Ihsan adalah puncak ibadah dan akhlak yang
senantiasa menjadi target seluruh hambah Allah SWT. Sebab, ihsan
menjadikan kita sosok yang mendapatkan kemuliaan dari-Nya. Sebaliknya,
seorang hamba yang tidak mampu mencapai target ini akan kehilangan
kesempatan yang sangat mahal untuk menduduki posisi terhormat dimata
Allah SWT. Rasulullah saw. pun sangat menaruh perhatian akan hal ini,
sehingga seluruh ajaran-ajarannya mengarah kepada satu hal, yaitu
mencapai ibadah yang sempurna dan akhlak yang mulia.
Oleh karenanya, seorang muslim hendaknya tidak memandang ihsan itu hanya sebatas akhlak yang utama saja, melainkan harus dipandang sebagai bagian dari aqidah dan bagian terbesar dari keislamannya. Karena, Islam dibangun di atas tiga landasan utama, yaitu iman, Islam, dan ihsan, seperti yang telah diterangkan oleh Rasulullah saw dalam haditsnya yang shahih. Hadist ini menceritakan saat Raulullah saw. menjawab pertanyaan Malaikat Jibril—yang menyamar sebagai seorang manusia—mengenai Islam, iman, dan ihsan. Setelah Jibril pergi, Rasulullah saw. bersabda kepada para sahabatnya :
فَإِنَّهُ جِبْرِيْلُ أَتَاكُمْ يُعَلِّمُكُمْ دِيْنَكُمْ )). رواه مسلم
“Inilah Jibril yang datang mengajarkan kepada kalian urusan agama kalian.”
Beliau menyebut ketiga hal di atas sebagai agama, dan bahkan Allah SWT
memerintahkan untuk berbuat ihsan pada banyak tempat dalam Al-Qur`an.
“Dan
belanjakanlah (harta bendamu) di jalan Allah, dan janganlah kamu
menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah,
Karena Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik.” (al-Baqarah: 195)
“Sesungguhnya Allah memerintahkanmu untuk berbuat adil dan kebaikan….”(an-Nahl: 90)
Pengertian Ihsan
Ihsan
berasal dari kata حَسُنَ yang artinya adalah berbuat baik, sedangkan
bentuk masdarnya adalah اِحْسَانْ, yang artinya kebaikan. Allah SWT
berfirman dalam Al-Qur`an mengenai hal ini.
Jika kamu berbuat baik, (berarti) kamu berbuat baik bagi dirimu sendiri…” (al-Isra’: 7)
“…Dan berbuat baiklah (kepada oraang lain) seperti halnya Allah berbuat baik terhadapmu….” (al-Qashash:77)
Ibnu
Katsir mengomentari ayat di atas dengan mengatakan bahwa kebaikan yang
dimaksud dalam ayat tersebut adalah kebaikan kepada seluruh makhluk
Allah SWT.
Landasan Syar’i Ihsan.
Pertama, Al-Qur`an
Dalam
Al-Qur`an, terdapat seratus enam puluh enam ayat yang berbicara tentang
ihsan dan implementasinya. Dari sini kita dapat menarik satu makna,
betapa mulia dan agungnya perilaku dan sifat ini, hingga mendapat porsi
yang sangat istimewa dalam Al-Qur`an. Berikut ini beberapa ayat yang
menjadi landasan akan hal ini.
“…Dan berbuat baiklah kalian karena sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berbuat baik.” (al-Baqarah:195)
“Sesungguhnya Allah memerintahkanmu untuk berbuat adil dan kebaikan….” (an-Nahl: 90)
“Sesungguhnya Allah memerintahkanmu untuk berbuat adil dan kebaikan….” (an-Nahl: 90)
“…serta ucapkanlah kata-kata yang baik kepada manusia….” (al-Baqarah: 83)
“…Dan
berbuat baiklah terhadap dua orang ibu bapak, kerabat, anak-anak yatim,
orang-orang miskin, tetangga dekat maupun yang jauh, teman sejawat,
ibnu sabil dan para hamba sahayamu….” (an-Nisaa`: 36)
Kedua; As-Sunnah.
Rasulullah
saw. pun sangat memberi perhatian terhadap masalah ihsan ini. Sebab, ia
merupakan puncak harapan dan perjuangan seorang hamba. Bahkan, diantara
hadist-hadist mengenai ihsan tersebut, ada beberapa yang menjadi
landasan utama dalam memahami agama ini. Rasulullah saw. menerangkan
mengenai ihsan—ketika ia menjawab pertanyaan Malaikat Jibril tentang
ihsan dimana jawaban tersebut dibenarkan oleh Jibril, dengan mengatakan :
أَنْ تَعْبُدَ اللهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ .
