Go Ihsan - Assalaamu'alaikum wr. wb.
Kejadian ini lebih dari empat puluh tahun yang lalu. Ketika
itu, pertentangan antara kubu Islam dan komunis telah hampir mencapai
klimaksnya. Partai Komunis Indonesia (PKI) yang membawa ideologi komunis
(sekaligus atheis) bergandengan rapat dengan Presiden Soekarno. Golongan Islam
telah benar-benar dipinggirkan. Mohammad Natsir, yang pernah menjadi kartu truf
bagi Soekarno dalam menghadapi persoalan-persoalan dalam negeri, telah
diasingkan dari panggung politik. Partai Masyumi telah dibubarkan beberapa tahun
sebelumnya, bahkan PKI menggunakan nama "Masyumi" untuk konotasi
buruk, sebagaimana media Barat kini mengasosiasikan jihad dengan terorisme.
Tuduhan "ingin menghidupkan kembali Masyumi" pada masa itu
dipersepsikan sama buruknya dengan tuduhan "ingin menghidupkan kembali
PKI" di masa kini.
Antara Buya Hamka dan Soekarno telah terjadi benturan yang
sangat keras dan nampaknya sudah tak bisa diperbaiki lagi. Buya, yang tadinya
memandang Soekarno sebagai anak muda penuh kharisma dan semangat, kini
memandangnya telah kebablasan. Pernah suatu ketika Soekarno menyatakan
pandangannya dalam sebuah sidang, kemudian ia mengatakan, "Inilah
ash-shiraath al-mustaqiim!" (jalan yang benar). Buya menimpali,
"Bukan, itu adalah ash-shiraat ila al-jahiim!" (jalan menuju Neraka
Jahim). Sudah barang tentu, Buya tidak pernah bisa menerima pemikiran Soekarno
pada masa itu yang sudah terlalu terkontaminasi dengan pemikiran-pemikiran
sekuler dan komunis. Itulah sebabnya Buya marah besar ketika Muhammadiyah
menganugerahinya suatu gelar kehormatan yang belum pernah diberikan sebelumnya
kepada orang lain.
Pada tahun 1964 itu, sudah beredar kabar bahwa para ulama
dan pemuka umat Islam, terutama tokoh-tokoh Masyumi, akan segera ditangkap.
Buya Hamka sendiri merasa dirinya bukan tokoh politik, karena memang ia kurang
tertarik pada politik. Dalam urusan politik, beliau mempercayakan pandangannya
pada sahabatnya, Natsir. Meskipun tidak punya jabatan tinggi di Masyumi, namun
beliau dikenal luas sebagai juru kampanye dan orator andalan partai itu. Ketika
beredar kabar bahwa tokoh-tokoh eks Masyumi dan para 'penentang pemerintah'
akan ditangkap, sikap Buya relatif tenang, karena tidak merasa sebagai tokoh
penting di Masyumi, dan juga tidak merasa sebagai penentang pemerintah.
Yang diisukan itu akhirnya terjadi juga. Pagi itu, Buya
Hamka baru saja pulang sehabis mengisi pengajian ibu-ibu. Sesampainya di rumah,
beliau beristirahat sejenak, sementara Ummi Siti Raham, istrinya, tidur di
kamar karena sedang tidak sehat. Sekonyong-konyong datanglah beberapa orang
polisi berpakaian preman yang menunjukkan surat perintah penangkapan terhadap
dirinya. "Jadi saya ditangkap?", ujar Buya yang masih diliputi
keheranan, berkata pelan-pelan agar tidak mengejutkan istrinya. Rusydi, anak
beliau, membereskan pakaian secukupnya untuk beliau bawa.
