Go Ihsan - Mendidik anak merupakan perkara yang mulia
tapi gampang-gampang susah dilakukan, karena di satu sisi, setiap orang tua
tentu menginginkan anaknya tumbuh dengan akhlak dan tingkah laku terpuji, tapi
di sisi lain, mayoritas orang tua terlalu dikuasai rasa tidak tega untuk tidak
menuruti semua keinginan sang anak, sampai pun dalam hal-hal yang akan merusak
pembinaan akhlaknya.
Sebagai orang yang beriman kepada Allah
Subhanahu wa Ta’ala, kita meyakini bahwa sebaik-baik nasihat untuk kebaikan
hidup kita dan keluarga adalah petunjuk yang diturunkan oleh Allah Subhanahu wa
Ta’ala dalam al-Qur-an dan sabda-sabda nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
يَا أَيُّهَا النَّاسُ قَدْ جَاءَتْكُمْ
مَوْعِظَةٌ مِنْ رَبِّكُمْ وَشِفَاءٌ لِمَا فِي الصُّدُورِ وَهُدًى وَرَحْمَةٌ
لِلْمُؤْمِنِينَ. قُلْ بِفَضْلِ اللَّهِ وَبِرَحْمَتِهِ فَبِذَلِكَ فَلْيَفْرَحُوا
هُوَ خَيْرٌ مِمَّا يَجْمَعُونَ
“Wahai manusia, sesungguhnya telah datang
kepadamu nasihat dari Rabb-mu (Allah Subhanahu wa Ta’ala), penyembuh bagi
penyakit-penyakit dalam dada (hati manusia) dan petunjuk serta rahmat bagi
orang-orang yang beriman. Katakanlah, ‘Dengan karunia Allah dan rahmat-Nya,
hendaklah dengan itu mereka bergembira. Karunia dan rahmat-Nya itu adalah lebih
baik dari perhiasan duniawi yang dikumpulkan oleh manusia.’” (QS. Yunus:
57-58).
Dalam hal yang berhubungan dengan
pendidikan anak, secara khusus Allah Subhanahu wa Ta’ala mengingatkan
orang-orang yang beriman akan besarnya fitnah yang ditimbulkan karena kecintaan
yang melampaui batas terhadap mereka. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّ مِنْ
أَزْوَاجِكُمْ وَأَوْلادِكُمْ عَدُوّاً لَكُمْ فَاحْذَرُوهُمْ
“Wahai orang-orang yang beriman, sesungguhnya
di antara istri-istrimu dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu, maka
berhati-hatilah kamu terhadap mereka…” (QS. at-Taghabun: 14).
Makna “menjadi musuh bagimu” dalam
firman-Nya adalah “melalaikan kamu dari melakuakan amal shalih dan bisa menjerumuskanmu
ke dalam perbuatan maksiat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.”[1]
Syaikh Abdurrahman as-Sa’di berkata,
“…Karena jiwa manusia memiliki fitrah untuk cinta kepada istri dan anak-anak,
maka (dalam ayat ini) Allah Subhanahu wa Ta’ala memperingatkan hamba-hamba-Nya
agar (jangan sampai) kecintaan ini menjadikan mereka menuruti semua keinginan
istri dan anak-anak mereka dalam hal-hal yang dilarang dalam syariat. Dan Dia
memotivasi hamba-hamba-Nya untuk (selalu) melaksanakan perintah-perintah-Nya
dan mendahulukan keridhaan-Nya….”[2]
Fenomena Kenakalan Anak
Fenomena ini merupakan perkara besar yang
cukup memusingkan dan menjadi beban pikiran para orangtua dan pendidik, karena
fenomena ini cukup merata dan dikeluhkan oleh mayoritas masyarakat, tidak terkecuali
kaum muslimin.
Padahal, syariat Islam yang sempurna telah
mengajarkan segala sesuatu kepada umat Islam, sampai dalam masalah yang
sekecil-kecilnya, apalagi masalah besar dan penting seperti pendidikan anak.
Sahabat yang mulia, Salman Al-Farisi radhiallahu ‘anhu pernah ditanya oleh
seorang musyrik, “Sungguhkah Nabi kalian (Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa
sallam) telah mengajarkan kepada kalian segala sesuatu sampai (masalah) adab
buang air besar?” Salman menjawab, “Benar. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam
melarang kami menghadap ke kiblat ketika buang air besar atau ketika buang air
kecil….”[3]
Bukankah Allah Subhanahu wa Ta’ala yang
mensyariatkan agama ini Dialah yang menciptakan alam semesta beserta isinya dan
Dialah yang maha mengetahui kondisi semua makhluk-Nya serta cara untuk
memperbaiki keadaan mereka? Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
أَلا يَعْلَمُ مَنْ خَلَقَ وَهُوَ
اللَّطِيفُ الْخَبِيرُ
“Bukankah Allah yang menciptakan (alam
semesta besrta isinya) Maha Mengetahui (keadaan mereka)?, dan Dia Maha Halus
lagi Maha Mengetahui (segala sesuatu dengan terperinci).” (QS. al-Mulk: 14).