“Engkau
menyembah Allah seakan-akan engkau melihat-Nya, dan apabila engkau
tidak dapat melihat-Nya, maka sesungguhnya Dia melihatmu.” (HR. Muslim)
Di kesempatan yang lain, Rasulullah bersabda:
اِنَّ
اللهَ كَتَبَ عَلَيْكُمُ اْلِاحْسَانَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ , فَاِذَا
قَتَلْتُمْ فَاَحْسِنُوْ الْقَتْلَةَ وَ اِذَا ذَبَحْتُمْ فَاَحْسِنُوْ
الذَّبْحَةَ
“Sesungguhnya Allah telah mewajibkan
kebaikan pada segala sesuatu, maka jika kamu membunuh, bunuhlah dengan
baik, dan jika kamu menyembelih, sembelihlah dengan baik…” (HR. Muslim)
Tiga Aspek Pokok Dalam Ihsan
Ihsan meliputi tiga aspek yang fundamental. Ketiga hal tersebut adalah ibadah, muamalah, dan akhlak. Ketiga hal ini lah yang menjadi pokok bahasan kita kali ini.
- A. Ibadah
Kita
berkewajiban ihsan dalam beribadah, yaitu dengan menunaikan semua jenis
ibadah, seperti shalat, puasa, haji, dan sebagainya dengan cara yang
benar, yaitu menyempurnakan syarat, rukun, sunnah, dan adab-adabnya. Hal
ini tidak akan mungkin dapat ditunaikan oleh seorang hamba, kecuali
jika saat pelaksanaan ibadah-ibadah tersebut ia dipenuhi dengan cita
rasa yang sangat kuat (menikmatinya), juga dengan kesadaran penuh
bahwa Allah senantiasa memantaunya hingga ia merasa bahwa ia sedang
dilihat dan diperhatikan oleh-Nya. Minimal seorang hamba merasakan bahwa
Allah senantiasa memantaunya, karena dengan ini lah ia dapat menunaikan
ibadah-ibadah tersebut dengan baik dan sempurna, sehingga hasil dari
ibadah tersebut akan seperti yang diharapkan. Inilah maksud dari
perkataan Rasulullah saw yang berbunyi, “Hendaklah kamu menyembah
Allah seakan-akan engkau melihat-Nya, dan jika engkau tak dapat
melihat-Nya, maka sesungguhnya Dia melihatmu.”
Kini jelaslah bagi kita bahwa sesungguhnya arti dari ibadah itu sendiri sangatlah luas. Maka, selain jenis ibadah yang kita sebutkan tadi, yang tidak kalah pentingnya adalah juga jenis ibadah lainnya seperti jihad, hormat terhadap mukmin, mendidik anak, menyenangkan isteri, meniatkan setiap yang mubah untuk mendapat ridha Allah, dan masih banyak lagi. Oleh karena itulah, Rasulullah saw. menghendaki umatnya senantiasa dalam keadaan seperti itu, yaitu senantiasa sadar jika ia ingin mewujudkan ihsan dalam ibadahnya.
Tingkatan Ibadah dan Derajatnya.
Kini jelaslah bagi kita bahwa sesungguhnya arti dari ibadah itu sendiri sangatlah luas. Maka, selain jenis ibadah yang kita sebutkan tadi, yang tidak kalah pentingnya adalah juga jenis ibadah lainnya seperti jihad, hormat terhadap mukmin, mendidik anak, menyenangkan isteri, meniatkan setiap yang mubah untuk mendapat ridha Allah, dan masih banyak lagi. Oleh karena itulah, Rasulullah saw. menghendaki umatnya senantiasa dalam keadaan seperti itu, yaitu senantiasa sadar jika ia ingin mewujudkan ihsan dalam ibadahnya.
Tingkatan Ibadah dan Derajatnya.
Berdasarkan
nash-nash Al-Qur`an dan Sunnah, maka ibadah mempunyai tiga tingkatan,
yang pada setiap tingkatan derajatnya masing-masing seorang hamba tidak
dapat mengukurnya. Karena itulah, kita berlomba untuk meraihnya. Pada
setiap derajat, ada tingkatan tersendiri dalam surga. Yang tertinggi
adalah derajat muhsinin, ia menempati jannatul firdaus,
derajat tertinggi di dalam surga. Kelak, para penghuni surga tingkat
bawah akan saling memandang dengan penghuni surga tingkat tertinggi,
laksana penduduk bumi memandang bintang-bintang di langit yang
menandakan jauhnya jarak antara mereka.
