan banyak pihak, Diana yang dicerminkan sebagai gadis Padang penganut Katolik yang taat, tidak mencerminkan masyarakat Minangkabau.
Seperti diungkapkan Eis dan Rifki perantau dari Minangkabau, yang mengatakan masyarakat di luar Sumbar sudah mengganggap Padang itu sebagai Minangkabau. Tidak lagi Padang sebagai sebuah kota di Sumbar. Dalam jumpa pers ini, masyarakat ini juga mempertanyakan beberapa pihak yang tidak memberikan respon terhadap pelecehan ini. Seperti, Komnas HAM. “Karena, pelecehan terhadap Minangkabau ini merupakan bentuk menghormati HAM Hanung yang membuat film. Artinya, Hanung diberikan kebebasan berekspresi. Harusnya Komnas HAM bisa menilai ini sebagai tindakan negatif, tidak positif,” ujar Azwir. [ton]
Penerapan sanksi adat ini juga pernah terjadi dulunya, kata Ketua MTKAAM Irfianda Abidin Datuak Pangulu Basa. Yaitu terhadap Komandan Komando Distrik Militer 0309 Solok, Sumbar, Letnan Kolonel Infantri Untung Sunanto, tahun 2007 lalu. Akibat perbuataannya yang menewaskan warga, Untung diwajibkan membayar denda satu ekor kerbau atau senilai Rp10 juta. Hukuman terhadap Hanung ini, tambah Azwir, masuk dalam kategori hukum adat yang disebut tuok palang yang berarti hukum yang berlaku bagi anak di luar Minangkabau. Sedangkan hukum yang berlaku bagi anak nagari bernama guliang batang.
Dalam jumpa pers, elemen masayarakat menyatakan Hanung telah sengaja melecehkan orang Minang. Seperti cerita yang menunjukkan Diana, tokoh dalam film tersebut, yang menyukai makanan yang bahan dasarnya babi. Ditambah lagi, seperti yang diungkapkan banyak pihak, Diana yang dicerminkan sebagai gadis Padang penganut Katolik yang taat, tidak mencerminkan masyarakat Minangkabau.
Seperti diungkapkan Eis dan Rifki perantau dari Minangkabau, yang mengatakan masyarakat di luar Sumbar sudah mengganggap Padang itu sebagai Minangkabau. Tidak lagi Padang sebagai sebuah kota di Sumbar. Dalam jumpa pers ini, masyarakat ini juga mempertanyakan beberapa pihak yang tidak memberikan respon terhadap pelecehan ini. Seperti, Komnas HAM. “Karena, pelecehan terhadap Minangkabau ini merupakan bentuk menghormati HAM Hanung yang membuat film. Artinya, Hanung diberikan kebebasan berekspresi. Harusnya Komnas HAM bisa menilai ini sebagai tindakan negatif, tidak positif,” ujar Azwir. [ton]
Posting Komentar