Tujuan ibadah puasa adalah untuk mencapai derajat takwa. Orang yang
bertakwa adalah orang yang imannya senantiasa aktif membentuk dirinya,
sehingga dia tetap istiqamah (konsisten) dalam beribadat, berakhlak
mulia dan terjauh dari segenap dosa dan maksiat.
Banyak orang yang telah berulang kali puasa setiap tahun, bahkan ada yang sudah puluhan kali berpuasa, namun taqwa masih jauh dari kehidupannya, imannya tidak aktif, ibadatnya tidak istikamah, dan akhlaqnya jauh dari mulia, perbuatan dosa masih mengotori dirinya, yang diperoleh dari ibadah puasa hanya lapar dan haus saja.
Mengapa hal itu bisa terjadi? Sebab tidak sedikit manusia menduga bahwa puasa itu hanya sekadar menahan lapar dan haus saja, dan mereka juga memahami bahwa puasa itu adalah pengendalian hawa nafsu selama bulan Ramadan saja, lalu setelah Ramadan mereka kembali dikendalikan oleh hawa nafsunya.
Jika hal itu menimpa kita, maka sangat memperhatinkan. Itu artinya kita belum memahami hakikat dari berpuasa. Dimana hakikat puasa bukan sekadar menahan hawa nafsu dari rasa lapar dan haus. Namun hakikat puasa pengendalian diri secara total dengan kendali iman. Selain mengendalikan mulut dari makan dan minum, puasa juga mengendalikan lidah dari perkataan yang tidak terpuji, seperti bohong, bergunjing, bergosip (gibah), caci maki dan lain lainnya.
Puasa juga pengendalian mata (ghadhul bashar) dari memandang hal yang diharamkan Allah swt seperti melihat tontonan aurat, tontonan maksiat dan lain lain.
Puasa juga mengendalikan telinga dari mendengarkan hal- hal yang tidak diredhai Allah seperti mendegar musik hura-hura, mendengar gosip dan lain-lain. Puasa juga mengendalikan kaki dan tangan dari tingkah laku yang tidak diridhai Allah.
Sabda Rasulullah saw berkata, “Siapa yang tidak mampu meninggalkan perkataan dan perbuatan yang tidak terpuji, maka bagi Allah SWT tidak ada artinya dia meninggalkan makan dan minumnya (percuma dia berpuasa).” (HR.Buhari dari Abu Hurarah).
Demikianlah hakikat puasa yang akan membawa manusia beriman menuju taqwa yang merupakan puncak kemuliaan manusia di hadapan Allah swt.
Puasa juga mengandung makna pembangunan atau pembentukkan karakter, penguasaan atas hawa nafsu dan suatu inspirasi ke arah kreativitas individual dan sosial.
Puasa juga telah menjadi bagian dari pilar-pilar Islam yang merupakan kewajiban agama bagi semua orang yang berimankan tauhid. Dan karena itu barangsiapa yang menolaknya maka ia termasuk dalam golongan yang ingkar agama.
Puasa juga merupakan tanda lahir dari ketaatan, penyerahan dan peribadatan kepada Allah SWT. Allah swt berfirman,“Puasa itu untuk-Ku, karena itu Akulah yang akan memberi ganjaraannya langsung!” (Bihar al-Anwaar 96:255).
Dengan puasa seorang muslim mengungkapkan penyerahannya (taslim) kepada perintah Allah, sambutannya atas kehendak-Nya, dan merupakan penolakkan yang tegas atas penguasaan hawa nafsu atas dirinya, dan hasrat pribadinya. Puasa menjadi sebuah manifestasi dari ketaatan makhluk-Nya kepada Kehendak Yang Maha Kuasa.
Ekspresi yang diungkapkan lewat puasa ini mewakili bentuk penguasaan diri, dan usaha dalam mengatasi kesenangan-kesenangan jasadi dan berbagai kenikmatan badani demi kecintaan Allah yang penuh berkat, kedekatan kepada-Nya dan gairah untuk memperoleh keridhaan-Nya.
Imam Ali bin Abi Thalib as berkata, “Tidurnya orang yang berpuasa itu ibadah, diamnya adalah tasbih, do’anya mustajab (dikabulkan), amalnya diterima. Sesungguhnya bagi seorang yang berpuasa di saat berbuka do’anya tidak tertolak!” (Bihar al-Anwar 93:360)
Rasulullah saw bersabda, “Sesungguhnya ada satu surga yang pada pintunya ada penjaga yang melarang siapapun masuk kecuali orang-orang yang berpuasa.” (Al-Bihar 96:252)
Imam Ja’far al-Shadiq as berkata, “Bagi orang yang berpuasa itu ada dua kebahagiaan: kebahagiaan ketika berbuka puasa dan kebahagiaan ketika berjumpa dengan Tuhannya.” (Furu’ al-Kafi 4:65)
Sayyidah Fathimah az-Zahra as berkata, “Dia (Allah swt) menjadikan puasa sebagai penguat keikhlasan” (A’yan al-Syi’ah 1:316). Karena itu, patut kita memetik hakikat puasa. Semoga kita semua diberikan kemudahan untuk memahami hakikat puasa, sehingga pintu surga terbuka lebar untuk kita. Aamiin.(Sumber:Republika.co.id)
Banyak orang yang telah berulang kali puasa setiap tahun, bahkan ada yang sudah puluhan kali berpuasa, namun taqwa masih jauh dari kehidupannya, imannya tidak aktif, ibadatnya tidak istikamah, dan akhlaqnya jauh dari mulia, perbuatan dosa masih mengotori dirinya, yang diperoleh dari ibadah puasa hanya lapar dan haus saja.