Akan tetapi, kenyataan pahit yang terjadi
adalah, untuk mengatasi fenomena buruk tersebut, mayoritas kaum muslimin justru
lebih percaya dan kagum terhadap teori-teori/ metode pendidikan anak yang
diajarkan oleh orang-orang barat, yang notabene kafir dan tidak mengenal
keagungan Allah Subhanahu wa Ta’ala, sehingga mereka rela mencurahkan waktu,
tenaga dan biaya besar untuk mengaplikasikan teori-teori tersebut kepada
anak-anak mereka.
Mereka lupa bahwa orang-orang kafir
tersebut sendiri tidak mengetahui dan mengusahakan kebaikan untuk diri mereka
sendiri, karena mereka sangat jauh berpaling dan lalai dari mengenal kebesaran
Allah ‘Azza wa Jalla yang menciptakan mereka, sehingga Allah Subhanahu wa
Ta’ala menjadikan mereka lupa kepada segala kebaikan dan kemuliaan untuk diri
mereka sendiri.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
وَلا تَكُونُوا كَالَّذِينَ نَسُوا اللَّهَ
فَأَنْسَاهُمْ أَنْفُسَهُمْ أُولَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ
“Dan janganlah kamu seperti orang-orang
yang lupa (lalai) kepada Allah, maka Allah menjadikan mereka lupa kepada diri
mereka sendiri, mereka itulah orang-orang yang fasik.” (QS. al-Hasyr: 19)
Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyyah berkata,
“Renungkanlah ayat (yang mulia) ini, maka kamu akan menemukan suatu makna yang
agung dan mulia di dalamnya, yaitu barangsiapa yang lupa kepada Allah, maka
Allah akan menjadikan dia lupa kepada dirinya sendiri, sehingga dia tidak
mengetahui hakikat dan kebaikan-kebaikan untuk dirinya sendiri. Bahkan, dia
melupakan jalan untuk kebaikan dan keberuntungan dirinya di dunia dan akhirat.
Dikarena dia telah berpaling dari fitrah yang Allah jadikan bagi dirinya, lalu
dia lupa kepada Allah, maka Allah menjadikannya lupa kepada diri dan
perilakunya sendiri, juga kepada kesempurnaan, kesucian dan kebahagiaan dirinya
di dunia dan akhirat. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
وَلا تُطِعْ مَنْ أَغْفَلْنَا قَلْبَهُ عَنْ
ذِكْرِنَا وَاتَّبَعَ هَوَاهُ وَكَانَ أَمْرُهُ فُرُطاً
“Dan janganlah kamu mengikuti orang yang
telah kami lalaikan hatinya dari mengingat Kami, serta menuruti hawa
(nafsu)nya, dan keadaannya itu melampaui batas.” (QS. al-Kahfi: 28).
Dikarenakan dia lalai dari mengingat
Allah, maka keadaan dan hatinya pun melampaui batas (menjadi rusak), sehingga
dia tidak memperhatikan sedikit pun kebaikan, kesempurnaan serta kesucian jiwa
dan hatinya. Bahkan, (kondisi) hatinya (menjadi) tak menentu dan tidak terarah,
keadaannya melampaui batas, kebingungan serta tidak mendapatkan petunjuk ke
jalan (yang benar).”[4]
Maka orang yang keadaannya seperti ini,
apakah bisa diharapkan memberikan bimbingan kebaikan untuk orang lain,
sedangkan untuk dirinya sendiri saja kebaikan tersebut tidak bisa
diusahakannya? Mungkinkah orang yang seperti ini keadaannya akan merumuskan
metode pendidikan anak yang baik dan benar dengan pikirannya, padahal pikiran
mereka jauh dari petunjuk Allah Subhanahu wa Ta’ala dan memahami kebenaran yang
hakiki? Adakah yang mau mengambil pelajaran dari semua ini?
–Bersambung insya Allah–>bagian 2
[1] Lihat Tafsir Ibnu Katsir: 4/482.
[2] Taisirul Karimir Rahman, hlm. 637.
[3] Hadits shahih riwayat Muslim, no. 262.
[4] Kitab Miftahu Daris Sa’adah: 1/86.
Posting Komentar