Haruskah seorang jurnalis melepas keyakinan agamanya ketika melakukan
 tugas jurnalistik? Pertanyaan ini menggelitik penulis karena ada cara 
pandang sebagian jurnalis yang mengatakan, jika jurnalis tidak melepas 
keyakinan agamanya ketika melakukan tugas jurnalistiknya, contoh meliput
 konflik agama, maka akan kehilangan obyektivitas. Benar kah cara 
pandang demikian? Apakah seorang jurnalis yang memegang teguh ajaran 
agamanya akan kehilangan obyektivitasnya ketika melakukan tugas 
jurnalistik di tengah konflik? Apapun penyebab konflik tersebut? 
Penulis beranggapan cara pandang demikian tidak lepas dari paham 
sekulerisme yang memisahkan agama dari realita kehidupan. Paham ini 
sudah berkelindan dalam ilmu-ilmu jurnalistik yang diajarkan di banyak 
perguruan tinggi. Keduanya sudah menjadi darah daging yang sulit 
dipisahkan. Hal itu dapat dilihat dari sembilan elemen jurnalisme yang 
menjadi ideologi mainstream dalam jurnalistik. Salah satu elemen yang 
diajarkan adalah, jurnalistik harus mengejar kebenaran untuk disampaikan
 kepada masyarakat.
Namun, jurnalistik tidak mengajarkan apa itu kebenaran dan apa 
parameter kebenaran yang dianut. Dalam kajian jurnalistik, kebenaran 
menjadi relatif dengan alasan terlepas dari kepentingan tertentu atau 
tidak memihak demi keberimbangan. Penulis buku sembilan elemen 
jurnalisme, Bill Kovach dan Tom Rosenstiel, bahkan mengaku kesulitan 
menentukan apa itu kebenaran. Bagi keduanya, jurnalistik akan sampai 
pada kebenaran jika sudah mewawancarai ribuan orang mengenai suatu 
persoalan.
Dengan ribuan pendapat yang dikumpulkan, maka akan diolah untuk 
kemudian dijadikan sebuah  kebenaran. Kebenaran yang dihasilkan dari 
wawancara terhadap ribuan individu tentunya akan menimbulkan persoalan 
lain. Bukan kah setiap kepala memiliki pendapat yang tidak sama? Seperti
 pepatah mengatakan, rambut boleh hitam, tapi isi kepala belum tentu 
sama. Belum lagi pendapat ribuan orang di suatu negara akan berbeda 
dengan di negara lain.
Artinya, kebenaran yang diajarkan Bill Kovach dan Tom Rosenstiel 
kehilangan parameter dan pijakannya. Dia akan menjadi relativisme yang 
kemudian sulit menemukan definisi kebenaran sejati.
Jurnalistik yang mengadopsi paham sekulerisme telah menjadikan para 
jurnalis sebagai manusia yang tercerabut dari identitas agama. Di 
dalamnya, ditelan mentah-mentah gelombang perubahan cara pandang. 
Jurnalistik menjadi sebuah bagian dari industrialisasi media massa yang 
dikuasai oleh kelompok kapitalis. Harvey Cox memberikan istilah 
sekulerisme sebagai pembebasan manusia dari agama dan pengawasan 
metafisik, menjadi pengalihan perhatian kepada yang ada “di sini dan 
kini”, sebagai konsekuensi logis dari dampak keyakinan yang bersumber 
dari teologi kristen terhadap sejarah.
Perguruan Tinggi Islam yang mengajarkan jurnalistik harus mengubah 
cara pandang pemisahan agama dalam jurnalisme. Dalam sejarahnya, gerakan
 sekulerisme selalu mendapat penolakan di negara-negara muslim. Bahkan, 
di Turki saat ini, secara perlahan-lahan politik Islam mulai bergeliat 
melawan dominasi paham sekuler. Kajian yang dilakukan Mark Juergensmeyer
 (1993) menunjukkan, negara-negara dengan penduduk mayoritas muslim 
belum merasakan hakikat kemerdekaan dari kolonialisme barat, jika negara
 mereka belum menerapkan Syariat Islam.
Jurnalistik dengan Islamic Worldview
Islam memiliki catatan yang panjang dalam kegiatan jurnalistik. Para 
ulama Islam menulis ratusan kitab yang di dalamnya sarat dengan 
informasi, peristiwa dan cara pandang. Ali bin Abi Thalib bahkan 
menggambarkan “tulisan adalah tamannya para ulama”. Imam al Ghazali 
adalah jurnalis ketika menceritakan ulama di zamannya dalam Ihya 
Ulumuddin. At-Thabari adalah jurnalis ketika dia merekam peristiwa sejak
 Nabi Adam sampai peristiwa di zamannya dalam tarikh al Umam wa al 
Muluk. Ibnu Abdi Rabbin juga jurnalis, ketika dia menuturkan 
peristiwa-peristiwa sosiokultural dunia Islam klasik dalam 25 kitab yang
 diberinya nama Al-Iqd al Farid. Dalam permulaan bukunya, dia bahkan 
mengutip ucapan Plato: “Pikiran manusia terekam di ujung pena mereka”.
Para ulama Islam itu merupakan jurnalis-jurnalis andal di zamannya. 
Mereka jujur dan dapat dipercaya menyampaikan informasi secara obyektif.
