Halloween party ideas 2015


Oleh: Ustaz Nashih Nashrullah

Rujukan masalah bermuara pada hukum mengambil upah atas pengajaran Alquran.

Berceramah merupakan satu dari sekian aktivitas berdakwah yang mulia; menyampaikan pesan dan menyebarkan syiar di hadapan ratusan, ribuan, bahkan jutaan umat manusia.

Ada misi berharga di sana. Tetapi, dinamika dunia dakwah pun berkembang. Ini beriringan dengan perkembangan teknologi dan lain sebagainya.

Tak sedikit oknum pendakwah pada akhirnya terjebak dalam logika materi. Berdakwah pun sekaligus berbisnis. Seperti, memasang tarif tertentu atas jasa ceramahnya. Bolehkah memasang tarif untuk jalan dakwah?

Ketua Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Prof Hasanuddin AF mengatakan, dari segi hukum Islam, pada prinsipnya diperbolehkan menerima imbalan jasa atas ceramah atau mengajarkan ilmu agama lainnya, seperti pengajaran Alquran.

Akan tetapi, ia menggarisbawahi imbalan tersebut bukan tujuan utama. Dan, agar tarif tersebut tetap tidak melampaui batas kewajaran. Motif paling mendasar kala berdakwah adalah niat untuk Allah SWT semata.

Selain itu, memberlakukan tarif berdakwah, justru akan menghilangkan pahala dakwah itu sendiri. “Jika niatnya bisnis dan dibisniskan, itu tidak boleh,” ujarnya.

Ia pun mengutip hadis riwayat Umar bin Khatab tentang pentingnya meluruskan niat segala urusan akan dikembalikan pada sejauh manakah niat dan motif yang bersangkutan. Bila sebatas dunia maka pahala tak ia dapat. Sebab, hanya dunia yang ia peroleh.

Ia pun mengimbau para pendakwah agar tidak mematok tarif. Tindakan pemasangan tarif, justru berpotensi merusak citra dakwah tersebut.

Ia mengusulkan agar sanksi sosial dijatuhkan pada oknum-oknum pematok tarif dakwah. “Jangan diundang lagi,” katanya.

Ketua Majelis Tarjih dan Tajdid Muhammadiyah Prof Syamsul Anwar mengingatkan para pendakwah agar tetap ikhlas dan tidak memasang tarif.

Meskipun, ia menegaskan tidak ada larangan untuk memasang tarif untuk dakwah, tetapi hendaknya menghindari komersialisasi tersebut.

Menurutnya, pemasangan tarif kaitannya dengan kebiasaan yang berlaku. Semestinya, iltizam dini atau ketaatan terhadap syariat, dengan tidak mengedepankan tarif, lebih ditekankan oleh yang bersangkutan. Kalaupun hendak memasang tarif, sewajarnya saja. “Masyarakat punya penilaian tersendiri,” katanya.

Komersialisasi

Ketua Lajnah Bahtshul Masail Nahdlatul Ulama (LBM-NU) KH Zulfa Mustofa  menyatakan, menurut perspektif agama, secara etika seorang ulama tidak boleh meminta bahkan memasang tarif.

Memang, mayoritas ulama memperbolehkan penerimaan upah dari pengajaran ilmu agama, tetapi tidak dengan cara mematok tarif.

“Tidak pantas meminta apa pun alasannya,” ujar alumnus Pesantren Maslakul Huda, Pati, Jawa Tengah, asuhan KH Sahal Mahfuz tersebut.

Menurutnya, komersialisasi itu tak terlepas dari pengaruh media, terutama televisi. Tingkat rating akan dijadikan alasan untuk meningkatkan tarif dakwah seseorang. Padahal, sikap semacam ini bisa mengancam kekekalan pahala.