Suara gaduh akhirnya membangunkan sang istri yang juga tidak
tahu mesti berkomentar apa menanggapi penangkapan itu. Buya hanya merangkul
bahunya, menghiburnya agar tetap tegar. Kepada istri dan anak-anaknya, Buya
Hamka berpesan bahwa insya Allah penangkapannya takkan lama, karena ia sendiri
merasa tak pernah berbuat salah. Tidak ada informasi ke mana beliau dibawa,
hanya ada pesan bahwa keluarganya boleh menghubungi Mabes Polri untuk informasi
lebih lanjut. Maka dibawalah Buya ke dalam sebuah mobil yang segera melesat,
entah ke mana. Setelah mobil menghilang dari pandangan, pingsanlah Ummi Siti
Raham.
Selama beberapa waktu lamanya, tidak ada kabar sama sekali
tentang Buya. Tidak ada yang tahu di mana beliau ditahan, apa tuduhannya,
bahkan masih hidup atau tidaknya pun entah. Sampai akhirnya ada berita bahwa
keluarga boleh mengunjunginya di Sukabumi, barulah istri dan kesepuluh anaknya
dapat bertemu. Di bawah pengawasan para penjaga yang berwajah sangar, Buya
sempat menyelundupkan pesan ke salah satu anak laki-lakinya, "Para penjaga
ini sama dengan Gestapo Nazi!" Secarik surat juga sempat disisipkan untuk
dibaca oleh keluarganya di rumah.
Terkejutlah keluarganya membaca pesan Buya, sebagaimana Buya
juga terkejut ketika pertama kali interogatornya memberi tahu tuduhan-tuduhan
yang ditimpakan kepada dirinya. Terlibat dalam rapat rahasia menggulingkan
Presiden, menerima uang empat juta (tidak jelas mata uangnya) dari Perdana
Menteri Malaysia, memberikan kuliah yang bersifat subversif, dan berbagai
kejahatan lainnya.
Dalam penahanan, sudah tak ada lagi gelar ulama, bahkan para
interogator tidak ada yang memanggilnya Buya, meskipun seluruh warga Indonesia
sudah biasa dengan sebutan itu. Dari hari ke hari, beliau diinterogasi dengan
kata-kata kasar dan penuh hinaan, hingga suatu hari pernah beliau tergoda untuk
melakukan perlawanan, namun dibatalkannya setelah menyadari bahwa hal itu hanya
akan membuat keadaan menjadi lebih buruk. Tuduhan-tuduhan yang ditimpakan
padanya murni dibuat-buat, karena pada tanggal terjadinya rapat gelap tersebut
(jika memang rapat itu ada) beliau tengah menghadiri sebuah acara besar yang
dihadiri banyak orang, dan beliau pun berbicara pada acara itu, disaksikan
semua orang. Dalam kuliah yang diberikannya itu, sama sekali tak ada unsur
subversif. Bahkan dalam kuliah itu Hamka mengatakan bahwa cara-cara yang telah
ditempuh Daud Beureueh telah gagal, karena itu jangan gunakan lagi cara yang
sama. Tempuhlah cara-cara damai untuk menyebarkan ajaran Islam di negeri ini.
Satu dari mahasiswa yang menghadiri kuliah tersebut ternyata menjadi mata-mata
dan melaporkan ucapan Buya dengan tidak utuh.
Para interogator tak mau tahu apa pun alasan yang diberikan,
karena tujuan mereka memang untuk membuat Buya mengaku, bukan untuk mengorek
kebenaran. Kata mereka, sudah banyak saksi yang mengatakan bahwa Buya memang
hadir dalam rapat gelap, diantaranya si fulan dan si fulan. Dalam suatu
kesempatan, akhirnya permohonan Buya untuk dipertemukan dengan salah seorang
yang bersaksi demikian dikabulkan. Orang itu baru ditemuinya dua kali. Akan
tetapi, di hadapan penyidik, ia bilang Hamka memang melakukan ini dan itu.
Ketika ditinggal berdua dengannya, tahulah Buya bahwa orang ini hanya
mengaku-ngaku saja lantaran tak berani menerima siksaan. Selain dia, sudah ada
orang lain yang disiksa karena tak mau mengakui skenario bikinan pemerintah.