Mereka telah berjasa bukan saja sebagai perekam peristiwa atau 
pengawal peradaban Islam, melainkan juga tonggak-tonggak sejarah 
perkembangan Islam. Kitab-kitab yang mereka tulis menjadi media yang 
kemudian bisa dipelajari oleh generasi saat ini. Satu hal paling penting
 yang dapat diambil hikmahnya adalah, menjadi jurnalis yang obyektif 
tidak perlu menanggalkan kebenaran agama yang dianut.
Para ulama di atas mampu membuktikan, jurnalis dengan cara pandang yang dibalut dengan Islamic Worldview,
 tidak akan menghilangkan obyektivitas. Kebenaran dalam Islam yang sudah
 dibakukan dalam kitab suci, tidak menghilangkan obyektivitas jurnalis 
dalam melihat realita kehidupan. Lebih dari itu, jurnalis muslim 
hendaknya sanggup menjadi jurnalis profetik. Artinya, dia mampu menjadi 
pembawa amanat kenabian dan risalah agama, serta mampu melakukan amar 
ma’ruf dan nahi mungkar.
Dalam konteks saat ini, Jurnalistik dengan Islamic Worldview
 bisa menjadi kajian untuk menghadang dominasi negara maju di bidang 
komunikasi massa. Meminjam istilah ilmuwan sosial, Johan Galtung, adanya
 dominasi negara maju atas negara berkembang di bidang komunikasi massa.
 Imperialisme di bidang komunikasi massa ini kemudian merasuk dalam 
ilmu-ilmu jurnalistik. Mengapa disebut imperialisme komunikasi? Karena 
pada kenyataannya, hubungan negara maju dengan negara berkembang 
menciptakan arus informasi yang mengalir bersifat feodalistik dan 
deterministik.
Negara-negara barat menjadi jendela informasi secara sepihak terhadap
 negara-negara muslim. Tapi negara-negara muslim tidak bisa menyebarkan 
informasi yang benar tentang kondisi mereka ke negara-negara barat. 
Maka, yang terjadi adanya distorsi informasi tentang Islam dan umat 
Islam di negara-negara barat. Sistem informasi yang demikian sudah 
dirancang jauh-jauh hari sebagai bagian dari hubungan antara negara maju
 (baca: barat) dan negara-negara berkembang (baca: Islam).
Kantor-kantor berita yang dimiliki negara-negara Barat, bukan hanya 
pembuat berita, tetapi mereka juga menjadi penentu berita apa saja yang 
layak disalurkan ke negara-negara berpenduduk mayoritas muslim. Dengan 
pola arus penyebaran informasi seperti ini, setidaknya ada dua 
implikasi. Pertama, menyangkut akurasi pemberitaan. Kedua, menyangkut 
soal preferensi obyek pemberitaan.
Untuk hal yang pertama, buku Covering Islam, karya Edward 
Said, berbicara dengan sangat detail bagaimana kantor-kantor berita 
Barat menyajikan Islam sebagai berita. Menurut Said, banyak pemberitaan 
tentang Islam yang disajikan secara superfisial oleh jurnalis-jurnalis 
Barat. Hal itu, menurutnya, bisa terjadi karena ketidaktahuan atau 
kesengajaan.
Tentang hal yang kedua, Preferensi obyek pemberitaan, biasanya erat 
hubungannya dengan persoalan ideologis. Dalam soal pemberitaan, 
negara-negara Barat menganut ideologi “free flow of ideas by words and image“.
 Ideologi ini kemudian diartikan sebagai bebas memberitakan apa saja 
yang menarik untuk diketahui publik. Ideologi pemberitaan yang demikian 
sudah tentu menguntungkan negara-negara Barat, karena mereka yang 
menguasai sarana informasi dan komunikasi. Ideologi ini juga menjadi 
alat legitimasi yang paling baik bagi negara-negara barat untuk berperan
 sebagai “jendela dunia” bagi negara-negara Muslim.
Kita beruntung hidup di era internet yang demikian luas. 
Jurnalis-jurnalis muslim bisa membangun media massa online yang mudah 
dan murah, namun memiliki daya pengaruh yang besar. Bahkan kehadiran 
sosial media bisa mengimbangi adanya imperalisme dan kolonialisme di 
bidang informasi dan komunikasi.
Dengan gencarnya arus sekulerisasi di lini massa, maka kajian 
Jurnalistik dengan Islamic Worldview bisa menjadi alternatif untuk 
menghadangnya. Penolakan terhadap sekulerisme tidak hanya terjadi di 
dunia Islam. Sejarah telah menunjukkan penentangan terhadap sekulerisme 
di seluruh negara. Agama dan politik jalin-menjalin sepanjang sejarah di
 seluruh dunia. Sejumlah pemberontakan melawan penguasa, dari Revolusi 
Maccabean di Israel kuno sampai pemberontakan Taiping di Cina, gerakan 
Wahabiyah di Arab Saudi dan Puritanisme di Inggris, merupakan gerakan 
perlawanan kelompok agama terhadap sekulerisme.
***
Oleh: Mohamad Fadhilah Zein (Penulis Buku “Kezaliman Media Massa 
terhadap Umat Islam” dan Dosen Komunikasi Penyiaran Islam Universitas 
Ibn Khaldun Bogor)-An-najah
 

Posting Komentar