Adapun tiga tingkatan tersebut adalah sebagai berikut.
1.Tingkat at-Takwa, yaitu tingkatan paling bawah dengan derajat yang berbeda-beda.
2. Tingkat al-Bir, yaitu tingkatan menengah dengan derajat yang berbeda-beda.
3.Tingkat al-Ihsan, yaitu tingkatan tertinggi dengan derajat yang berbeda-beda pula.
Pertama,Tingkat Takwa.
1.Tingkat at-Takwa, yaitu tingkatan paling bawah dengan derajat yang berbeda-beda.
2. Tingkat al-Bir, yaitu tingkatan menengah dengan derajat yang berbeda-beda.
3.Tingkat al-Ihsan, yaitu tingkatan tertinggi dengan derajat yang berbeda-beda pula.
Pertama,Tingkat Takwa.
Tingkat taqwa adalah tingkatan dimana seluruh derajatnya dihuni oleh mereka yang masuk katagori al-Muttaqun, sesuai dengan derajat ketaqwaan masing-masing.
Takwa akan menjadi sempurna dengan menunaikan seluruh perintah Allah
dan meninggalkan seluruh larangan-Nya. Hal ini berarti meninggalkan
salah satu perintah Allah dapat mengakibatkan sangsi dan melakukan salah
satu larangannya adalah dosa. Dengan demikian, puncak takwa adalah
melakukan seluruh perintah Allah dan meninggalkansemualarangan-Nya.
Namun,
ada satu hal yang harus kita fahami dengan baik, yaitu bahwa Allah SWT
Maha Mengetahui keadaan hamba-hamba-Nya yang memiliki berbagai
kelemahan, yang dengan kelemahannya itu seorang hamba melakukan dosa.
Oleh karena itu, Allah membuat satu cara penghapusan dosa, yaitu dengan
cara tobat dan pengampunan. Melalui hal tersebut, Allah SWT akan
mengampuni hamba-Nya yang berdosa karena kelalaiannya dari menunaikan
hak-hak takwa. Sementara itu, ketika seorang hamba naik pada peringkat
puncak takwa, boleh jadi ia akan naik pada peringkat bir atau ihsan.
Peringkat ini disebut martabat takwa, karena amalan-amalan yang ada
pada derajat ini membebaskannya dari siksaan atas kesalahan yang
dilakukannya. Adapun derajat yang paling rendah dari peringkat ini
adalah derajat dimana seseorang menjaga dirinya dari kekalnya dalam
neraka, yaitu dengan iman yang benar yang diterima oleh Allah SWT.
Kedua,Tingkatal-Bir.
Kedua,Tingkatal-Bir.
Peringkat ini akan dihuni oleh mereka yang masuk kategori al-Abrar. Hal ini sesuai dengan amalan-amalan kebaikan yang mereka lakukan dari ibadah-ibadah sunnah serta segala sesuatu yang dicintai dan diridhai oleh Allah SWT. hal ini dilakukan setelah mereka menunaikan segala yang wajib, atau yang ada pada peringkat sebelumnya, yaitu peringkat takwa.
Peringkat ini disebut martabat al-Bir
(kebaikan), karena derajat ini merupakan perluasan pada hal-hal yang
sifatnya sunnah, sesuatu sifatnya semata-mata untuk mendekatkan diri
kepada Allah dan merupakan tambahan dari batasan-batasan yang wajib
serta yang diharamkan-Nya. Amalan-amalan ini tidak diwajibkan Allah
kepada hamba-hamba-Nya, tetapi perintah itu bersifat anjuran, sekaligus
terdapat janji pahala didalamnya.
Akan tetapi, mereka yang
melakukan amalan tambahan ini tidak akan masuk kedalam kelompok al-bir,
kecuali telah menunaikan peringkat yang pertama, yaitu peringkat takwa.
Karena, melakukan hal pertama merupakan syarat mutlak untuk naik pada
peringkat selanjutnya.
Dengan demikian, barangsiapa yang mengklaim dirinya telah melakukan kebaikan sedang dia tidak mengimani unsur-unsur qaidah iman dalam Islam, serta tidak terhidar dari siksaan neraka, maka ia tidak dapat masuk dalam peringkat ini (al-bir). Mengenai hal ini, Allah SWT berfirman dalam kitab-Nya.
