Go Ihsan - Tingkatan Zuhud
Zuhud orang-orang beriman memiliki tingkatan. Zuhud terhadap
yang haram, zuhud terhadap yang makruh, zuhud terhadap yang syubhat, dan zuhud
terhadap segala urusan dunia yang tidak ada manfaatnya untuk kebaikan hidup di
akhirat.
Zuhud terhadap yang haram hukumnya wajib. Orang-orang
beriman harus zuhud atau meninggalkan segala sesuatu yang diharamkan Allah.
Bahkan sifat-sifat orang beriman, bukan hanya meninggalkan yang diharamkan,
tetapi meninggalkan segala sesuatu yang tidak berguna. Kualitas keimanan dan
keislaman seseorang sangat terkait dengan kemampuannya dalam meninggalkan
segala sesuatu yang tidak berguna. Allah swt. berfirman, “Dan orang-orang
yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tiada berguna.” (Al-Mu’minun:
3). Rasulullah saw. bersabda, ”Diantara tanda kebaikan Islam
seseorang adalah meninggalkan hal-hal yang tidak berguna.” (HR At-Tirmidzi)
Imam Ahmad mengatakan, ”Zuhud ada tiga bentuk. Pertama,
meninggalkan sesuatu yang haram, dan ini adalah zuhudnya orang awwam. Kedua,
meninggalkan berlebihan terhadap yang halal, ini adalah zuhudnya golong yang
khusus. Ketiga, meninggalkan segala sesuatu yang menyibukkannya dari mengingat
Allah, dan ini adalah zuhudnya orang-orang arif.”
Hal yang berkaitan dengan zuhud ada 6 perkara. Seseorang
tidak berhak menyandang sebutan zuhud sehingga bersikap zuhud terhadap 6
perkara tersebut, yaitu; harta, rupa (wajah), kedudukan (kekuasaan), manusia,
nafsu, dan segala sesuatu selain Allah. Namun demikian, ini bukan berarti
menolak kepemilikan terhadapnya. Nabi Daud a.s. dan Nabi Sulaiman a.s. adalah
orang yang paling zuhud di zamannya, tetapi memiliki banyak harta, wanita, dan
kedudukan.
Nabi Muhammad saw. adalah nabi yang paling zuhud, tetapi
juga punya beristri lebih dari satu. Sembilan dari sepuluh sahabat yang dijamin
masuk surga tanpa hisab, kecuali Ali bin Abi Thalib, semuanya kaya raya, tetapi
pada saat yang sama mereka adalah orang yang paling zuhud. Mereka adalah Abu
Bakar As-Shiddiq, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, Abu Ubaidah bin Jarrah,
Abdurahman bin Auf, Zubair bin Awwam, Thalhah bin Ubaidillah, Saad bin Abi
Waqqas, dan Said bin Abdullah. Sedangkan Ali bin Abi Thalib adalah sahabat yang
paling zuhud. Meskipun demikian ketika meninggal dunia, beliau meninggalkan 21
wanita: 4 orang istri merdeka dan 17 budak wanita.
Setiap orang beriman harus senantiasa meningkatkan kualitas
zuhudnya. Itulah yang akan memberinya kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat
serta meraih ridha Allah swt. Orang-orang yang berkerja keras mencari nafkah
dengan cara yang halal. Ketika berhasil meraih banyak harta kemudian menunaikan
kewajiban atas harta tersebut, seperti zakat, infak, dan lainnya. Dengan
berlaku seperti itu, dia termasuk orang zuhud. Orang-orang yang beriman yang
memiliki istri lebih dari satu untuk membersihkan dirinya (iffah) adalah
termasuk orang yang zuhud.
Sedangkan orang kafir, karakteristiknya adalah rakus
terhadap kehidupan dunia dan menghalalkan segala cara untuk mendapatkannya.
Bagi mereka tidak ada istilah halal dan haram. Mereka tidak mengenal perbedaan
antara nikah dengan zina, antara hadiah dengan suap, antara bisnis dengan riba,
antara makanan halal dengan yang haram. Bahkan pada hal yang dianggap tabu saja
orang-orang kafir berupaya menghalakan semuanya. Perzinaan mereka menghalalkan
dengan dalil hak asasi manusia.
Berawal dari kebebasan hak untuk membuka aurat dalam
berbusana. Permisif dalam pergaulan dengan membolehkan berduaan di tempat sepi.
Berciuman di tempat umum dijadikan hal lumrah. Sehingga, perilaku perzinaan
menjadi berita yang selalu dipertontonkan di teve dan dikabarkan di tabliod.
Dari mulai perzinaan lelaki dengan perempuan yang belum menikah, perzinaan
lelaki dan perempuan yang sudah menikah, sampai perzinaan sejenis: lelaki
dengan lelaki, perempuan dengan perempuan. Dari perzinaan inces sampai
perzinaan yang dilakukan bukan pada tempatnya. Begitulah kehidupan orang kafir.