Mengapa hal itu bisa terjadi? Sebab tidak sedikit manusia menduga bahwa puasa itu hanya sekadar menahan lapar dan haus saja, dan mereka juga memahami bahwa puasa itu adalah pengendalian hawa nafsu selama bulan Ramadan saja, lalu setelah Ramadan mereka kembali dikendalikan oleh hawa nafsunya.
Jika hal itu menimpa kita, maka sangat memperhatinkan. Itu artinya kita belum memahami hakikat dari berpuasa. Dimana hakikat puasa bukan sekadar menahan hawa nafsu dari rasa lapar dan haus. Namun hakikat puasa pengendalian diri secara total dengan kendali iman. Selain mengendalikan mulut dari makan dan minum, puasa juga mengendalikan lidah dari perkataan yang tidak terpuji, seperti bohong, bergunjing, bergosip (gibah), caci maki dan lain lainnya.
Puasa juga pengendalian mata (ghadhul bashar) dari memandang hal yang diharamkan Allah swt seperti melihat tontonan aurat, tontonan maksiat dan lain lain.
Puasa juga mengendalikan telinga dari mendengarkan hal- hal yang tidak diredhai Allah seperti mendegar musik hura-hura, mendengar gosip dan lain-lain. Puasa juga mengendalikan kaki dan tangan dari tingkah laku yang tidak diridhai Allah.
Sabda Rasulullah saw berkata, “Siapa yang tidak mampu meninggalkan perkataan dan perbuatan yang tidak terpuji, maka bagi Allah SWT tidak ada artinya dia meninggalkan makan dan minumnya (percuma dia berpuasa).” (HR.Buhari dari Abu Hurarah).
Demikianlah hakikat puasa yang akan membawa manusia beriman menuju taqwa yang merupakan puncak kemuliaan manusia di hadapan Allah swt.
Puasa juga mengandung makna pembangunan atau pembentukkan karakter, penguasaan atas hawa nafsu dan suatu inspirasi ke arah kreativitas individual dan sosial.
Puasa juga telah menjadi bagian dari pilar-pilar Islam yang merupakan kewajiban agama bagi semua orang yang berimankan tauhid. Dan karena itu barangsiapa yang menolaknya maka ia termasuk dalam golongan yang ingkar agama.
Puasa juga merupakan tanda lahir dari ketaatan, penyerahan dan peribadatan kepada Allah SWT. Allah swt berfirman,“Puasa itu untuk-Ku, karena itu Akulah yang akan memberi ganjaraannya langsung!” (Bihar al-Anwaar 96:255).
Dengan puasa seorang muslim mengungkapkan penyerahannya (taslim) kepada perintah Allah, sambutannya atas kehendak-Nya, dan merupakan penolakkan yang tegas atas penguasaan hawa nafsu atas dirinya, dan hasrat pribadinya. Puasa menjadi sebuah manifestasi dari ketaatan makhluk-Nya kepada Kehendak Yang Maha Kuasa.
Ekspresi yang diungkapkan lewat puasa ini mewakili bentuk penguasaan diri, dan usaha dalam mengatasi kesenangan-kesenangan jasadi dan berbagai kenikmatan badani demi kecintaan Allah yang penuh berkat, kedekatan kepada-Nya dan gairah untuk memperoleh keridhaan-Nya.
Imam Ali bin Abi Thalib as berkata, “Tidurnya orang yang berpuasa itu ibadah, diamnya adalah tasbih, do’anya mustajab (dikabulkan), amalnya diterima. Sesungguhnya bagi seorang yang berpuasa di saat berbuka do’anya tidak tertolak!” (Bihar al-Anwar 93:360)
Rasulullah saw bersabda, “Sesungguhnya ada satu surga yang pada pintunya ada penjaga yang melarang siapapun masuk kecuali orang-orang yang berpuasa.” (Al-Bihar 96:252)
Imam Ja’far al-Shadiq as berkata, “Bagi orang yang berpuasa itu ada dua kebahagiaan: kebahagiaan ketika berbuka puasa dan kebahagiaan ketika berjumpa dengan Tuhannya.” (Furu’ al-Kafi 4:65)
Sayyidah Fathimah az-Zahra as berkata, “Dia (Allah swt) menjadikan puasa sebagai penguat keikhlasan” (A’yan al-Syi’ah 1:316). Karena itu, patut kita memetik hakikat puasa. Semoga kita semua diberikan kemudahan untuk memahami hakikat puasa, sehingga pintu surga terbuka lebar untuk kita. Aamiin.(Sumber:Republika.co.id)
Posting Komentar