Dengan demikian, barangsiapa yang mengklaim dirinya telah melakukan kebaikan sedang dia tidak mengimani unsur-unsur qaidah iman dalam Islam, serta tidak terhidar dari siksaan neraka, maka ia tidak dapat masuk dalam peringkat ini (al-bir). Mengenai hal ini, Allah SWT berfirman dalam kitab-Nya.
“…Bukanlah kebaikan
dengan memasuki rumah-rumah dari belakangnya, akan tetapi kebaikan itu
adalah takwa, dan datangilah rumah-rumah itu dari pintu-pintunya dan
bertakwalah kepada Allah agar kalian beruntung.” (al-Baqarah: 189)
”Ya
Tuhan kami, sesungguhnya kami mendengar seruan orang yang menyeru
kepada iman, yaitu: Berimanlah kamu kepada Tuhanmu, maka kamipun
beriman. Ya Tuhan kami ampunilah bagi kami dosa-dosa kami dan
hapuskanlah dari kami kesahan-kesalahan kami dan wafatkanlah kami
bersama orang-orang yang banyak berbuat baik.” (Ali ‘Imran: 193)
Ketiga, Tingkatan Ihsan
Tingkatan ini akan dicapai oleh mereka yang masuk dalam kategori Muhsinun. Mereka adalah orang-orang yang telah melalui peringkat pertama dan yang kedua (peringkat takwa dan al-bir).
Ketika kita mencermati pengertian ihsan dengan sempurna—seperti yang telah kita sebutkan sebelumnya, maka kita akan mendapatkan suatu kesimpulan bahwa ihsan memiliki dua sisi:
Tingkatan ini akan dicapai oleh mereka yang masuk dalam kategori Muhsinun. Mereka adalah orang-orang yang telah melalui peringkat pertama dan yang kedua (peringkat takwa dan al-bir).
Ketika kita mencermati pengertian ihsan dengan sempurna—seperti yang telah kita sebutkan sebelumnya, maka kita akan mendapatkan suatu kesimpulan bahwa ihsan memiliki dua sisi:
Pertama, ihsan adalah kesempurnaan
dalam beramal sambil menjaga keikhlasan dan jujur pada saat beramal. Ini
adalah ihsan dalam tata cara (metode).
Kedua, ihsan
adalah senantiasa memaksimalkan amalan-amalan sunnah yang dapat
mendekatkan diri kepada Allah, selama hal itu adalah sesuatu yang
diridhai-Nya dan dianjurkan untuk melakukannya.
Untuk dapat naik ke martabat ihsan dalam segala amal, hanya bisa dicapai melalui amalan-amalan wajib dan amalan-amalan sunnah yang dicintai oleh Allah, serta dilakukan atas dasar mencari ridha Allah.
Untuk dapat naik ke martabat ihsan dalam segala amal, hanya bisa dicapai melalui amalan-amalan wajib dan amalan-amalan sunnah yang dicintai oleh Allah, serta dilakukan atas dasar mencari ridha Allah.
B. Muamalah
Dalam bab muamalah, ihsan dijelaskan Allah SWT pada surah an Nisaa’ ayat 36, yang berbunyi sebagai berikut : “Sembahlah
Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun dan
berbuat baiklah kepada dua orang ibu bapak, karib kerabat, anak-anak
yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat maupun yang jauh, teman
sejawat, ibnu sabil dan hamba sahayamu…”
Kita sebelumnya telah
membahas bahwa ihsan adalah beribadah kepada Allah dengan sikap
seakan-akan kita melihat-Nya, dan jika kita tidak dapat melihat-Nya,
maka Allah melihat kita. Kini, kita akan membahas ihsan dari muamalah
dan siapa saja yang masuk dalam bahasannya. Berikut ini adalah mereka
yang berhak mendapatkan ihsan tersebut:
Pertama, Ihsan kepada kedua orang tua.
Allah SWT menjelaskan hal ini dalam kitab-Nya.
Allah SWT menjelaskan hal ini dalam kitab-Nya.
“Dan
tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu tidak menyembah selain Dia dan
hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika
salah seorang diantara keduanya atau kedua-duanya berumr lanjut dalam
pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada
keduanya perkataan “ah” dan janganlah kamu membentak mereka dan
ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia. Dan rendahkanlah dirimu
terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah: “Wahai
Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua mendidik
aku diwaktu kecil.” (al-Israa’: 23-24)
Ayat di atas mengatakan kepada kita bahwa ihsan kepada ibu-bapak adalah sejajar dengan ibadah kepada Allah.