Ia pun teringat nasihat Sang Guru, KH Sahal Mahfuz yang berpesan, 'Allim majjanan kama ‘ullimta majjanan (Ajarkanlah ilmu secara ikhlas, sebagaimana engkau dididik secara gratis). Tak lupa, ia sampaikan ajakan agar para ulama mengingatkan oknum pendakwah manapun yang mematok tarif.

Fikih klasik

Dalam kajian fikih klasik, rujukan persoalan  ini bermuara pada topik pengambilan upah atas pengajaran Alquran. Menurut kelompok yang pertama, tidak boleh menerima atau membisniskan pengajaran ilmu agama tak terkecuali Alquran.

Opsi ini berlaku di sejumlah mazhab, antara lain Hanbali di salah satu riwayat, Zaidiyyah, dan Ibadhiyyah. Sedangkan, Imamiyyah melihat hukumnya makruh selama ada syarat sejak awal.

Pihak ini berdalih, mengajarkan ilmu syariah dan Alquran merupakan bakti yang tak berpamrih, hanya Allah SWT-lah yang akan membalasnya. Kebutuhan akan pelajaran ilmu agama dan Alquran sama pentingnya dengan urgensi mengajarkan shalat. Berbagi ilmu shalat merupakan hal mendasar, tak boleh diperjualbelikan.

Ini ditegaskan di banyak ayat, seperti surah an-Najm ayat 39, al-Qalam ayat 46, dan Yusuf ayat 104. Pandangan ini diperkuat oleh hadis riwayat Ubay bin Ka’ab.

Dalam sabda itu, Rasulullah SAW memperingatkan seorang sahabat yang menerima hadiah atas pengajaran Alquran yang dilakukannya. “Jika engkau ambil maka sejatinya engkau telah mengambil satu kurung api neraka,” titah Rasul.

Riwayat Ubadah bin as-Shamit menegaskan larangan senada. Secara jelas larangan itu dipertegas pula dalam hadis Abdurrahman bin Syibil. “Jangan engkau cari makan darinya dan jangan pula mencari keuntungan,” sabda Nabi.

Tak sepakat dengan kelompok yang pertama, menurut kubu yang kedua, hukum mengambil upah dari mengajarkan ilmu agama atau Alquran ialah boleh dan tak jadi soal selama tidak mematok harga tertentu.

Pemasangan tarif terhadap aktivitas ini akan menghilangkan pahala dan keutamaannya. Pendapat itu merupakan opsi yang didukung oleh sejumlah ulama mazhab, yaitu generasi kedua dari Mazhab Hanafi, Maliki, Syafi’i, Hanbali menurut salah satu riwayat, dan Zhahiri.

Dalil yang dijadikan dasar oleh kubu kedua, yaitu hadis yang diriwayatkan oleh Ibn Abbas. Hadis ini mengisahkan izin Rasulullah atas upah seorang sahabat yang telah membacakan ruqyah untuk warga yang terkena sengatan ular. “Sesungguhnya, upah yang paling pantas bagimu ialah upah atas (pembacaan dan pengajaran) Alquran,” sabda Rasul.    Argumentasi selanjutnya ialah kisah yang dinukilkan di riwayat Sahal bin Sa’ad. Rasul mengabulkan pernikahan sahabatnya dengan mahar bacaan Alquran.

Tak sedikit generasi salaf yang memberikan upah bagi para pengajar Alquran, seperti Umar bin Khatab. Sosok berjuluk al-Faruq itu memberi upah dari kocek pribadinya kepada tiga pengajar Alquran di Madinah.

Sa’ad bin Abi Waqash dan Amar bin Yasar memiliki tradisi mengupah para pembaca Alquran selama Ramadhan. Imam Malik pun pernah menegaskan, tak jadi soal menerima upah atas pengajaran ilmu agama, termasuk Alquran. “Aku belum pernah mendengar satu pun ulama yang melarangnya,” kata pencetus Mazhab Maliki itu.. Sumber: REPUBLIKA.CO.ID

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.