Go Ihsan - Fudhail bin ‘Iyyadh berkata, “Allah menjadikan segenap
keburukan dalam sebuah rumah, dan menjadikan kuncinya adalah cinta dunia.
Dan Allah menjadikan segenap kebaikan dalam sebuah rumah, dan menjadikan
kuncinya adalah zuhud dari dunia.”
Yahya bin Yazid berkata, ”Tanda zuhud ada dermawan dengan apa yang ada.” Imam Ahmad bin Hambal dan Sufyan r.a. berkata, ”Tanda zuhud adalah pendeknya angan-angan.”
Bersambung
Tragisnya, kepemimpinan dunia saat ini dikuasai oleh
orang-orang kafir. Sehingga, kerusakannya sangat dahsyat. Jauh dari nilai-nilai
kemanusiaan. Pola hidup materialisme mendominasi di hampir semua lapangan
kehidupan. Tolok ukur kesusesan diukur dari sejauh mana berhasil meraup
sebanyak-banyak materi, tanpa memperhatikan ukuran agama dan moral. Maka
berlomba-lombalah setiap orang menjual diri dan harga diri untuk meraih
sebanyak-banyaknya materi. Dan mayoritas umat Islam terimbas budaya
materialisme itu. Pola hidupnya mirip dengan orang kafir sehingga terjadilah
kerusakan yang sangat dahsyat. Realitas seperti inilah yang dikhawatirkan oleh Rasulullah
saw. dalam sebuah haditsnya dimana umat Islam terkena virus wahn (cinta
dunia dan takut mati) dan berpola hidup materialisme hampir sama dengan orang
kafir.
Cinta dunia dan rakus terhadap harta adalah penyakit yang
paling berbahaya. Segala bentuk kejahatan bermuara dari kerakusan terhadap
dunia dan pola hidup materialisme: perzinaan dan seks bebas, penjualan bayi,
narkoba, perjudian, riba, korupsi, dan lain sebagainya. Karenanya, Rasulullah
saw. mengingatkan akan bahaya rakus terhadap harta, ”Tidaklah dua
serigala lapar yang dikirim pada kambing melebihi bahayanya daripada kerakusan
seseorang terhadap harta dan kedudukan.” (HR At-Tirmidzi)
Upaya penyadaran kembali umat Islam tentang hakikat dunia
dan akhirat sangat penting. Bahwa keimanan terhadap hari akhir adalah prinsip
yang harus terus menerus diingat dan ditanamkan kepada umat Islam sehingga
motivasi dan tujuan hidup mereka sesuai dengan nilai-nilai Islam. Semakin kuat
keimanan seseorang kepada hari akhir, akan semakin baik dan semakin zuhud. Sebaliknya,
semakin lemah keimanan seseorang kepada hari akhir, akan semakin jahat dan
semakin rakus.
Dalam sebuah riwayat disebutkan dua orang zuhud bertemu,
Ibrahim bin Adham dan Syaqiq Al-Balkhi. Syaqiq bertanya kepada Ibrahim, “Apa
yang Anda ketahui tentang dunia?” Ibrahim balik bertanya, “Kalau menurut Anda,
bagaimana?” Syaqiq menjawab, “Jika kami tidak mendapatkanya, maka kami harus
bersabar. Dan jika mendapatkannya, maka kami harus bersyukur.” Ibrahim bin
Adham berkata, “Kalau seperti itu, maka anjing Balakh (sebuah kota di
Afghanistan) pun melakukannya.” Syaqiq bertanya, “Lalu, bagaimana menurut
pendapat anda?” Ibrahim menjawab, “Jika tidak mendapatkan dunia, kami
bersyukur. Dan jika mendapatnya, kami itsaar (mengutamakannya
untuk orang lain).” Demikianlah bahwa zuhud memang memiliki tingkatan.
Kesalahpahaman terhadap Zuhud
Banyak orang yang salah paham terhadap zuhud. Banyak yang
mengira kalau zuhud adalah meninggalkan harta, menolak segala kenikmatan dunia,
dan mengharamkan yang halal. Tidak demikian, karena meninggalkan harta adalah
sangat mudah, apalagi jika mengharapkan pujian dan popularitas dari orang lain.
Zuhud yang demikian sangat dipengaruhi oleh pikiran sufi yang berkembang di
dunia Islam. Kerja mereka cuma minta-minta mengharap sedekah dari orang lain,
dengan mengatakan bahwa dirinya ahli ibadah atau keturunan Rasulullah saw.
Padahal Islam mengharuskan umatnya agar memakmurkam bumi, bekerja, dan
menguasai dunia, tetapi pada saat yang sama tidak tertipu oleh dunia.
Segala yang halal itu jelas dan segala yang haram itu jelas,
di antara keduanya ada yang syubhat yang harus kita jauhi dan tinggalkan.
Semoga Allah menjadi kita bagian orang yang zuhud dan diberi kita pemimpin
zuhud yang membimbing kita dalam memakmurkan dunia.
Yahya bin Yazid berkata, ”Tanda zuhud ada dermawan dengan apa yang ada.” Imam Ahmad bin Hambal dan Sufyan r.a. berkata, ”Tanda zuhud adalah pendeknya angan-angan.”
Kehidupan zuhud ini dicontoh oleh para sahabatnya: Abu
Bakar, Umar, Utsman bin Affan, dan Abdurrahman bin Auf. Mereka adalah beberapa
sahabat yang kaya raya, tetapi tidak mengambil semua harta kekayaannya untuk
diri sendiri dan keluarganya. Sebagian besar harta mereka habis untuk
dakwah, jihad, dan menolong orang-orang beriman.
Mereka adalah tokoh pemimpin dunia yang dunia ada dalam genggamannya, namun
tidak tertipu oleh dunia. Bahkan, mereka lebih mementingkan kehidupan akhirat
dengan segala kenikmatannya. Abu Bakar berkata, ”Ya Allah, jadikanlah dunia
di tangan kami, bukan di hati kami.”
Suatu saat Ibnu Umar mendengar seseorang bertanya, ”Dimana
orang-orang yang zuhud terhadap dunia dan mencintai akhirat?” Lalu Ibnu Umar
menunjukkan kuburan Rasulullah saw., Abu Bakar, dan Umar, seraya balik
bertanya, ”Bukankah kalian bertanya tentang mereka?”
Abu Sulaiman berkata, ”Utsman bin ‘Affan dan Abdurrahman bin
Auf adalah dua gudang harta dari sekian banyak gudang harta Allah yang ada di
bumi. Keduanya menginfakkan harta tersebut dalam rangka mentaati Allah, dan
bersiap menuju Allah dengan hati dan ilmunya.”
Dengan demikian hanya orang yang berimanlah yang dapat
memakmurkan bumi dan memimpin dunia dengan baik, karena mereka tidak
menghalalkan segala cara untuk meraihnya. Demikianlah cara umat Islam memimpin
dunia, mulai dari Rasulullah saw., khulafaur rasyidin sampai pemimpin
berikutnya. Pemerintahan Islam berhasil menghadirkan keamanan, perdamaian,
keadilan, dan kesejahteraan. Perdaban dibangun atas dasar keimanan dan moral.
Pada masa pemerintahan Umar bin Abdul Aziz, salah satu pemimpin yang paling
zuhud, masyarakat merasakan ketentraman, kesejahteraan, dan keberkahan. Tidak
ada lagi orang yang miskin yang meminta-minta, karena kebutuhannya sudah
tercukupi.
Bersambung
Posting Komentar