Siksaan yang diterima Buya rupanya masih jauh dari maksimal, karena yang lain
sudah dipukul dan disetrum.
Pada suatu hari, kelelahan Buya telah memuncak. Ketika itu,
tim interogator datang seperti biasa, dengan wajah yang sangarnya tidak
dibuat-buat. Salah seorang diantaranya membawa sebuah bungkusan yang isinya tak
terlihat. Buya, yang sudah terlalu capek, meminta agar para penyidik itu menuliskan
saja apa-apa yang telah dituduhkan kepadanya, dan ia akan menandatanganinya,
jika memang itu yang mereka inginkan. Para penyidik pun senang, kemudian Buya
dapat istirahat beberapa lama sementara mereka menyusun konsep yang akan
ditandatanganinya.
Kejadian terjadi susul-menyusul. Terungkaplah nama orang
yang telah memfitnah Buya Hamka, dan orang itu pun telah berada di tahanan
polisi (dan disiksa juga). Tidak banyak informasi yang bisa didapatkan perihal
sebab-musabab dihembuskannya fitnah itu. Yang jelas, sejak itu, sikap para
penyidik menjadi lunak. Beberapa yang tadinya kejam dan sangar bahkan mulai
memanggilnya Buya, membawakan makanan. Seorang diantaranya, yang pernah membawa
bungkusan, meminta diajari doa-doa yang biasa dibaca Buya. Buya pun mengajarinya
beberapa doa, sambil berpesan bahwa doa-doa tersebut hanyalah tambahan saja,
sedangkan yang paling utama dan tak boleh ditinggalkan adalah shalat lima
waktu. Setelah ia pergi, seorang polisi muda datang dan menitikkan air mata di
hadapan Buya. Katanya, ia menangis dan berdoa di luar ruangan tempat Buya
diinterogasi dahulu, karena penyidik yang tadi baru saja minta diajarkan
doa-doa itu sebenarnya membawa alat untuk menyetrum Buya, yang disembunyikannya
dalam sebuah bungkusan. Syukur alhamdulillaah, tubuh Buya tak perlu mengalami
siksaan itu.
Pada tahun 1966, bersamaan dengan hancurnya kekuasaan PKI
dan pemerintahan Soekarno, Buya Hamka dibebaskan. Semua tuduhan pada dirinya
dihapuskan. Setelah peristiwa itu, tak pernah terdengar Buya menuntut balas
atas kezaliman yang telah dialaminya. Dalam pendahuluannya untuk Tafsir
Al-Azhar, Buya mengatakan bahwa kejadian itu sangat besar hikmahnya, karena
tafsir yang hanya selesai sedikit setelah dikerjakan bertahun-tahun ternyata
bisa tuntas dalam masa dua tahun di penjara. Di penjara itu pula Buya mendapat
banyak waktu untuk melahap buku-buku yang ingin dibacanya, dan larut dalam
ibadah shalat malam dan tilawah. Buya hidup seperti biasa, tanpa memendam
dendam, bahkan sampai membuat anaknya, Rusydi, merasa gemas bukan kepalang
ketika beliau menitikkan air mata ketika mendengar Soekarno telah wafat. Banyak
orang memintanya agar tidak menshalatkan Soekarno, akan tetapi beliau pergi
juga, bahkan menjadi imam shalat jenazahnya. Begitulah Buya Hamka.
Dari masa ke masa, gerakan Islam memang seringkali dipandang
sebagai ancaman oleh penguasa. Alasannya adalah tauhid itu sendiri, karena
ajaran tauhid menghendaki setiap manusia diberi kemerdekaan dan tidak tunduk
pada siapa dan apa pun, kecuali kepada Allah. Sebaliknya, rejim penguasa yang
lupa daratan biasanya ingin terus berkuasa secara absolut. Ironisnya, ketika
negara dalam keadaan bahaya, misalnya ketika mengusir penjajah, sentimen
keislaman itulah yang paling efektif untuk dimanfaatkan. Sebab orang Islam tak
perlu diberi alasan panjang lebar untuk membela negeri tumpah darahnya sendiri.