Mereka seperti hewan, bahkan lebih rendah lagi. Allah berfirman, “Dan
orang-orang yang kafir itu bersenang-senang (di dunia) dan mereka makan seperti
makannya binatang-binatang. Dan neraka adalah tempat tinggal mereka.” (Muhammad:
12)
Fudhail bin ‘Iyyadh berkata, “Allah menjadikan segenap
keburukan dalam sebuah rumah, dan menjadikan kuncinya adalah cinta dunia.
Dan Allah menjadikan segenap kebaikan dalam sebuah rumah, dan menjadikan
kuncinya adalah zuhud dari dunia.”
Tragisnya, kepemimpinan dunia saat ini dikuasai oleh
orang-orang kafir. Sehingga, kerusakannya sangat dahsyat. Jauh dari nilai-nilai
kemanusiaan. Pola hidup materialisme mendominasi di hampir semua lapangan
kehidupan. Tolok ukur kesusesan diukur dari sejauh mana berhasil meraup
sebanyak-banyak materi, tanpa memperhatikan ukuran agama dan moral. Maka
berlomba-lombalah setiap orang menjual diri dan harga diri untuk meraih sebanyak-banyaknya
materi. Dan mayoritas umat Islam terimbas budaya materialisme itu. Pola
hidupnya mirip dengan orang kafir sehingga terjadilah kerusakan yang sangat
dahsyat. Realitas seperti inilah yang dikhawatirkan oleh Rasulullah saw. dalam
sebuah haditsnya dimana umat Islam terkena virus wahn (cinta
dunia dan takut mati) dan berpola hidup materialisme hampir sama dengan orang
kafir.
Cinta dunia dan rakus terhadap harta adalah penyakit yang
paling berbahaya. Segala bentuk kejahatan bermuara dari kerakusan terhadap
dunia dan pola hidup materialisme: perzinaan dan seks bebas, penjualan bayi,
narkoba, perjudian, riba, korupsi, dan lain sebagainya. Karenanya, Rasulullah
saw. mengingatkan akan bahaya rakus terhadap harta, ”Tidaklah dua
serigala lapar yang dikirim pada kambing melebihi bahayanya daripada kerakusan
seseorang terhadap harta dan kedudukan.” (HR At-Tirmidzi)
Upaya penyadaran kembali umat Islam tentang hakikat dunia
dan akhirat sangat penting. Bahwa keimanan terhadap hari akhir adalah prinsip
yang harus terus menerus diingat dan ditanamkan kepada umat Islam sehingga
motivasi dan tujuan hidup mereka sesuai dengan nilai-nilai Islam. Semakin kuat
keimanan seseorang kepada hari akhir, akan semakin baik dan semakin zuhud.
Sebaliknya, semakin lemah keimanan seseorang kepada hari akhir, akan semakin
jahat dan semakin rakus.
Dalam sebuah riwayat disebutkan dua orang zuhud bertemu,
Ibrahim bin Adham dan Syaqiq Al-Balkhi. Syaqiq bertanya kepada Ibrahim, “Apa
yang Anda ketahui tentang dunia?” Ibrahim balik bertanya, “Kalau menurut Anda,
bagaimana?” Syaqiq menjawab, “Jika kami tidak mendapatkanya, maka kami harus
bersabar. Dan jika mendapatkannya, maka kami harus bersyukur.” Ibrahim bin
Adham berkata, “Kalau seperti itu, maka anjing Balakh (sebuah kota di
Afghanistan) pun melakukannya.” Syaqiq bertanya, “Lalu, bagaimana menurut
pendapat anda?” Ibrahim menjawab, “Jika tidak mendapatkan dunia, kami
bersyukur. Dan jika mendapatnya, kami itsaar (mengutamakannya
untuk orang lain).” Demikianlah bahwa zuhud memang memiliki tingkatan.
Kesalahpahaman terhadap Zuhud
Banyak orang yang salah paham terhadap zuhud. Banyak yang
mengira kalau zuhud adalah meninggalkan harta, menolak segala kenikmatan dunia,
dan mengharamkan yang halal. Tidak demikian, karena meninggalkan harta adalah sangat
mudah, apalagi jika mengharapkan pujian dan popularitas dari orang lain. Zuhud
yang demikian sangat dipengaruhi oleh pikiran sufi yang berkembang di dunia
Islam. Kerja mereka cuma minta-minta mengharap sedekah dari orang lain, dengan
mengatakan bahwa dirinya ahli ibadah atau keturunan Rasulullah saw. Padahal
Islam mengharuskan umatnya agar memakmurkam bumi, bekerja, dan menguasai dunia,
tetapi pada saat yang sama tidak tertipu oleh dunia.
Segala yang halal itu jelas dan segala yang haram itu jelas,
di antara keduanya ada yang syubhat yang harus kita jauhi dan tinggalkan.
Semoga Allah menjadi kita bagian orang yang zuhud dan diberi kita pemimpin
zuhud yang membimbing kita dalam memakmurkan dunia.
Sumber; dakwatuna
Posting Komentar