Go Ihsan- Beliau mengawalinya
dengan menimbanya dari ulama-ulama kotanya, Mekkah, seperti Muslim bin Khalid,
Dawud bin Abdurrahman al-‘Athar, Muhammad bin Ali bin Syafi’ -yang masih
terhitung paman jauhnya-, Sufyan bin ‘Uyainah -ahli hadits Mekkah-, Abdurrahman
bin Abu Bakar al-Maliki, Sa’id bin Salim, Fudhail bin ‘Iyadh, dan lain-lain. Di
Mekkah ini, beliau mempelajari ilmu fiqih, hadits, lughoh, dan Muwaththa’ Imam
Malik. Di samping itu beliau juga mempelajari keterampilan memanah dan
menunggang kuda sampai menjadi mahir sebagai realisasi pemahamannya terhadap
ayat 60 surat Al-Anfal. Bahkan dikatakan bahwa dari 10 panah yang dilepasnya, 9
di antaranya pasti mengena sasaran.
Setelah mendapat izin
dari para syaikh-nya untuk berfatwa, timbul keinginannya untuk mengembara ke
Madinah, Dar as-Sunnah, untuk mengambil ilmu dari para ulamanya. Terlebih lagi
di sana ada Imam Malik bin Anas, penyusun al-Muwaththa’. Maka
berangkatlah beliau ke sana menemui sang Imam. Di hadapan Imam Malik, beliau
membaca al-Muwaththa’ yang telah dihafalnya di Mekkah, dan
hafalannya itu membuat Imam Malik kagum kepadanya. Beliau menjalani mulazamah kepada
Imam Malik demi mengambil ilmu darinya sampai sang Imam wafat pada tahun 179.
Di samping Imam Malik, beliau juga mengambil ilmu dari ulama Madinah lainnya
seperti Ibrahim bin Abu Yahya, ‘Abdul ‘Aziz ad-Darawardi, Athaf bin Khalid,
Isma’il bin Ja’far, Ibrahim bin Sa’d dan masih banyak lagi.
Setelah kembali ke
Mekkah, beliau kemudian melanjutkan mencari ilmu ke Yaman. Di sana beliau
mengambil ilmu dari Mutharrif bin Mazin dan Hisyam bin Yusuf al-Qadhi, serta
yang lain. Namun, berawal dari Yaman inilah beliau mendapat cobaan -satu hal
yang selalu dihadapi oleh para ulama, sebelum maupun sesudah beliau-. Di Yaman,
nama beliau menjadi tenar karena sejumlah kegiatan dan kegigihannya menegakkan
keadilan, dan ketenarannya itu sampai juga ke telinga penduduk Mekkah. Lalu,
orang-orang yang tidak senang kepadanya akibat kegiatannya tadi mengadukannya
kepada Khalifah Harun ar-Rasyid, Mereka menuduhnya hendak mengobarkan
pemberontakan bersama orang-orang dari kalangan Alawiyah.
Sebagaimana dalam
sejarah, Imam Syafi’i hidup pada masa-masa awal pemerintahan Bani ‘Abbasiyah
yang berhasil merebut kekuasaan dari Bani Umayyah. Pada masa itu, setiap
khalifah dari Bani ‘Abbasiyah hampir selalu menghadapi pemberontakan
orang-orang dari kalangan ‘Alawiyah. Kenyataan ini membuat mereka bersikap
sangat kejam dalam memadamkan pemberontakan orang-orang ‘Alawiyah yang
sebenarnya masih saudara mereka sebagai sesama Bani Hasyim. Dan hal itu
menggoreskan rasa sedih yang mendalam pada kaum muslimin secara umum dan pada
diri Imam Syafi’i secara khusus. Dia melihat orang-orang dari Ahlu Bait Nabi
menghadapi musibah yang mengenaskan dari penguasa. Maka berbeda dengan sikap
ahli fiqih selainnya, beliau pun menampakkan secara terang-terangan rasa
cintanya kepada mereka tanpa rasa takut sedikitpun, suatu sikap yang saat itu
akan membuat pemiliknya merasakan kehidupan yang sangat sulit.
Sikapnya itu membuatnya
dituduh sebagai orang yang bersikap tasyayyu’, padahal sikapnya
sama sekali berbeda dengan tasysyu’ model orang-orang syi’ah.
Bahkan Imam Syafi’i menolak keras sikap tasysyu’ model mereka itu
yang meyakini ketidakabsahan keimaman Abu Bakar, Umar, serta ‘Utsman , dan
hanya meyakini keimaman Ali, serta meyakini kemaksuman para imam mereka.
Sedangkan kecintaan beliau kepada Ahlu Bait adalah kecintaan yang didasari oleh
perintah-perintah yang terdapat dalam Al-Quran maupun hadits-hadits shahih. Dan
kecintaan beliau itu ternyata tidaklah lantas membuatnya dianggap oleh
orang-orang syiah sebagai ahli fiqih madzhab mereka.