Dalam sebuah hadist riwayat Turmuzdi, dari Ibnu Amru bin Ash, Rasulullah saw. Bersabda :
رِضَى اللهُ فِى رِضَى اْلوَالِدَيْنِ وَ سُخْطُ اللهِ فِى سُخْطِ اْلوَاِلدَيْنِ
“Keridhaan Allah berada pada keridhaan orang tua, dan kemurkaan Allah berada pada kemurkaan orang tua.”
Dalil
di atas menjelaskan bahwa ibadah kita kepada Allah tidak akan diterima,
jika tidak disertai dengan berbuat baik kepada kedua orang tua. Apabila
kita tidak memiliki kebaikan ini, maka bersamaan dengannya akan hilang
ketakwaan, keimanan, dan keislaman. Dan Akhlak kepada sesama manusia
yang paling utama kepada kedua orang tua, berakhlak kepada mereka adalah
dengan berbakti kepada keduanya, baik ketika hidup aupun setelah
wafatnya, sebagimana hadits Nabi :
عَنْ أَبِي
أُسَيْدٍ مَالِكِ بْنِ رَبِيعَةَ السَّاعِدِيِّ قَالَ بَيْنَا نَحْنُ
عِنْدَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذْ جَاءَهُ
رَجُلٌ مِنْ بَنِي سَلَمَةَ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ هَلْ بَقِيَ مِنْ
بِرِّ أَبَوَيَّ شَيْءٌ أَبَرُّهُمَا بِهِ بَعْدَ مَوْتِهِمَا قَالَ نَعَمْ
الصَّلَاةُ عَلَيْهِمَا وَالِاسْتِغْفَارُ لَهُمَا وَإِنْفَاذُ
عَهْدِهِمَا مِنْ بَعْدِهِمَا وَصِلَةُ الرَّحِمِ الَّتِي لَا تُوصَلُ
إِلَّا بِهِمَا وَإِكْرَامُ صَدِيقِهِمَا(رواه ابو داود)
Dari
Abu Usaid Malik bin Rabi’ah As-Sa’idy berkata : “Tatkala kami sedngan
bersama Rasulullah SAW, tiba-tiba datang seseorang dari Bani Salamah
seraya bertanya : “Ya Rasulallah apakah masih ada kesempatan untuk saya
berbakti kepada Ibu Bapak saya setekah keduanya wafat?” Nabi menjawab :
“Ya, dengan mendoakan keduanya, memohon ampun unyuknya, melaksanakan
janjinya dan menyambung silaturrahmi dari sanak saudarnya serta
memuliakan teman-temannya
Kedua, Ihsan kepada kerabat karib.
Ihsan kepada kerabat adalah dengan jalan membangun hubungan yang baik dengan mereka, bahkan Allah SWT menyamakan seseorang yang memutuskan hubungan silatuhrahmi dengan perusak dimuka bumi. Allah berfirman :
Ihsan kepada kerabat adalah dengan jalan membangun hubungan yang baik dengan mereka, bahkan Allah SWT menyamakan seseorang yang memutuskan hubungan silatuhrahmi dengan perusak dimuka bumi. Allah berfirman :
”Maka apakah kiranya jika kamu berkuasa kamu akan membuat kerusakan dimuka bumi dan memutuskan hubungan kekeluargaan.?” (Muhammad: 22)
Silaturahmi adalah kunci untuk mendapatkan keridhaan Allah. Hal ini
dikarenakan sebab paling utama terputusnya hubungan seorang hamba dengan
Tuhannya adalah karena terputusnya hubungan silaturahmi. Dalam sebuah
hadits qudsi, Allah berfirman:
أَنَا اللَّهُ
وَأَنَا الرَّحْمَنُ خَلَقْتُ الرَّحِمَ وَشَقَقْتُ لَهَا مِنْ اسْمِي
فَمَنْ وَصَلَهَا وَصَلْتُهُ وَمَنْ قَطَعَهَا بَتَتُّهُ
“Aku
adalah Allah, Aku adalah Rahman, dan Aku telah menciptakan rahim yang
Kuberi nama bagian dari nama-Ku. Maka, barangsiapa yang menyambungnya,
akan Ku sambungkan pula baginya dan barangsiapa yang memutuskannya, akan
Ku putuskan hubunganku dengannya.” (HR. Turmuzdi)
Dalam hadits lain, Rasulullah bersabda, “Tidak akan masuk surga, orang yang memutuskan tali silaturahmi.” (HR. Syaikahni dan Abu Dawud)
Dalam hadits lain, Rasulullah bersabda, “Tidak akan masuk surga, orang yang memutuskan tali silaturahmi.” (HR. Syaikahni dan Abu Dawud)
Ketiga, Ihsan kepada anak yatim dan fakir miskin.