Tak perlu diceramahi, tak perlu dipaksa-paksa, bahkan tak diberi senjata pun ia
akan melawan, sebab jiwanya telah dimerdekakan oleh tauhid.
Apa yang pernah terjadi pada Buya Hamka perlu menjadi
renungan kita bersama. Banyak orang, baik yang sejalan atau berbeda pandangan
dengan beliau, yang sangat terkejut mendengar kisah pengalaman beliau di
penjara. Betapa ganjilnya tuduhan-tuduhan yang dialamatkan kepadanya, dan betapa
tidak pantas siksaan-siksaan yang telah (dan nyaris) dialaminya. Hamka bukan
tipe provokator, bahkan beliau tak pernah punya reputasi bertemperamen tinggi
sebagaimana ayahnya dulu. Semua orang mengenalnya sebagai pribadi lembut yang
tidak suka membesar-besarkan masalah, lebih suka bekerja sama daripada
berdebat, dan lebih suka mengalah daripada memperpanjang masalah. Sudah barang
tentu semua orang pun paham bahwa tuduhan subversif kepada Hamka adalah dagelan
belaka.
Bagaimanapun lembutnya Buya, hal itu terjadi juga padanya.
Betapa pun lembutnya ajaran beliau, tetap saja dituduh subversif. Tentu saja
ini bukan berarti bahwa kita harus meninggalkan cara-cara kelembutan dengan
mengatakan bahwa cara-cara tersebut telah terbukti gagal dalam kasus Buya Hamka.
Memang jalan kelembutan itulah yang dikehendaki Islam, dan gerakan Islam harus
terus waspada atas fitnah yang dihembuskan orang kepadanya. Jika kepada orang
tua seperti Buya Hamka pun mereka tega menyiksa dengan setruman (walaupun tidak
jadi dilakukan), bisa dibayangkan hal kejam semacam apa yang bisa mereka
lakukan kepada para pemuda.
Sejarah telah membuktikan bahwa seringkali penegak keadilan
itulah yang membengkokkan keadilan. Kalau sudah demikian, rumit sekali
masalahnya. Kini, reputasi kepolisian sudah semakin memprihatinkan. Ketika
orang disuruh menghentikan kendaraannya, misalnya, banyak yang tidak lagi
merasa bersalah dan pantas ditilang, melainkan hanya memaklumi bahwa polisi
yang menghentikannya sedang mencari tambahan penghasilan. Benar-tidaknya
pandangan ini memang kasuistik sifatnya, namun stigma negatif semacam itu
memang telah melekat pada kepolisian. Tidak heran jika banyak yang curiga bahwa
yang dialami oleh Buya Hamka dulu itulah yang kini sedang dialami oleh sebagian
aktifis Muslim yang dituduh teroris. Aksi-aksi terorisme di Indonesia, menurut
sebagian rakyat Indonesia, tidak lebih dari rekayasa intelijen. Tidak jauh beda
dengan fitnah yang dialami Buya dahulu.
Di sisi lain, sebagian media massa pun telah bertindak tidak
adil. Sementara peradilan belum dijalankan, label teroris telah diberikan.
Sungguh menarik, betapa cepatnya media percaya pada keterangan polisi (padahal
keterangan penyidik bukanlah vonis hukum) dalam kasus-kasus terorisme,
sedangkan dalam kasus-kasus lain seperti skandal Bank Century, mereka cenderung
berkeyakinan bahwa kepolisian telah bertindak tidak jujur.
Kita, sebagai umat Islam, harus pandai memetik hikmah dari
sejarah panjang ini.
Wassalaamu'alaikum wr. wb.
Sumber: FB
Posting Komentar