Tuduhan dusta yang
diarahkan kepadanya bahwa dia hendak mengobarkan pemberontakan, membuatnya
ditangkap, lalu digelandang ke Baghdad dalam keadaan dibelenggu dengan rantai
bersama sejumlah orang-orang ‘Alawiyah. Beliau bersama orang-orang ‘Alawiyah
itu dihadapkan ke hadapan Khalifah Harun ar-Rasyid. Khalifah menyuruh
bawahannya menyiapkan pedang dan hamparan kulit. Setelah memeriksa mereka
seorang demi seorang, ia menyuruh pegawainya memenggal kepala mereka. Ketika
sampai pada gilirannya, Imam Syafi’i berusaha memberikan penjelasan kepada
Khalifah. Dengan kecerdasan dan ketenangannya serta pembelaan dari Muhammad bin
al-Hasan -ahli fiqih Irak-, beliau berhasil meyakinkan Khalifah tentang
ketidakbenaran apa yang dituduhkan kepadanya. Akhirnya beliau meninggalkan
majelis Harun ar-Rasyid dalam keadaan bersih dari tuduhan bersekongkol dengan
‘Alawiyah dan mendapatkan kesempatan untuk tinggal di Baghdad.
Di Baghdad, beliau
kembali pada kegiatan asalnya, mencari ilmu. Beliau meneliti dan mendalami
madzhab Ahlu Ra’yu. Untuk itu beliau berguru dengan mulazamah kepada Muhammad
bin al-Hassan. Selain itu, kepada Isma ‘il bin ‘Ulayyah dan Abdul Wahhab
ats-Tsaqafiy dan lain-lain. Setelah meraih ilmu dari para ulama Irak itu,
beliau kembali ke Mekkah pada saat namanya mulai dikenal. Maka mulailah ia
mengajar di tempat dahulu ia belajar. Ketika musim haji tiba, ribuan jamaah
haji berdatangan ke Mekkah. Mereka yang telah mendengar nama beliau dan ilmunya
yang mengagumkan, bersemangat mengikuti pengajarannya sampai akhirnya nama
beliau makin dikenal luas. Salah satu di antara mereka adalah Imam Ahmad bin
Hanbal.
Ketika kamasyhurannya
sampai ke kota Baghdad, Imam Abdurrahman bin Mahdi mengirim surat kepada Imam
Syafi’i memintanya untuk menulis sebuah kitab yang berisi khabar-khabaryang maqbul,
penjelasan tentang nasikh dan mansukh dari
ayat-ayat Alquran dan lain-lain. Maka beliau pun menulis kitabnya yang
terkenal, Ar-Risalah.
Setelah lebih dari 9
tahun mengajar di Mekkah, beliau kembali melakukan perjalanan ke Irak untuk
kedua kalinya dalam rangka menolong madzhab Ash-habul Hadits di
sana. Beliau mendapat sambutan meriah di Baghdad karena para ulama besar di
sana telah menyebut-nyebut namanya. Dengan kedatangannya, kelompok Ash-habul
Hadits merasa mendapat angin segar karena sebelumnya mereka merasa
didominasi oleh Ahlu Ra’yi. Sampai-sampai dikatakan bahwa ketika
beliau datang ke Baghdad, di Masjid Jami ‘ al-Gharbi terdapat sekitar 20
halaqah Ahlu Ra ‘yu. Tetapi ketika hari Jumat tiba, yang tersisa
hanya 2 atau 3 halaqah saja.
Beliau menetap di Irak
selama dua tahun, kemudian pada tahun 197 beliau balik ke Mekkah. Di sana
beliau mulai menyebar madzhabnya sendiri. Maka datanglah para penuntut ilmu
kepadanya meneguk dari lautan ilmunya. Tetapi beliau hanya berada setahun di
Mekkah.
Tahun 198, beliau
berangkat lagi ke Irak. Namun, beliau hanya beberapa bulan saja di sana karena
telah terjadi perubahan politik. Khalifah al-Makmun telah dikuasai oleh para
ulama ahli kalam, dan terjebak dalam pembahasan-pembahasan tentang ilmu kalam.
Sementara Imam Syafi’i adalah orang yang paham betul tentang ilmu kalam. Beliau
tahu bagaimana pertentangan ilmu ini dengan manhaj as-salaf ash-shaleh -yang
selama ini dipegangnya- di dalam memahami masalah-masalah syariat. Hal itu
karena orang-orang ahli kalam menjadikan akal sebagai patokan utama dalam
menghadapi setiap masalah, menjadikannya rujukan dalam memahami syariat padahal
mereka tahu bahwa akal juga memiliki keterbatasan-keterbatasan. Beliau tahu
betul kebencian meraka kepada ulama ahlu hadits. Karena itulah beliau menolak
madzhab mereka.
Posting Komentar