Diriwayatkan oleh Bukhari, Abu Dawud, dan Turmuzdi, bahwa Rasulullah saw bersabda, “Aku dan orang yang memelihara anak yatim di surga kelak akan seperti ini…(seraya menunjukkan jari telunjuk jari tengahnya).”
Diriwayatkan oleh Bukhari, Abu Dawud, dan Turmuzdi, bahwa Rasulullah saw bersabda, “Aku dan orang yang memelihara anak yatim di surga kelak akan seperti ini…(seraya menunjukkan jari telunjuk jari tengahnya).”
Diriwayatkan oleh Turmuzdi, Nabi saw. Bersabda :
عَنْ
ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ
مَنْ قَبَضَ يَتِيمًا مِنْ بَيْنِ الْمُسْلِمِينَ إِلَى طَعَامِهِ
وَشَرَابِهِ أَدْخَلَهُ اللَّهُ الْجَنَّةَ إِلَّا أَنْ يَعْمَلَ ذَنْبًا
لَا يُغْفَرُ لَهُ
Dari Ibnu Abbas
bahwasanya Nabi SAW bersabda : “Barangsiapa—dari Kaum Muslimin—yang
memelihara anak yatim dengan memberi makan dan minumnya, maka Allah akan
memasukkannya ke dalam surga selamanya, selama ia tidak melakukan dosa
yang tidak terampuni.”
Keempat, Ihsan kepada tetangga dekat, tetangga jauh, serta teman sejawat.
Ihsan kepada tetangga dekat meliputi tetangga dekat dari kerabat atau tetangga yang berada di dekat rumah, serta tetangga jauh, baik jauh karena nasab maupun yang berada jauh dari rumah.
Keempat, Ihsan kepada tetangga dekat, tetangga jauh, serta teman sejawat.
Ihsan kepada tetangga dekat meliputi tetangga dekat dari kerabat atau tetangga yang berada di dekat rumah, serta tetangga jauh, baik jauh karena nasab maupun yang berada jauh dari rumah.
Adapun yang
dimaksud teman sejawat adalah yang berkumpul dengan kita atas dasar
pekerjaan, pertemanan, teman sekolah atau kampus, perjalanan, ma’had,
dan sebagainya. Mereka semua masuk ke dalam katagori tetangga. Seorang
tetangga kafir mempunyai hak sebagai tetangga saja, tetapi tetangga
muslim mempunyai dua hak, yaitu sebagai tetangga dan sebagai muslim,
sedang tetangga muslim dan kerabat mempunyai tiga hak, yaitu sebagai
tetangga, sebagai muslim dan sebagai kerabat. Rasulullah saw.
menjelaskan hal ini dalam sabdanya :
عَنْ
عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَا يُسْلِمُ عَبْدٌ
حَتَّى يَسْلَمَ قَلْبُهُ وَلِسَانُهُ وَلَا يُؤْمِنُ حَتَّى يَأْمَنَ
جَارُهُ بَوَائِقَهُ
Dari Abdullah
bin Mas’ud RA berkata, bersabda Rasulullah SAW : Demi Yang jiwaku berada
di tangan-NYA tidaklah selamat seorang hamba sampai hati dan lisannya
selamat (tidak berbuat dosa) dan tidaklah beriman (sempurna keimanannya)
seorang hamba sehingga tetangganya merasa aman dari gangguannya.
(HR.Ahmad)
Pada hadits yang lain, Rasulullah bersabda :
لاَ يُؤْمِنُ بِي مَنْ باَتَ شَبْعَانًا وَ جَارُهُ جَا ئِعٌ وَهُوَ يَعْرِفُهُ
“Tidak beriman kepadaku barangsiapa yang kenyang pada suatu malam, sedangkan tetangganya kelaparan, padahal ia megetahuinya.”(HR. ath-Thabrani)
Kelima, Ihsan kepada ibnu sabil dan hamba sahaya.
Kelima, Ihsan kepada ibnu sabil dan hamba sahaya.
Rasulullah saw. bersabda mengenai hal ini :
َمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيُكْرِمْ ضَيْفَهُ
“Barangsiapa beriman kepada Allah dan Hari Akhir, hendaklah memuliakan tamunya.” (HR. Jama’ah, kecuali Nasa’i)
Selain
itu, ihsan terhadap ibnu sabil adalah dengan cara memenuhi
kebutuhannya, menjaga hartanya, memelihara kehormatannya, menunjukinya
jalan jika ia meminta, dan memberinya pelayanan.
جَاءَ
رَجُلٌ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ يَا
رَسُولَ اللَّهِ كَمْ أَعْفُو عَنْ الْخَادِمِ فَصَمَتَ عَنْهُ رَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثُمَّ قَالَ يَا رَسُولَ
اللَّهِ كَمْ أَعْفُو عَنْ الْخَادِمِ فَقَالَ كُلَّ يَوْمٍ سَبْعِينَ
مَرَّةً
Pada riwayat yang lain, dikatakan bahwa seorang laki-laki datang kepada Rasulullah saw. dan berkata, “Ya, Rasulullah, berapa kali saya harus memaafkan hamba sahayaku?” Rasulullah diam tidak menjawab. Orang itu berkata lagi, “Berapa kali ya, Rasulullah?” Rasul menjawab, “Maafkanlah ia tujuh puluh kali dalam sehari.” (HR. Abu Daud dan at-Turmuzdi)
إِذَا
صَنَعَ لِأَحَدِكُمْ خَادِمُهُ طَعَامَهُ ثُمَّ جَاءَهُ بِهِ وَقَدْ
وَلِيَ حَرَّهُ وَدُخَانَهُ فَلْيُقْعِدْهُ مَعَهُ فَلْيَأْكُلْ فَإِنْ
كَانَ الطَّعَامُ مَشْفُوهًا قَلِيلًا فَلْيَضَعْ فِي يَدِهِ مِنْهُ
أُكْلَةً أَوْ أُكْلَتَيْنِ
Dalam riwayat yang lain, Rasulullah saw bersabda, “Jika seorang hamba sahaya membuat makanan untuk salah seorang diantara kamu, kemudian ia datang membawa makanan itu dan telah merasakan panas dan asapnya, maka hendaklah kamu mempersilahkannya duduk dan makan bersamamu. Jika ia hanya makan sedikit, maka hendaklah kamu mememberinya satu atau dua suapan.” (HR. Bukhari, Turmuzdi, dan Abi Daud)
Adapun muamalah terhadap pembantu atau karyawan dilakukan dengan
membayar gajinya sebelum keringatnya kering, tidak membebaninya dengan
sesuatu yang ia tidak sanggup melakukannya, menjaga kehormatannya, dan
menghargai pridainya. Jika ia pembantu rumah tangga, maka hendaklah ia
diberi makan dari apa yang kita makan, dan diberi pakaian dari apa yang
kita pakai.
Pada akhir pembahasan mnegenai bab muamalah ini, Allah SWT menutupnya firman-Nya yang berbunyi :
”Sesungguhnya Allah tidak menyukai tiap-tiap orang yang berkhianat lagi mengingkari nikmat.” (al-Hajj: 38)
Ayat
di atas merupakan isyarat yang sangat jelas kepada siapa saja yang
tidak berlaku ihsan. Bahkan, hal itu adalah pertanda bahwa dalam dirinya
ada kecongkakan dan kesombongan, dua sifat yang sangat dibenci oleh
Allah SWT.
Keenam, Ihsan dengan perlakuan dan ucapan yang baik kepada manusia.
مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا اَوْ لِيَصْمُتْ
Rasulullah
saw. bersabda, “Barangsiapa beriman kepada Allah dan Hari Kiamat,
hendaklah ia berkata yang baik atau diam.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Masih riwayat dari Bukhari dan Muslim, Rasulullah bersabda :
قَوْلُ اْلمَعْرُوْفِ صَدَقَةٌ
“Ucapan yang baik adalah sedekah.”
- Bagi
manusia secara umum, hendaklah kita melembutkan ucapan, saling
menghargai dalam pergaulan, menyuruh kepada yang makruf dan mencegahnya
dari kemungkaran, menunjukinya jalan jika ia tersesat, mengajari mereka
yang bodoh, mengakui hak-hak mereka, dan tidak mengganggu mereka dengan
tidak melakukan hal-hal dapat mengusik serta melukai mereka.Ketujuh, Ihsan dengan berlaku baik kepada binatang.
- Berbuat
ihsan terhadap binatang adalah dengan memberinya makan jika ia lapar,
mengobatinya jika ia sakit, tidak membebaninya diluar kemampuannya,
tidak menyiksanya jika ia bekerja, dan mengistirahatkannya jika ia
lelah. Bahkan, pada saat menyembelih, hendaklah dengan menyembelihnya
dengan cara yang baik, tidak menyiksanya, serta menggunakan pisau yang
tajam.
Inilah sisi-sisi ihsan yang datang dari nash Al-Quran dan Sunnah Rasulullah saw.
· Beberapa contoh ihsan dalam hal muamalah
Pada
Perang Uhud, orang-orang Quraisy membunuh paman Rasulullah saw, yaitu
Hamzah. Mereka mencincang tubuhnya, membelah dadanya, serta memecahkan
giginya, kemudian seorang sahabat meminta Rasulullah saw. berdoa agar
mereka diazab oleh Allah. Akan tetapi, Rasulullah malah berkata :
اَلَّلهُمَّ اهْدِ قَوْ مِيْ فَاِنَّهُمْ لَا يَعْلَمُوْنَ
“Ya Allah, ampunilah mereka, karena mereka adalah kaum yang bodoh.”
Contoh
kedua, suatu hari, Umar bin Abdul Aziz berkata kepada hamba sahaya
perempuannya, “Kipasilah aku sampai aku tertidur.” Lalu, hambanya pun
mengipasinya sampai ia tertidur. Karena sangat mengantuk, sang hamba pun
tertidur. Ketika Umar bangun, beliau mengambil kipas tadi dan
mengipasi hamba sahayanya. Ketika hamba sahaya itu terbangun, maka ia
pun berteriak menyaksikan tuannya melakukan hal tersebut. Umar kemudian
berkata, “Engkau adalah manusia biasa seperti diriku dan mendapatkan
kebaikan seperti halnya aku, maka aku pun melakukan hal ini kepadamu,
sebagaimana engkau melakukannya padaku”.
C. Akhlak
Ihsan dalam akhlak sesungguhnya merupakan buah dari ibadah dan muamalah. Seseorang akan mencapai tingkat ihsan dalam akhlaknya apabila ia telah melakukan ibadah seperti yang menjadi harapan Rasulullah dalam hadits yang telah dikemukakan di awal tulisan ini, yaitu menyembah Allah seakan-akan melihat-Nya, dan jika kita tidak dapat melihat-Nya, maka sesungguhnya Allah senantiasa melihat kita. Jika hal ini telah dicapai oleh seorang hamba, maka sesungguhnya itulah puncak ihsan dalam ibadah. Pada akhirnya, ia akan berbuah menjadi akhlak atau perilaku, sehingga mereka yang sampai pada tahap ihsan dalam ibadahnya akan terlihat jelas dalam perilaku dan karakternya.
Ihsan dalam akhlak sesungguhnya merupakan buah dari ibadah dan muamalah. Seseorang akan mencapai tingkat ihsan dalam akhlaknya apabila ia telah melakukan ibadah seperti yang menjadi harapan Rasulullah dalam hadits yang telah dikemukakan di awal tulisan ini, yaitu menyembah Allah seakan-akan melihat-Nya, dan jika kita tidak dapat melihat-Nya, maka sesungguhnya Allah senantiasa melihat kita. Jika hal ini telah dicapai oleh seorang hamba, maka sesungguhnya itulah puncak ihsan dalam ibadah. Pada akhirnya, ia akan berbuah menjadi akhlak atau perilaku, sehingga mereka yang sampai pada tahap ihsan dalam ibadahnya akan terlihat jelas dalam perilaku dan karakternya.
Jika kita ingin melihat nilai ihsan
pada diri seseorang—yang diperoleh dari hasil maksimal ibadahnya, maka
kita akan menemukannya dalam muamalah kehidupannya. Bagaimana ia
bermuamalah dengan sesama manusia, lingkungannya, pekerjaannya,
keluarganya, dan bahkan terhadap dirinya sendiri. Berdasarkan ini semua,
maka Rasulullah saw. mengatakan dalam sebuah hadits :
اِنَّمَا بُعِثْتُ لِأُتَمِّمَ مَكَارِمَ اْلأَ خْلَاقِ
“Aku diutus hanyalah demi menyempurnakan akhlak yang mulia.”
Ihsan adalah puncak prestasi dalam ibadah, muamalah, dan akhlak. Oleh karena itu, semua orang yang menyadari akan hal ini tentu akan berusaha dengan seluruh potensi diri yang dimilikinya agar sampai pada tingkat tersebut. Siapa pun kita, apa pun profesi kita, dimata Allah tidak ada yang lebih mulia dari yang lain, kecuali mereka yang telah naik ketingkat ihsan dalam seluruh sisi dan nilai hidupnya. Semoga kita semua dapat mencapai hal ini, sebelum Allah SWT mengambil ruh ini dari kita. Wallahu a’lam bish-shawwab. dakwatuna
Posting Komentar